SATU organisasi pemuda berlabel Islam
menggelar sebuah dialog internasional. Pesertanya adalah pemuda dari berbagai
negara. Lokasinya bertempat di satu kota besar Tanah Air. Lembaga itu
mengundang saya sebagai pemateri. Sayang, saya tak bisa hadir. Tapi saya
menyaksikan sendiri publikasi media tentang betapa mewahnya acara itu. Ada
baliho tersebar di banyak titik. Ada banyak bule berambut pirang yang menjadi
peserta.
Beberapa minggu setelah acara, saya
bertemu dengan seorang panitianya. Beliau adalah junior saya di satu kampus di
Indonesia Timur. Saat membahas kegiatan itu, sang kawan langsung terkekeh. Ia
bercerita tentang pengalamannya mendatangkan bule. Barulah saya tahu bahwa ada
jaringan dari para bule yang bisa dihadirkan untuk meramaikan kegiatan berlabel
internasional. “Pasti kamu gak tahu kalau banyak bule itu saya datangkan dari
Jalan Jaksa,” katanya sembari tertawa. Hah?
Warga Jakarta tahu kalau Jalan Jaksa
adalah tempat hangout bagi para bule
yang punya kantong pas-pasan. Berbagai kafe di situ menyediakan bir dan minuman
beralkohol dengan harga murah. Ada banyak sebutan untuk para bule di situ.
Mulai dari bule kere hingga bule sandal jepit. Sebutan itu menggambarkan bahwa
para bule di situ adalah mereka yang melakukan perjalanan dengan budget
pas-pasan.
Kawan itu menjelaskan bahwa beberapa bule
yang berseliweran di Jakarta bisa diorganisir untuk meramaikan satu acara
berlabel internasional. Katanya, acara internasional selalu memiliki budget besar dari pemerintah atau
perusahaan swasta. Ada semacam kebanggaan bagi banyak perusahaan ketika
mensponsori acara yang dihadiri banyak bule. Mereka bersedia membayar lebih
mahal untuk acara-acara itu. Di sisi lain, pemerintah dan sponsor tak pernah
mau tahu siapa-siapa saja bule yang hadir. Cukup lihat banyak yang pirang, maka
acara dianggap sukses.
Kawan itu bercerita tentang kegiatan
dialog internasionalnya yang didanai oleh pemerintah. Anggaran yang disiapkan
satu instansi pemerintah adalah 500 juta rupiah. Ternyata, banyak sponsor yang
bersedia bergabung. Permintaan mereka cuma satu yakni ada logo perusahaan di
setiap spanduk dialog internasional. Tujuannya untuk membentuk citra bahwa
perusahaannya memiliki level dunia. Total biaya yang dihimpun panitia adalah
miliaran rupiah. Padahal, hitungan saya, kegiatan seperti itu paling banyak
menghabiskan biaya 50 juta rupiah.
Dari mana mengorganisir para bule? Mudah
saja. Mengorganisir bule sama saja dengan mengorganisir massa bayaran untuk
demonstrasi. Mereka punya simpul-simpul penghubung Banyak di antara mereka
datang ke tanah air kita dengan modal pas-pasan. Mereka hanya bermodal sandal
jepit, tiba-tiba saja dianggap hebat dan berkelas di tanah air. Gajinya pun
memakai standar dollar. Padahal jika bicara kapasitas, mereka biasa saja.
Jangan pula menganggap mereka memiliki
pendidikan tinggi. Banyak di antara bule itu justru tak punya sekolah memadai.
Modalnya hanya rambut pirang, mata biru, penampilan serupa bintang film
Hollywood, serta bersedia diajak foto selfie.
Dengan modal itu, para bule laris untuk diajak berfoto. Mereka seolah
penduduk langit yang turun ke bumi. Bangsa kita menganggapnya lebih hebat dan
lebih berkelas.
Saya teringat liputan media tentang aksi sodomi
yang dilakukan satu bule terhadap siswa di sebuah sekolah berlabel
internasional. Tentu saja, pihak yang patut disalahkan adalah sekolah itu
sendiri. Mengapa pula mereka mempekerjakan bule yang tak punya kecakapan
memadai di bidang pendidikan? Sebabnya sederhana. Sekolah itu ingin mengesankan
dirinya sebagai sekolah internasional. Makanya, kalau ada bule yang mengajar,
maka kesannya keren. Ratingnya naik. Bayarannya lebih tinggi. Mereka tak mau
tahu bahwa bule yang dipekerjakan adalah seorang penjahat.
Penuturan rekan itu membuat saya sesaat
terhenyak. Saya sudah lama tahu tentang beberapa kegiatan yang tujuannya hanya
untuk menyerap anggaran pemerintah, setelah sebelumnya menyerahkan fee 10 persen ke oknum di tubuh
pemerintah. Saya juga lama tahu tentang beberapa teman yang pekerjaannya adalah
menghadiri berbagai seminar demi mendapatkan lumpsum atau uang hadir sesuai
kegiatan.
Tapi saya baru tahu bahwa terdapat motif
yang sama di balik kegiatan berlabel internasional. Fakta ini semakin
menguatkan kesan saya bahwa kosa kata ‘internasional’ masih menjadi label yang
dianggap hebat. Ada semacam inferioritas budaya dalam diri kita sehingga
memosisikan internasional sebagai sesuatu yang hebat dan harus diraih.
Sementara di saat bersamaan, ada banyak lembaga yang memanfaatkan itu demi
mendapatkan segepok materi.
Yah, pada akhirnya para bule itu sama saja
dengan banyak di anyara kita. Mereka datang dengan modal pas-pasan disertai
bahasa Inggris yang fasih. Yup, wajarlah, itu kan bahasa sehari-harinya. Namun
di tengah bangsa yang menganggap bahasa Inggris segala-galanya maka mereka
dianggap hebat. Padahal, kata teman saya, bayaran untuk kehadiran mereka di
acara internasional bisa dibilang murah. “Saya kan ibarat menggunakan jasa
rental. Mereka kan hanya diminta hadir dan sesekali bertanya pakai bahasa
Inggris. Itu sudah cukup membuat pemerintah dan para sponsor terkagum-kagum, “
katanya.
Teman saya tertawa terbahak-bahak.
Barangkali ia bahagia mengingat pundi-pundinya yang besar seusai kegiatan itu.
Sayang, saat pertemuan itu, ia hanya mentraktir saya makan. Iseng, saya bertanya,
“Kawan, kita udah kenal lama. Bagilah sedikit rezeki dari kegiatan itu”“Serius nih. Pengen dapat berapa?” tanyanya.
Kali ini saya tak tahu hendak menyebut angka berapa.
11 komentar:
Kwkwkkkk
Wah menarik sekali. Thanks for sharing.
hehehe..bener memang ...
Waow...sayang yach bangsa kita terlalu kagum pada bangsa lain, tidak pernah kagum pada bangsa sendiri
Wowww... Untung besar panitianya!
serasi betul bang yusran dengan cewek bule....ajari aku guru, biar bisa mengikuti jejakmu....
hahaha.. cuma bisa ngakak. ternyata bule juga bisa dirental.
sepakat dengan pendapat abang bahwa bangsa kita menganggap bule lebih hebat dan berkelas. tidak heran, mengapa bule suka traveling ke Indonesia karena salah satu alasannya adalah mereka merasa menjadi selebritis di sini. di mana-mana selalu diajak selfie.
Hi. Can I have your personal contact? I have something to tell you which related with your post. Thank you!
Surabaya & jakarta area
WA : 085835662569
Surabaya & jakarta area
WA : 085835662569
Hey ente cewe apa cowo
Posting Komentar