Beranda
/ Kisah Tiga Tetangga Tionghoa
Kisah Tiga Tetangga Tionghoa
Tinggal di satu kompleks yang banyak
dihuni warga keturunan Tionghoa menyebabkan interaksi saya dengan mereka
menjadi lebih intens. Saya memiliki beberapa tetangga yang sering bertegur
sapa. Kali ini saya akan berkisah tentang tiga tetangga yang cukup dekat.
Tetangga pertama adalah anak muda bernama
Steven. Saya perkirakan usianya 30 tahun. Dari rumah yang saya tempati, bisa
saya lihat rumahnya di seberang jogging track. Dia bekerja sebagai marketing di
perumahan itu. Tubuhnya tinggi dan atletis sebab dirinya rajin ke fitness
center.
Beberapa kali saya berinteraksi dengannya.
Kesan saya, dia orangnya dingin. Tapi dia selalu menyapa orang yang dikenalnya.
Interaksi kami hanya sebatas menyapa hallo saat bertemu. Dia tidak terlalu suka
bercanda. Dia sangat ulet dalam bekerja. Kalau menyangkut uang, dia akan cepat merespon pembicaraan. Saat dia
membuka usaha laundry, dia rajin mengirimi saya pesan-pesan promosi melalui
aplikasi whatsapp.
Istri Pak Steven lebih dingin lagi.
Berbeda dengan Steven yang cukup akrab dengan tetangga, istrinya terkesan
menutup diri. Saya hanya melihatnya di pagi hari dan sore hari saat dia hendak
ke kantor dan pulang ke rumah. Namun sejak dirinya hamil, dia tak pernah lagi
masuk kantor. Dia memilih di rumah merawat anaknya yang kini berusia sekitar 2
tahun.
Tetangga kedua adalah Friska. Rumahnya
berjarak dua rumah dari rumah kediaman saya. Usianya sekitar 20-an tahun. Entah
kenapa dia suka sekali memakai celana pendek yang menampakkan kakinya yang
putih. Rambutnya lurus panjang. Friska sangat menyukai anak kecil. Rupanya dia
adalah pengajar sekolah minggu di satu gereja. Makanya, ia sering datang ke
rumah kami untuk mengajak anak saya Ara bermain. Saya senang saja jika Ara
punya teman.
Mulanya Ara diajak bermain di rumahnya.
Selanjutnya, mereka mulai suka menjelajah. Friska mengajak Ara ke rumahnya yang
ada di blok lain kompleks kami. Untungnya, Ara selalu meminta ijin kepada
ibunya ke manapun dia pergi. Kalau ibunya menyetujui, maka dia akan pergi. Jika
tidak, dia akan menolak pergi. Untungnya, Friska selalu mengabari kami jika hendak mengajak Ara bepergian ke manapun. Bahkan saat hendak mengajak Ara bermain dengan anjing, Friska
menunggu respon saya dan ibunya Ara. Bagi saya, tak ada yang salah dengan
aktivitas bermain dengan anjing. Saya hanya mengingatkan Ara agar tidak
menyentuh lidah anjing.
Friska punya kekasih bernama Koh Irwan.
Dia anak muda yang lengannya penuh tato. Sebagaimana Friska, Irwan juga suka
anak kecil. Jarak rumah kami ke blok sebelah sekitar 200-an meter. Biasanya,
Ara akan dipangku Irwan di kursi sopir. Ara akan memegang setir dan Irwan yang
mengendalikan kopling dan gas. Lucu saja saat melihat fotonya. Ara dipangku
lelaki kekar yang lengannya penuh tato.
Beberapa waktu lalu, Friska minta ijin ke
rumah untuk mengajak Ara ke acara paskah di gereja. Saat Ara diberitahu tentang
Paskah, dia menyebut kelinci dan telur-telur cantik. Ara tahu dari tayangan
yang disaksikannya di kanal Youtube. Saya tak keberatan jika Ara ke gereja
untuk bermain dengan kelinci. Toh, mereka hanya sekadar bermain, setelah itu
pulang ke rumah.
Pada diri Friska, saya melihat banyak
kasih terpancar. Saya selalu merasa aman jika dia datang ke rumah untuk
menjemput Ara bermain. Malah, saya berharap dia ikut menjemput Ana, adiknya Ara
yang masih baby. Lumayan, bisa menghemat biaya babysitter yang cukup mahal di
Bogor. Hehehe.
Tetangga Tionghoa ketiga yang ingin saya
ceritakan adalah seorang nenek di seblah rumah. Dia tinggal bersama anak
lelakinya yang bernama Joni. Setiap pagi, saya akan melihat Oma menyiram bunga.
