Buku yang Saya Sukai di Tahun 2025


ADA dua berita mengenai buku di penghujung tahun 2025. Ada berita sedih, dan ada berita gembira. Berita sedih adalah pelarangan diskusi buku mengenai Indonesia Reset yang diadakan di beberapa kota. Kadang heran, di era sekarang, penguasa lebih takut pada isi pikiran, ketimbang korupsi.

Berita gembira adalah adanya publikasi riset mengenai kian tingginya minat baca. Di medsos, banyak anak-anak muda mulai membuat review buku dan berbagi bacaan. Saya ingat seorang kawan dari Kamboja. Saat dia melihat orang membahas buku, dia merasakan harapan kuat untuk masa depan yng lebih baik.

Nah, sepanjang 2025, saya ingin berbagi buku apa saja yang saya sukai. Mulai buku sejarah, ekonomi, teknologi, hingga pengembangan diri. Apa saja?


Revolusi: Indonesia dan Lahirnya Dunia Modern (Davis van Reybrouck) 

Ini buku yang paling saya sukai sepanjang tahun 2025. Tadinya saya membayangkan, penulisnya hanya bermodal data pustaka yang sudah banyak dihasilkan para sejarawan, baik dalam maupun luar negeri.

Ternyata, penulisnya mengedepankan data lapangan. Dia mewawancarai ratusan orang selama bertahun-tahun demi mendapatkan gambaran utuh tentang apa yang terjadi di masa revolusi. David Van Reybrouck menunjukkan kepiawaiannya menulis sejarah dengan cara yang hidup dan manusiawi. Dia tidak menjejalkan data, melainkan menenun kisah. 


Buku ini mengubah cara pandang kita tentang sejarah nasional. Selama ini, sejarah Indonesia kerap ditulis dari sudut pandang lokal, terbatas pada heroisme di dalam batas wilayah, tanpa menengok bagaimana peristiwa di negeri ini berkelindan dengan pergolakan dunia. Buku ini memperluas cakrawala itu. Indonesia tidak lagi tampil sebagai catatan kaki dalam sejarah kolonial, melainkan sebagai pusat dari pusaran global.

Reybrouck menunjukkan bahwa Indonesia adalah negeri pertama yang merdeka setelah Perang Dunia II, sebuah titik api yang kemudian menjalar ke Asia, Afrika, dan dunia Arab. Gelombang dekolonisasi yang mengguncang abad ke-20 lahir dari percikan yang berasal dari tanah ini. Dari perjuangan para pemuda di Jakarta, Surabaya, hingga Bandung, inspirasi kemerdekaan menyebar, membakar imajinasi bangsa-bangsa lain untuk bangkit dan menuntut kebebasan.

Lalu datanglah Bandung tahun 1955. Konferensi Asia Afrika menjadi babak penting dalam sejarah dunia. Di kota itu, negara-negara yang baru lepas dari penjajahan berdiri sejajar, untuk pertama kalinya tanpa kehadiran Barat. 

Indonesia yang baru sepuluh tahun merdeka tampil sebagai simbol bangsa yang tidak hanya membebaskan diri, tetapi juga mengajarkan dunia arti kedaulatan. Dari Bandung, gema kemerdekaan meluas, menantang hegemoni lama, dan membayangkan dunia yang lebih setara.


Edible Economics: A Hungry Economist Explains the World (Ha-Joon Chang)

Sejatinya, buku ini terbit tahun 2023, tapi saya baru membacanya di tahun 2025. Ini buku ekonomi paling renyah yang pernah saya baca. Penulisnya mengajak kita untuk memahami ekonomi melalui metafora makanan. Dia mengajak pembaca keluar dari bahasa teknis ekonomi yang kaku, lalu masuk ke dapur sehari-hari: dari nasi, kopi, hingga burger. 


Dengan cara ini, konsep-konsep abstrak seperti produksi, distribusi, dan konsumsi menjadi konkret dan mudah dicerna. Poin menariknya, ekonomi tidak diperlakukan sebagai ilmu netral yang dingin, melainkan sebagai praktik sosial yang sangat dekat dengan pilihan hidup manusia.

