Jangan Salahkan RIDWAN KAMIL


Tentu saja saya ingin membela Ridwan Kamil. Siapa yang tega tidak membela lelaki dengan paket lengkap seperti dia. Tampan, pintar, arsitek, lulusan luar negeri, kaya, sukses, berkuasa. 

Selama bertahun tahun, Ridwan Kamil menjadi jawaban paling aman ketika orang tua bertanya, apa cita citamu Nak. Tinggal tunjuk layar ponsel. Nih Pak Bu, ini contoh manusianya.

Ridwan Kamil adalah ikon lelaki sempurna di era digital. Sosok ini hadir tepat ketika bangsa ini membutuhkan figur yang bukan hanya bekerja, tetapi terlihat bekerja. Bukan hanya mencintai, tetapi terlihat mencintai.

Dia memahami betul hukum utama zaman ini. Apa yang tidak tampil di layar dianggap tidak pernah ada.

Di situlah kejeniusan Kang Emil bekerja. Blitz kamera bukan gangguan, melainkan habitat. Media bukan sekadar peliput, melainkan perpanjangan tangan narasi. Kang Emil menjelma ikon tren, mode, dan gaya hidup, termasuk gaya cinta yang fotogenik.

Tanpa dirinya, mungkin kita masih mengira pernikahan adalah urusan dua orang. Syukurlah figur ini meluruskan kekeliruan itu. Pernikahan adalah urusan publik. Publik berhak melihat bukti cinta. Kalau bisa tiap minggu.

Kalau memungkinkan tiap hari. Foto mesra tersedia. Caption puitis wajib. Narasi istri adalah segalanya konsisten. Bahkan algoritma ikut terharu.

Di panggung politik, Ridwan Kamil muncul seperti meteor. Terang, cepat, memikat. Pendekatan kekinian, gaya yang cair, humor yang terkurasi rapi membuat banyak partai tergoda.

Mereka berebut meminang figur ini, seolah sedang memilih duta merek, bukan pemimpin publik. Politik pun tampak ringan, ramah, dan mudah dibagikan.

Sampai di sini, sungguh tidak ada yang salah. Bahkan sangat benar. Kang Emil hanyalah murid paling rajin dari pelajaran sosiologi klasik tentang bagaimana manusia mengelola kesan.

Jauh sebelum media sosial, Erving Goffman sudah mengingatkan bahwa hidup adalah pertunjukan. Ada panggung depan tempat manusia tampil rapi, sopan, dan heroik. Ada panggung belakang tempat kostum dilepas, kelelahan disimpan, dan kontradiksi dibiarkan hidup.

Masalahnya, Ridwan Kamil tampaknya terlalu mencintai panggung depan. Sosok ini bukan sekadar aktor, melainkan sutradara, penulis skenario, sekaligus penata cahaya.

Impresi publik diatur dengan presisi tinggi, sementara panggung belakang disimpan di wilayah abu abu yang tidak boleh disentuh kamera. Publik, seperti penonton setia, ikut percaya bahwa panggung depan itulah seluruh cerita.

Di sinilah pembelaan perlu disampaikan dengan jujur.. Yang dilakukan Kang Emil bukanlah dosa besar. Dia tidak merampok. Tidak korup. Tidak menyakiti siapa pun secara kasat mata. Yang terjadi hanyalah satu kekeliruan yang di zaman narsisme kolektif terdengar sepele tetapi mematikan. Menempatkan diri terlalu tinggi sebagai standar moral.

Ada hukum tak tertulis di media sosial. Siapa pun yang naik ke podium paling benar, maka tanpa sadar sedang mengundang massa untuk membawa palu. Massa bergerombol untuk mengetuk patung itu, mencari retakan sekecil apa pun. Ketika satu retakan muncul, yang runtuh bukan hanya reputasi pribadi, melainkan seluruh narasi moral yang selama ini dijual mahal ke publik.

Maka jangan heran jika kemarahan terasa begitu besar. Kemarahan ini bukan lahir dari kebencian, melainkan dari kekecewaan yang dalam. Jenis kekecewaan yang hanya muncul ketika seseorang terlalu lama dicintai dan terlalu lama dipercaya.

Publik tidak sedang melemparinya dengan batu. Yang dilempari adalah bayangan diri mereka sendiri yang telanjur ikut percaya pada cerita itu.

Yang runtuh bukan hanya figur publik, melainkan imajinasi kolektif yang dibangun bersama. Bahwa masih ada manusia publik yang utuh, rapi, tanpa retak.

Bahwa di tengah politik yang kusam, masih ada tokoh yang bersih bukan hanya secara administratif, tetapi juga secara moral dan domestik. Ketika narasi itu pecah, publik kehilangan lebih dari sekadar idola. Harapan ikut runtuh.

Dan kehilangan harapan selalu lebih menyakitkan daripada kehilangan tokoh.

Kemarahan itu pada dasarnya adalah rasa malu yang berbalik arah. Malu karena pernah ikut mengagungkan. Malu karena pernah menjadikan satu keluarga sebagai tolok ukur kebahagiaan.

Malu karena pernah membagikan ulang foto, caption, dan potongan kisah yang kini terasa seperti iklan kehidupan sempurna. Maka wajar jika reaksi yang muncul bukan empati, melainkan amarah. Amarah sering kali menjadi cara tercepat untuk menutup rasa ikut bersalah.

