DI balik satu unit bisnis besar, terdapat
kisah tentang manusia-manusia yang juga besar. Kita seringkali alpa membahas
kiprah dan dedikasi manusia di balik setiap usaha yang besar dan mendunia.
Padahal, manusia-manusia inilah yang menanam gagasan, lalu menumbuhkannya
dengan segala kesabaran.
Semalam, saya membaca biografi sosok di
balik Kaskus, satu komunitas online terbesar di tanah air. Ternyata, di balik
kisah terbentuknya komunitas online yang lalu menjadi unit bisnis besar itu,
terdapat cerita tentang remaja pemalu yang acapkali kesulitan berkomunikasi. Hah?
***
BUKU itu berjudul Ken & Kaskus, Cerita Sukses di Usia Muda. Isinya adalah
biografi Ken Dean Lawadinata, sosok muda yang menjadi Chief Executive Officer
(CEO) dari Kaskus. Saya melihat buku itu di satu toko buku kecil di Depok.
Nampaknya, buku itu adalah buku stok lama.
Dulu, saya tak tertarik membacanya. Entah
ada dorongan apa, saya tiba-tiba penasaran dan membacanya hingga tuntas dalam
perjalanan dengan kereta dari Depok ke Bogor. Isinya membuat saya terperangah.
Kisahnya adalah kisah kesuksesan dari mereka yang merambah di dunia maya.
Mereka meraup banyak dollar dari kegiatan berselancar di dunia internet.
Abad ini adalah abad internet. Perangkat internet
menjadi barang wajib bagi banyak masyarakat urban. Di layar televisi, saya
pernah menyaksikan seorang selebitis ditanya tentang apa yang dilakukan saat
bangun pagi. Katanya, ia akan mengecek dulu akun social media seperti facebook,
twitter, instagram, dan whatsapp. Ia tak sendirian. Ada banyak orang yang juga
melakukan hal yang sama.
Ada begitu banyak orang yang saban hari
berselancar di dunia maya. Selalu menarik untuk mengetahui kabar dari banyak
sahabat yang meskipun terpisah oleh jarak, namun selalu terhubung di dunia
maya. Konon, seseorang butuh minimal empat jam dalam sehari di dunia maya.
Mereka ingin sukses. Yang menakjubkan, ada anak muda yang menjadikan hasrat
eksis itu untuk mengembangkan satu komunitas yang kemudian menjadi ladang bisnis
besar.
Anak muda itu adalah Andrew Darwis.
Memang, buku ini tak membahas tentang
Andrew Darwis. Yang dibahas adalah Ken Dean Lawadinata, sang CEO. Jujur, saya
tak banyak menemukan inspirasi dan pembelajaran pada sosok Ken. Bagi saya,
kisahnya biasa saja. Kisahnya tentang anak orang kaya yang punya visi bisnis,
lalu bertemu sosok kurus pemalu yang punya ayam bertelur emas, namun tak tahu
bagaimana mengeluarkan telur emas itu. Ken lalu melobi ayahnya agar meminjamkan
uang 5 miliar, yang kemudian ditanam di bisnis kepunyaan si kurus itu. That’s
it!
Saya lebih tertarik pada kisah si kurus
yang pemalu itu. Entah kenapa, kisah Andrew Darwis mengingatkan saya pada Mark
Zuckerberg yang juga pemalu dan tak punya akses pada kalangan sosialita. Sikap
pemalu itu kemudian menjadi energi berlipat-lipat untuk membuka satu portal di
dunia maya yang mengumpulkan banyak orang. Si pemalu itu lalu menjadi admin
yang cerewet, memperkenalkan banyak istilah baru, lalu membangun visi bisnis
yang secara perlahan menjadi besar.
Pada diri Andrew Darwis, saya menangkap
beberapa pelajaran berharga.