Paragraf-paragraf dalam buku ini menunjukkan bagaimana makanan mencerminkan relasi kekuasaan global. Chang menjelaskan bahwa apa yang kita makan sering kali merupakan hasil dari struktur ekonomi-politik dunia: perdagangan internasional, ketimpangan antara negara maju dan berkembang, hingga eksploitasi tenaga kerja.

Lewat kisah cokelat, kopi, atau makanan cepat saji, ia membongkar mitos pasar bebas yang dianggap otomatis membawa kesejahteraan. Di sini, pembaca diajak menyadari bahwa ekonomi bukan sekadar soal efisiensi, tetapi juga soal keadilan dan etika.

Poin menarik adalah sikap kritis terhadap dogma ekonomi arus utama. Penulisnya menegaskan bahwa tidak ada satu resep ekonomi yang cocok untuk semua negara, sebagaimana tidak ada satu makanan yang cocok untuk semua orang. Hmm. Menarik.


Denyut Nadi Bumi (Adam Bobbette)

Sepertinya, ini buku geologi pertama yang saya baca hingga tuntas. Buku ini terjemahan dari buku The Pulse of the Earth: Political Geology in Java. Bukan hanya karena cara menulisnya yang renyah, tetapi buku ini menawarkan multi-perspektif. Melihat bumi tak cukup jika hanya mengandalkan geologi semata.


Penulis buku ini, Bobbette, melampaui narasi geologi sebagai ilmu murni yang objektif dan terpisah dari masyarakat. Dengan konsep "geologi politik", ia menunjukkan bagaimana pengetahuan tentang bumi, seperti aktivitas gunung berapi dan gempa, selalu diproduksi, ditafsirkan, dan diperdebatkan dalam medan kekuasaan, kepercayaan, dan kepentingan. 

Di Jawa, pemahaman tentang "denyut bumi" bukan hanya milik ahli geologi dengan seismografnya, tetapi juga melibatkan ulama yang membaca tanda-tanda kitab suci, praktisi spiritual yang merasakan energi gunung, dan politisi yang mengelola risiko bencana. Buku ini mengajak pembaca untuk melihat bahwa bumi tidak diam, tetapi merupakan aktor yang aktif dan sentral dalam drama sosial manusia.

Saya pikir, bagian penting buku ini adalah mengajarkan kita bahwa untuk merespons ancaman geologis seperti erupsi, gempa, atau perubahan iklim, respons teknis-insinyur saja tidaklah cukup. Kita harus memahami "politik"-nya: bagaimana pengetahuan itu dibentuk, komunitas mana yang didengar atau diabaikan, serta narasi apa yang dominan dalam mengelola hubungan manusia dengan bumi. 

Buku ini menawarkan peta jalan konseptual untuk berpikir secara lebih inklusif, plural, dan kritis tentang keberadaan kita di planet yang dinamis dan penuh gejolak. Membacanya adalah langkah penting untuk mengembangkan epistemologi yang lebih rendah hati dan responsif dalam menghadapi ketidakpastian bumi di masa depan.


The Secret of Secrets (Dan Brown)

Novel The Secret of Secrets versi Indonesia baru saja tiba di rumah. Masih hangat. Seharian ini saya asyik membuka semua lembaran hingga akhir. Sepertinya, saya mengoleksi semua karya Dan Brown. Novelnya selalu seru dan asyik dibaca karena mengajak pembaca masuk ke dunia teka-teki yang khas Dan Brown: penuh kode, simbol, rahasia kuno, dan teknologi modern. 


Keseruan buku ini juga terletak pada perpaduan cerdas antara fakta, sejarah, dan imajinasi. Dan Brown piawai memanfaatkan pengetahuan tentang kriptografi, sains, seni, dan agama untuk membangun dunia cerita yang terasa masuk akal, meski penuh intrik. 

Informasi-informasi tersebut tidak disajikan seperti buku pelajaran, melainkan diselipkan alami dalam konflik dan dialog, sehingga pembaca belajar sambil terhibur.

Yang membuatnya semakin asyik adalah gaya bertutur Dan Brown yang sinematik dan ritmenya yang nyaris tanpa jeda. Bab-bab pendek, cliffhanger di setiap transisi, serta tokoh-tokoh dengan kepentingan tersembunyi membuat pembaca sulit berhenti. Secrets of Secrets bukan hanya menawarkan misteri untuk dipecahkan, tetapi juga sensasi petualangan intelektual, bacaan yang memuaskan rasa penasaran sekaligus memberi adrenalin.