Di situlah letak luka publik yang sesungguhnya. Bukan pada fakta yang muncul belakangan, melainkan pada kesadaran bahwa sejak awal publik disuguhi kisah yang terlalu steril untuk sebuah kehidupan nyata.

Ketika sterilitas itu pecah, bau realitas terasa menyengat. Bukan karena realitas kejam, melainkan karena terlalu lama hidup dalam ilusi yang wangi.

Maka kemarahan itu sesungguhnya adalah tuntutan yang terlambat. Tuntutan agar sejak awal tersedia cerita yang jujur. Cerita yang tidak memaksa tokohnya menjadi teladan setiap detik. Cerita yang membiarkan ruang abu abu tetap ada. Cerita yang mengakui bahwa menjadi manusia, bahkan manusia publik, adalah proses yang rapuh, tidak konsisten, dan sering kali gagal.

Ironisnya, Ridwan Kamil bukan pelaku utama tragedi ini. Tokoh tersebut bukan arsitek tunggal dari kerapuhan yang kini diperdebatkan dengan suara tinggi dan jari telunjuk moral.

Dia justru produk paling berhasil dari ekosistem yang dirawat bersama. Budaya yang menuntut manusia publik untuk selalu tampak utuh, harmonis, sukses, dan suci. Dalam kebudayaan semacam itu, retak bukan bagian dari proses, melainkan aib yang harus disembunyikan rapat rapat.

Ridwan Kamil menjalankan peran yang disediakan zaman dengan disiplin tinggi. Selera publik dibaca, algoritma emosi massa dipahami, lalu ekspektasi dipenuhi secara konsisten.

Dalam era ini, ketulusan yang tidak terdokumentasi dianggap tidak pernah ada, dan kebahagiaan yang tidak diunggah diperlakukan seperti rahasia yang mencurigakan. Maka unggahan dibuat, narasi disusun, kehidupan ditampilkan. Bukan semata karena hasrat dipuja, melainkan karena sistem meminta itu dan memberi ganjaran ketika kepatuhan ditunjukkan.

Ketergantungan pada likes memang ada. Namun siapa yang tidak. Perbedaannya hanya pada skala. Sebagian dari kita mencari validasi dari puluhan orang. Ridwan Kamil mencarinya dari jutaan.

Kita mengedit hidup agar tampak baik di lingkar kecil. Tokoh ini mengurasi hidupnya untuk panggung nasional. Sosok tersebut adalah versi ekstrem dari kecanduan yang sama sama dipelihara setiap hari, dengan konsekuensi yang jauh lebih gaduh ketika lampu sorot padam.

Dan di titik itulah ironi berubah menjadi kepanikan kolektif. Ketika realitas menyela tanpa filter, tanpa caption, tanpa jeda, kita semua berpura pura kaget. Seolah lupa bahwa kesempurnaan yang selama ini dinikmati bukanlah kenyataan, melainkan hasil penyuntingan.

Seolah lupa bahwa panggung depan, betapapun rapi dan memesona, selalu berdiri di atas panggung belakang yang berantakan.

Keterkejutan publik sesungguhnya adalah keterkejutan atas kebohongan yang selama ini disepakati bersama. Publik menginginkan figur yang manusiawi, tetapi hanya sejauh kemanusiaannya tidak mengganggu imajinasi.

Kejujuran dituntut, tetapi hanya dalam porsi yang masih bisa dicerna tanpa harus merevisi harapan. Maka ketika tirai tersibak terlalu lebar, reaksi yang muncul bukan pemahaman, melainkan amarah.


Pada akhirnya, yang disaksikan bukan sekadar jatuhnya satu figur, melainkan runtuhnya sebuah ilusi kolektif. Ilusi bahwa ada manusia yang bisa hidup sepenuhnya di panggung depan tanpa membayar ongkos di belakang. Ilusi bahwa kehidupan publik dapat disederhanakan menjadi rangkaian foto, caption, dan narasi rapi tanpa sisa.

Dalam bahasa filsafat, inilah dunia yang terbelah antara tampilan dan kenyataan. Jean Baudrillard pernah mengingatkan bahwa kita hidup dalam masyarakat simulasi, ketika representasi tidak lagi mencerminkan realitas, melainkan menggantikannya. The simulacrum is never what hides the truth. It is the truth that hides the fact that there is none.

Ridwan Kamil berdiri tepat di tengah dunia semacam itu. Bukan sebagai penipu tunggal, melainkan sebagai figur yang paling patuh pada logika zaman. Publik, tanpa sadar, ikut menjadi bagian dari mekanisme tersebut.

Kita menyukai cerita yang utuh, bersih, dan menenangkan. Kita memberi tepuk tangan panjang pada kesempurnaan, sambil pura pura lupa bahwa kesempurnaan selalu membutuhkan penyuntingan yang kejam.

Maka tragedi paling sunyi dari semua ini bukanlah jatuhnya satu nama, melainkan kesadaran yang datang terlambat bahwa kita ikut menikmati pertunjukan itu terlalu lama.

Kita bertepuk tangan tanpa pernah bertanya, berapa banyak bagian hidup yang harus disembunyikan agar sesuatu tampak sempurna.

Dan ketika tirai akhirnya terbuka, kemarahan pun meledak. Padahal yang runtuh bukan hanya satu panggung, melainkan kepercayaan kita sendiri pada cerita yang sejak awal terlalu indah untuk sepenuhnya jujur.