Pertama, selalu ada energi besar pada
mereka yang merasa tersisih dan terabaikan. Andrew menjalani hidup yang tak
mudah. Ekonomi keluarganya pas-pasan. Ia bukan siapa-siapa. Tapi ia melihat
titik cerah ketika memaksimalkan energi dan seluruh potensinya. Kaskus yang
awalnya dibuat sebagai pengalih dari ketersisihan dari dunia sosial, ternyata
bisa berkembang begitu pesat.
Saya teringat pada filsuf Lao Tze yang
pernah berujar, “When you hit the lowest
point, you just open the great possibilites in your life.” Artinya, ketika
kamu menyentuh titik paling rendah, titik ketika kamu merasa tak punya apa-apa,
ketika kamu merasa tersisihkan, terabaikan tak bisa apa-apa, maka saat itu kamu
sedang mencapai titik penting untuk menggapai perubahan. Kita sedang menanam
tekad kuat untuk membalik keadaan menjadi sesuatu yang berbeda.
Kedua, tak ada sesuatu yang instant untuk
meraih keberhasilan. Dalam keadaan pas-pasan, Andrew berjibaku untuk
menghidupkan Kaskus. Ia pernah menyalakan semua komputer berinternet di
kampusnya demi mengklik Kaskus, dengan harapan akan mendapat beberapa sen dari
iklan Adsense dari Google. Ia menghabiskan lebih banyak waktunya untuk
membenahi Kaskus, memoderatori semua debat, lalu merancang forum jual beli.
Ketiga, pemahaman kita tentang pekerjaan
harusnya bergeser. Dahulu, bekerja adalah memiliki kantor dan berpakaian
seragam. Kini, ada banyak anak muda seperti Andrew yang menemui keasyikan
ketika bermain game dan internet, lalu menemukan jalan hidupnya di situ. Dunia
kerja menjadi sangat mengasyikkan ketika hobi kita di situ. Jika hobi kita
adalah online dan berselancar di dunia maya, mengapa pula kita tak mencari
penghidupan di lapis itu?
Keempat, resep sukses ternyata tak rumit.
Resepnya sederhana, yakni berani mencoba sesuau yang baru, konsisten untuk
membenahi hal itu, serta membuka pikiran terhadap gagasan-gagasan baru.
Saya teringat ucapan Don Tapscott, model
institusi bisnis yang hebat di masa mendatang adalah institusi yang bisa menerima
semua keping inovasi, lalu menyusunnya menjadi satu bangunan. Contoh yang bisa dikutip adalah Wikipedia,
yang secara perlahan menjadi ensiklopedi terbesar, yang content-nya dibangun
oleh publik dunia maya dari berbagai kalangan, dan tersebar di berbagai kota.
Makanya, lembaga bisnis akan terus membesar dan kuat sebab senantiasa mengubah
diri dan perlahan diperluas cakupannya oleh para konsumer sekaligus produsen.
Yup, ini hanya catatan singkat. Ada banyak
pelajaran berharga lain dari mereka yang berselancar di dunia maya. Namun, ada
satu kilatan pesan yang amat menohok diri saya. Tiba-tiba saja saya memikirkan
bahwa saya pun menghabiskan waktu berjam-jam di dunia internet.
Saya suka mengklik berbagai info,
membacanya, lalu terkadang menyebarkannya. Saya berpikir, mengapa tak
menjadikan dunia maya sebagai ladang untuk menanam sesuatu yang kelak membawa
makna bagi semesta dan dunia? Mengapa pula saya tak berpikir untuk mengubahnya
menjadi kapital yang bisa menopang hidup di dunia nyata? Mengapa pula saya tak
mengubah kesenangan berinteraksi itu menjadi sesuatu yang bisa menggerakkan
orang lain?
Ah, saya punya banyak pertanyaan yang
menghujam dalam diri. Seiring waktu, saya akan menemukan sendiri apa gerangan
yang dicari di dunia maya. Mungkin saja kelak saya akan seperti Andrew Darwis,
atau mungkin saya hanya sekadar menjadi satu dari miliaran manusia yang hanya
bermain-main di ranah ini. Entahlah.
Bogor, 7 Februari 2014
0 komentar:
Posting Komentar