Communication Against Capital (Rianne Subijanto)

Buku yang diterbitkan Cornell University Press ini mengajak pembaca menelusuri bagaimana pergerakan merah, gerakan antikolonial berhaluan kiri di Indonesia 1920-an, mengembangkan strategi komunikasi yang radikal dan cerdas. 

Alih-alih menyorot elite politik semata, Rianne Subijanto menempatkan perempuan kelas bawah, anak-anak, serta individu dari beragam ras dan etnis sebagai subjek utama perjuangan. Mereka bergerak di berbagai arena komunikasi: organisasi politik, rapat umum, media cetak, sekolah, hingga jalur pelayaran, ruang-ruang yang biasanya luput dari narasi besar sejarah.


Keistimewaan buku ini terletak pada caranya membaca teknologi komunikasi yang ada sebagai alat perlawanan. Media cetak, sistem pendidikan, dan infrastruktur kolonial tidak diterima apa adanya, melainkan dibajak dan diputar arah menjadi senjata antikolonial dan antikapitalis. 

Dalam proses ini, gagasan komunisme bertaut dengan cita-cita Pencerahan, yakni rasionalitas, kesetaraan, dan emansipasi, melahirkan apa yang Subijanto sebut sebagai red enlightenment: sebuah semangat pembebasan yang mendorong lahirnya strategi mobilisasi baru.

Melalui pendekatan yang inovatif, Subijanto menunjukkan bahwa pergerakan merah menggeser medan perjuangan dari peperangan fisik ke komunikasi modern. Teknik-teknik baru ini bukan sekadar pelengkap, melainkan fondasi bagi perubahan bentuk mobilisasi antikolonial di Indonesia. 

Dengan demikian, Communication against Capital bukan hanya menulis ulang sejarah perlawanan, tetapi juga memperluas cara kita memahami komunikasi sebagai medan politik yang menentukan.


Singularity is Nearer (Ray Kurtzwell)

Berawal dari membaca buku Nexus dari Yuval Noah Harari, saya tertarik untuk membaca Singularity is Nearer, yang beberapa kali disebut Harari. Membaca sekilas buku ini, saya menemukan optimisme kuat mengenai masa depan.

Ray Kurzweil secara eksplisit membahas bahwa manusia dan teknologi tidak lagi berjalan paralel, melainkan menuju kondisi “singular”: menyatu dalam satu sistem kecerdasan dan eksistensi baru. Kurzweil berargumen bahwa pada titik technological singularity, batas antara manusia dan mesin akan mengabur hingga nyaris hilang. 


Otak biologis manusia akan diperluas oleh kecerdasan buatan; memori, kreativitas, dan kesadaran akan ditingkatkan melalui antarmuka digital, implan neural, dan komputasi awan. Dalam pandangannya, manusia tidak “dikalahkan” oleh mesin, melainkan berevolusi bersama mesin, hingga menjadi makhluk hibrida biologis-digital. Di sini, “singular” bukan berarti seragam, tetapi terintegrasi secara total.

Namun yang menarik, Kurzweil tidak memaknainya sebagai kehilangan kemanusiaan. Justru sebaliknya: ia percaya penyatuan ini memungkinkan manusia melampaui keterbatasan tubuh, penyakit, dan bahkan kematian, tanpa menghapus nilai-nilai manusia seperti empati, makna, dan tujuan. 

Inilah sebabnya buku ini sering memicu perdebatan etis dan filosofis: apakah penyatuan manusia-teknologi adalah puncak evolusi, atau awal dari krisis makna kemanusiaan? Kurzweil jelas memilih yang pertama, dan pembaca diajak untuk menilai sendiri, dengan pikiran terbuka.


Matthes (Allan TH)

Jauh dari Leiden, Belanda, dia datang ke selatan Celebes. Di tahun 1847, Benjamin Frederick Matthes diminta pengurus Nederlandsch Bijbelgenootschap atau organsiasi Alkitab Belanda untuk meneliti sastra Bugis, termasuk I La Galigo,. 

