Tangis Berderai di Taman Mini


HARI ini, aku menangis tersedu-sedu. Ada bulir-bulir air yang menetes perlahan-lahan dari kelopak mataku. Di bawah Tugu Api Pancasila Sakti di Kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII), batinku tiba-tiba dibasahi berjuta rasa haru yang sukar dilukiskan. Aku menyaksikan sebuah peristiwa yang menurutku sungguh menggetarkan. Mungkin yang lain akan melihatnya sebagai peristiwa kecil. Namun, apa sih defenisi peristiwa yang besar dan kecil? Bukankah keharuan adalah sebuah pertanda kalau manusia terbawa sebuah gelombang rasa dan empati yang sungguh dalam. Rasa itu membawa manusia dalam siklus yang demikian dahsyat di mana manusia lebur dengan peristiwa, menghilangkan jarak antara subyek dan obyek yang dimapankan secara angkuh oleh sains.

Aku akan kisahkan secara berurutan. Hari ini, aku singgah ke Taman Mini setelah sebelumnya begadang semalam suntuk bersama sahabat-sahabat saat di Makassar dulu. Aku sengaja ke Taman Mini karena diajak responden penelitianku untuk menyaksikan konser Agnes Monica. Agnes dihadirkan untuk memeriahkan Ulang Tahun ke-32 dari Taman Mini. Ia manggung di Lapangan Parkir yang terletak di tengah-tengah dan diapit banyak bangunan seperti Graha Lukisan, Museum Purna Bakti Pertiwi, Teater Tanah Airku, Keong Mas, hingga Taman Bunga.

Tak sedikitpun aku tertarik dengan Agnes. Aku lebih tertarik menyaksikan histeria massa yang membeludak. Aku penasaran untuk menyaksikan fenomena massa yang seakan dihipnotis oleh seorang artis. Massa –yang kebanyakan ABG—membeludak dan berteriak-teriak “Agnes, we love u.” Ah, aku sedang melihat apa yang disebut penganut cultural studies sebagai hysteria of mass.

Usai menyaksikan Agnes, aku lalu bergerak menuju Tugu Api Pancasila. Di situ ada karnaval budaya. Aku singgah menyaksikan ajang tersebut dan mengamatinya di tengah-tengah massa yang sedang berkerumun. Di ajang ini, berbagai daerah menampilkan atraksi yang budaya yang begitu fantastis. Ada atraksi reog dari Jawa Timur, karnaval budaya Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, hingga atrasi keraton Riau, Jambi dan Kalimantan Timur yang benar-benar megah.

Aku teringat antropolog Perancis, Levi Strauss. Menurutnya, ada sesuatu yang universal dalam semua peradaban manusia. Kebudayaan hanyalah varian-varian saja dari narasi besar yang merupakan manifestasi dari universalitas itu. Narasi besar itu disebutnya sebagai the deepest structure of mind (struktur terdalam dari pengetahuan manusia). Dalam konteks pagelaran ini, struktur terdalam itu adalah kejayaan dan kemegahan. Makanya, semua menampilkan pakaian yang dominan dengan warna emas. Semuanya tampil dengan kostum yang terbaik. Wanita-wanitanya tampil cantik dengan bedak dan lipstik yang begitu indah. Berbagai putri dan pangeran dari berbagai budaya dihadirkan silih berganti. Malah, banyak yang merupakan model di daerah masing-masing. Masing-masing bagaikan pangeran dan putri yang turun dari khayangan sana. Semua kontingen menampilkan beragam atraksi saat berada di depan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik.

Bukan itu yang bikin aku menangis. Batinku tiba-tiba tercekat ketika menyaksikan rombongan dari Suku Wana, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Mereka datang dengan begitu sederhana. Di tengah kontingen yang berdandan cantik penuh polesan, mereka hadir tanpa riasan dan polesan. Dandanan mereka adalah dandanan sebagaimana saat mereka di hutan. Benar-benar alamiah. Mereka berjumlah puluhan orang. Pakaian mereka masih asli dan kumal. Mereka juga terlihat begitu kotor dan tidak mandi. Aku menyaksikan ekspresi mereka yang datar. Wajah mereka menunduk seakan tak mampu memandang mata dan ekspresi orang-orang yang menyaksikan wajah mereka seakan-akan mereka adalah warga zaman purba yang terkejut melihat zaman baru yang banyak berubah. Tak ada tarian atau atraksi kolosal. Mereka hanya berjalan biasa saja. Tertunduk dan terdiam saja ketika banyak orang yang memandang mereka dengan tatapan aneh.

Rata-rata mereka adalah orang tua. Mereka memelihara janggut dan sorot matanya tajam. Ada yang datang dengan memikul buah-buahan seperti pisang, ada pula perempuan yang memegang ubi jalar. Aku agak tersentuh saat melihat wajah mereka yang terus tertunduk seakan tak mampu menatap matahari. Saat itu, protokol langsung berteriak melalui pengeras suara,”Inilah Suku Wana di Sulawesi Tengah. Mereka kami datangkan dari hutan. Mereka adalah peladang berpindah yang baru kali ini menginjakkan kaki di Jakarta. Mereka bangsa yang liar dan marginal. Ini adalah bukti akan kepedulian pemerintah pada suku terasing dan marginal.”

Batinku bertanya, “Apa sih yang disebut sebagai marginalitas? Apakah ketika mereka punya pandangan hidup yang begitu sederhana, membuat mereka dikatakan sebagai warga terasing?” Aku tersentuh menyaksikan mereka. Massa seakan mencemooh mereka yang tak menampilkan atraksi. Apa yang ada di benak Suku Wana? Apakah mereka sedang minder di tengah massa yang mencemooh. Mereka hanya diam dan tak berkata. Apakah hidup ini adalah sebuah permainan penuh kemenangan sehingga mereka harus diciptakan sebagai sesuatu yang kalah. Apakah tertunduknya mereka adalah refleksi dari ketidakberdayaan mereka di depan sombongnya kekuasaan dan rezim pengetahuan? Di Taman Mini, batinku begitu tersentuh oleh kesederhanaan dan kehadiran mereka.

Aku tahu, dalam mata yang diam itu terletak selaksa pengetahuan dan kearifan lokal yang dahsyat. Mereka punya semua bentuk pengetahuan untuk bisa bertahan di tengah hutan. Pengetahuan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka yang perkasa dan hidup di tengah alam. Sayangnya, pengetahuan itu diinjak sedemikian rupa oleh modernisme. Suku Wana kian menjadi penonton yang kesepian. Mereka kehilangan hutan yang kian dikapling oleh HPH. Kehilangan ruh dan habitat mereka. Maka datanglah mereka ke Jakarta, dengan segala keluguannya dan menerima nasib sebagai orang yang kalah. Apakah mereka benar kalah? Aku rasa tidak juga. Di tengah diam dan cemoohan serta tatapan sinis orang-orang, tiba-tiba, dua orang anak muda Suku Wana mengeluarkan sumpit dan mengarahkannya pada balon yang terletak di tengah-tengah karnaval budaya. Hup...!!!! Sesuatu melesat dari sumpit. Pyar...!!! satu dari sejumlah balon yang terletak di tengah itu langsung meletus. Semua terpengarah. Hey... mataku basah.

Depok, 16 April 2007

Pukul 01.00 dini hari


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ternyata sensor kepekaanmu masih tajam, sobat. Masih "kuat" untuk semakin melenakan dalam rangkaian kata menjadi cerita yang menyentuh.

Warmest Regard,


Derry, the jbk_uh

Posting Komentar