Ia suka tanaman. Malah ia membagikan beberapa bibit tanaman ke istri saya.
Kesan saya, Oma sangat suka ngobrol. Dia bisa lupa waktu saat membahas berbagai
hal.
Sebetulnya saya tidak terlalu betah
mendengar ceritanya. Tapi saya tidak ingin mengecewakannya. Saya pura-pura
mendengar semua kisah-kisahnya. Ternyata, dia malah semakin bersemangat. Setia
hari dia akan bercerita banyak hal. Dia bercerita tentang Opa, almarhum suaminya yang telah
meninggal. Dia bercerita bisnisnya yang cukup besar di Senen bersama Opa.
Sering juga membahas anak-anaknya yang katanya hanya sibuk mengambil hartanya.
Ketika berbincang dengan Oma, saya
membayangkan betapa sepinya menjalani hari tua. Mungkin kelak saya akan
menjalani hal yang sama. Menjadi tua adalah memasuki kehidupan yang sepi. Anak
yang dahulu kecil kini telah dewasa dan menjadi anak panah yang melesat
meninggalkan busurnya. Kebahagiaan orang tua adalah saat didengarkan dan
diapresiasi.
Sering saya lihat Oma bertengkar dengan
anaknya yang datang berkunjung. Biasanya, setelah anaknya pergi, ia akan
memanggil saya lalu menyampaikan kekesalannya. Katanya, anak-anaknya hanya
mengincar harta, tanpa menyayanginya. Sejak saat itu, Oma mulai sakit-sakitan. Dikarenakan
Joni sering keluar rumah, ia beberapa kali memanggil saya dan meminta dibelikan
obat. Saya ikhlas melakukannya. Saya tahu dia lagi butuh bantuan.
Pada setiap bantuan, saya menolak menerima
pemberian apapun dari Oma. Tapi dia cukup tahu diri. Jika saya melakukan
sesuatu untuknya, dia akan membawakan sesuatu untuk saya. Pernah dia ke rumah
membawa roti yang sangat enak. Ternyata salah satu anaknya punya usaha roti.
Hingga akhirnya, saya melihat Oma digotong
dan dibawa dengan ambulans. Lebih dua pekan tak ada kabarnya. Suatu hari, Joni
datang membawa berita Oma telah meninggal dunia. Jenazahnya telah diperabukan
dan disimpan dalam guci. Ada juga abunya yang disebar di lautan, sesuai
permintaan Oma. Mungkin dia punya obsesi menjadi bagian dari semesta lautan
yang luas. Entahlah.
Sejak Oma pergi, rumahnya langsung kosong.
Saya pun menjadi sunyi atas kepergiannya. Sering saya melihat ke rumahnya,
berharap Oma masih di situ. Anehnya, Joni beberapa kali datang untuk menemui
saya. Joni meminta saya untuk membeli rumah itu dengan harga berapapun. Joni
berharap saya mengajukan penawaran. Jangan-jangan Joni mendapat wasiat dari Oma
terkait rumah itu. Lagian, saya tak ada niat untuk memiliki rumah itu.
Demikianlah kisah tiga tetangga Tionghoa.
Ada yang pekerja keras dan cepat merespon saat membahas uang. Ada yang suka
bermain dengan anak kecil. Ada juga yang kesepian di masa tuanya, tanpa ada
teman untuk berbicara. Ketiga sosok ini laksana mozaik yang saling melengkapi.
Mereka berbeda karakter dan kebiasaan, tapi hidup sebagai tetangga yang
rumahnya hanya sepelemparan batu.
Sekelumit kisah para tetangga
menghangatkan hari-hari saya di kota hujan. Mereka mengingatkan saya pada teori
yang menyatakan bahwa semua manusia itu unik. Semua manusia ingin dihargai dan
didengarkan. Pada Pak Steven, saya belajar keuletan. Pada Friska, saya belajar
kasih sayang. Pada Oma, saya belajar tentang perlunya empati dan sikap
mendengarkan.
Saya menemukan kesamaan dengan mereka. Kami semua adalah kepingan kecil yang saling bertaut dengan dinamika
masing-masing. Kami berasal dari latar berbeda, tapi dipertalikan oleh hubungan
pertetanggaan. Jika kami saling mengenal, berarti ada satu rajutan interaksi
yang setiap buhulnya ditenun bersama-sama. Dan kehidupan adalah upaya untuk
selalu merajut benang merah yang menghubungkan kita dengan siapa saja, yang
entah dengan cara bagaimana, kerap meninggalkan jejak di hati kita.
Entah kenapa, saya sering melihat siluet
Oma di rumah sebelah.
Bogor, 20 Mei 2017