Sebagai misionaris, dia juga diminta menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Bugis Makassar. Di masa itu, dia lulusan terbaik Sastra Semitik dan Teologi di Universitas Leiden. Dia menerima tugas itu dengan membawa kekhawatiran. Dia tidak banyak mengenal tanah Celebes, tanah di mana para lelakinya mudah menghunus badik dan memburai usus.


Matthes seorang ilmuwan yang tekun. Dalam petualang di bumi Celebes, dia mengumpulkan banyak naskah, serta belajar bahasa Bugis Makassar. Di tahun 1852, dia berjumpa Arung Pancana Toa atau Colliq Pujie, yang kemudian membantunya untuk menulis ulang tradisi lisan La Galigo ke dalam lembar-lembar aksara.

Kini La Galigo menjadi kanon sastra dunia. Kisahnya dipentaskan dalam teater di berbagai kota besar dunia. Dari Madrid hingga Lisbon. Semua orang menyebut nama Colliq Pujie, tapi jarang yang menyebut nama Matthes. Apakah karena dia seorang kristiani dan penginjil yang taat?

Novel Matthes ini memotret kisah Benjamin Frederic Matthes. Novel ini menyajikan kisah hidup seorang penginjil, yang dimulai dari Leiden hingga ke tanah Celebes. Saya bayangkan betapa sulitnya melahirkan novel ini. Penulis mesti membaca data demi data, mengunjungi gereja-gereja dan seminari, setelah itu menyajikan kisah penjelajahan yang dipenuhi semangat gold, gospel, and glory.

Ini bukan novel tentang kejamnya kolonialisme, tetapi menyajikan potret perjalanan seorang misionaris di tanah yang baru, perjumpaan dengan cendekia dan sastrawan, serta kolaborasi untuk melahirkan sastra dunia.


Majapahit (Herald van der Linde)

Mulanya, saya melihat buku ini dibahas dalam podcast Endgame-nya Gita Wiryawan. Di situ, penulis buku ini, Herald van der Linde, menjelaskan Majapahit serupa kisah Game of Thrones: penuh intrik, perebutan kekuasaan, aliansi rapuh, dan pengkhianatan yang sunyi tapi menentukan. 

Saya penasaran untuk membacanya. Dalam buku ini, Majapahit tidak tampil sebagai kerajaan agung yang statis dan rapi, melainkan sebagai arena politik yang riuh, tempat para bangsawan, pejabat istana, dan keluarga raja saling bersaing memperebutkan legitimasi dan pengaruh. Sejarah menjadi hidup, bergerak, dan terasa dekat dengan konflik manusiawi.


Van der Linde piawai menyoroti tokoh-tokoh Majapahit bukan sebagai pahlawan satu dimensi, tetapi sebagai figur kompleks dengan ambisi, kecemasan, dan strategi. Pergantian kekuasaan, konflik internal istana, hingga ketegangan antara pusat dan daerah dibaca seperti bab-bab dramatik dalam saga politik. 

Pembaca diajak menyelami bagaimana kekuasaan dijaga bukan hanya lewat perang terbuka, tetapi melalui pernikahan politik, simbol-simbol sakral, dan narasi legitimasi, persis seperti intrik di Westeros, hanya saja berakar kuat pada konteks Jawa abad ke-14.

Majapahit bukan sekadar buku sejarah, melainkan kisah politik epik Nusantara, yang membuat kita sadar bahwa drama kekuasaan ternyata telah lama berlangsung, jauh sebelum layar-layar serial modern menampilkannya.


Bukan Siapa-Siapa (Rekam Jejak Retno Marsudi)

Inu buku tipis, tapi penuh substansi.  Isinya mengenai perjalanan Retno Marsudi, perempuan pertama yang menjadiMenteri Luar Negeri di republik ini. Buku ini menyajikan Retno yang apa adanya, mulai dari bocah yang orang tuanya pindah-pindah kontrakan.

Bapaknya hanya seorang karyawan swasta. Ibunya Retno Werdiningsih, bekerja di satu SMA, sembari mengelola bisnis katering. Mereka bukan keluarga berpunya. Selalu dalam keterbatasan. Retno masih ingat persis bagaimana ibunya menabung dalam bentuk emas. Setiap ada anaknya yang hendak sekolah, emas akan dijual. Setiap ada rezeki, pasti akan dibelikan emas lagi. 

Beruntung, Retno mendapat beasiswa untuk kuliah di Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (UGM). Di sini, dia menjadi sosok yang rajin kuliah, rajin ke perpustakaan, dan rajin ibadah. Hngga akhirnya lulus program ikatan dinas dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). 


Dalam buku ini, Retno adalah sosok pembelajar dan pekerja keras. Dia tahu keterbatasan keluarganya sehingga dia menempa dirinya untuk terus menaikkan kualitas. Dia meyakini, kualitas akan membawa dirinya melenting di tengah mayoritas.

Di Kemenlu, kariernya melejit. Dia mengakui, kementerian ini tadinya identik dengan nepotisme. Banyak yang masuk karena titipan pejabat. Banyak yang tidak berkualitas, sementara harus menyandang amanah yang tidak ringan sebab membawa nama bangsa ke pentas dunia.

Lagi-lagi, kualitas diri inilah yang membawanya mengangkasa. Kariernya terus melejit. Di usia 42 tahun, dia sudah diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Norwegia dan Islandia. Hingga akhirnya takdir menyiapkan jalan agar dirinya menjadi perempuan pertama di republik ini yang jadi Menteri Luar Negeri.

Padahal, sebagaimana diakuinya sendiri, dia bukan siapa-siapa. Dia bukan titipan orang lain. Dia bukan petugas partai. Dia pribadi yang mengasah dirinya, pekerja keras, dan punya kapasitas yang membuatnya melenting.


Mr Clean - Mar’ie Muhammad

Buku ini serupa oase di tengah kekeringan. Isinya mengenai Mar’ie Muhammad, sosok yang lama melekat dengan julukan Mr Clean. Julukan itu bukan sekadar label populer, melainkan simpulan dari perjalanan panjang seorang birokrat yang menempatkan kejujuran sebagai prinsip hidup. 

Latar aktivismenya di Himpunan Mahasiswa Islam membentuk etos keberanian dan kedisiplinan moral, dua hal yang kelak terasa nyata ketika ia memasuki ruang-ruang kekuasaan negara. Ketika menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak, lalu Menteri Keuangan pada era Suharto, Mar’ie Muhammad berada di pusat pusaran kepentingan yang keras dan penuh godaan. 


Di titik itulah reputasinya diuji. Ia dikenal tak bisa disogok dan tak bisa disuap, bukan karena tak pernah dicoba, melainkan karena selalu menolak. Integritas baginya bukan slogan, melainkan kebiasaan sehari-hari: bekerja lurus, menutup celah kompromi, dan berani berkata tidak, bahkan ketika tekanan datang dari arah yang paling kuat.

Membaca kisahnya hari ini terasa seperti meneguk air jernih di tengah lanskap publik yang kerap keruh. Figur seperti Mar’ie Muhammad mengingatkan bahwa integritas bukan sesuatu yang lahir tiba-tiba, melainkan hasil dari konsistensi panjang, dari bangku aktivisme hingga puncak birokrasi. 

Ia meninggalkan teladan sunyi: bahwa kekuasaan dapat dijalani tanpa mengorbankan nurani, dan bahwa kejujuran, meski sering tampak rapuh, justru itulah fondasi paling kokoh bagi negara.


Leiden (Hasbunallah Haris)

Novel ini baru sepekan tiba. Saya belum menyelesaikannya. Tapi saya menyukai genre fiksi sejarah yang ditulis anak muda dari tanah Minang ini. Genre ini memungkinkan pikiran untuk melakukan kembara, melintasi waktu, dan melihat berbagai hal yang hadir dan luruh bersama waktu.

Kisahnya mengenai pertemuan Syamil dengan Maryati dan Kasman di Padang Panjang secara ajaib membawa mahasiswa jurusan sejarah itu jauh dari rumah. Lewat potongan naskah berusia seratus tahun yang dicatat oleh seorang mantan tentara Belanda bernama Alex van deer Meer, Syamil menjelajah ke Sawahlunto pada tahun 1920 hingga ke Leiden pada tahun 2020. 


Sembari menelusuri kembali setiap jengkal sejarah bangsanya, Syamil mesti mengumpulkan petunjuk mengenai harta karun tua yang tersembunyi di negerinya. Petualangan panjang itu mempertemukan Syamil dengan sosok-sosok baru. 

Salah satu hal yang buat penasaran untuk membaca novel ini adalah fakta penulisnya belum pernah ke Leiden. Namun, dia tekun menyusun data sejarah demi menghadirkan teka-teki dalam novel yang kemudian membawa kisahnya melamglangbuana, dari Sawahlunto, Padang, hingga Leiden.


Penerjemah dari Jawa (Alfred Birney)

Buku ini mengingatkan saya pada bukunya Maarten Hidskes berjudul Di Belanda, Tak Seorangpun Mempercayai Saya. Isinya mengenai kolonialisme Indonesia dipandang dari sisi orang Belanda.

Buku Penerjemah dari Jawa, dalam versi Belanda berjudul De Tolk van Java, perlu dibaca karena menghadirkan sejarah Indonesia–Belanda dari sudut yang jarang disentuh: bukan dari para pemenang, melainkan dari retakan batin mereka yang hidup di antara dua dunia. Di Belanda, buku ini menang beberapa penghargaan sastra bergengsi.


Melalui tokoh ayah, seorang mantan tentara KNIL berdarah Indo, Alfred Birney menyingkap luka kolonial yang tidak selesai ketika perang berakhir. Sejarah dalam novel ini bukan arsip kaku, melainkan trauma yang menjelma menjadi kekerasan domestik, keheningan keluarga, dan kemarahan yang diwariskan lintas generasi.

Buku ini juga penting karena menunjukkan bagaimana kolonialisme tidak berhenti pada penaklukan wilayah, tetapi berlanjut dalam bahasa, ingatan, dan relasi keluarga. 

Judul Penerjemah dari Jawa menyiratkan posisi liminal: sang ayah menerjemahkan bahasa, tetapi gagal menerjemahkan dirinya sendiri, terkoyak antara tanah asal yang ditinggalkan dan negeri baru yang tak sepenuhnya menerima. Birney menulis dengan gaya dingin namun tajam, membuat pembaca menyadari bahwa kekerasan paling kejam sering justru terjadi di ruang paling intim: rumah.


Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia (Yudi Latif)

Sejak dulu, nama Yudi Latif selalu ada dalam daftar penulis yang bukunya saya kumpulkan dengan penuh antusias. Karya-karyanya tebal, serius, dan nyaris selalu menyimpan kedalaman yang memaksa pembacanya berhenti sejenak untuk bernapas. 

Mata Air Keteladanan adalah salah satu favorit saya. Buku ini berisikan mozaik tentang manusia-manusia baik yang pernah menyinari sejarah tanah air, sekaligus cermin nilai-nilai luhur Pancasila. Saya juga menikmati Intelegensia, Muslim, dan Kuasa, buku yang lahir dari disertasinya di Australia. Namun saya lebih suka buku Cendekiawan dan Kekuasaan karya Daniel Dhakidae. 


Keduanya sama-sama bicara tentang intelektual Indonesia, namun cakupan Dhakidae terasa lebih luas. Sedangkan Yudi Latif, meski mendalam, memilih fokus pada cendekiawan Muslim.

Karena itu, ketika mendengar Yudi Latif menerbitkan buku Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia, saya langsung memesan pre-order. Begitu buku tiba, saya termasuk yang paling awal melahap halaman-halamannya.

Meskipun agak kecewa pas membaca informasi, kalau buku ini dibuat dengan bantuan AI, saya tetao mengapresiasi buku yang diolah dari kelengkapan data dan informasi, demi menunjukkan betapa pentingnya Indonesia bagi dunia.

*** 

Demikian beberapa buku yang sempat saya catat. Tentunya, ada beberapa buku lain yang juga menarik, namun belum sempat saya bahas di sini. Semoga dunia literasi kita selalu meriah di tahun 2026. Semoga semakin banyak karya bagus yang membuat pikiran kita keluar dan mengembara, dan menolak untuk berada di kamar sempit.


BACA JUGA:

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2024

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2023

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2022

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2021

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2020

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2019

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2018

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2017

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2016

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2015