Sebuah Jeda di Antara Dua Tragedi
Ada dua berita yang lahir dari minggu yang sama. Keduanya tentang bangunan yang semestinya menjadi ruang aman, tetapi berubah menjadi liang sunyi bagi puluhan jiwa.
Di satu kota, gedung terbakar, 22 meninggal, dan direktur utamanya langsung dijadikan tersangka. Di kota lain, pesantren roboh, 67 meninggal, dan pengasuhnya justru menerima bantuan negara.
Kedua tragedi ini sama-sama membawa jenazah, sama-sama meninggalkan keluarga yang hancur. Namun negara menatap keduanya dengan cara yang berbeda. Dan di situlah retaknya mulai terlihat.
Ada konsep psikologi sosial yang disebut halo effect. Reputasi baik sebuah institusi membuat publik dan negara lebih lunak dalam menilai kesalahannya. Pesantren, dengan aura religius yang melekat padanya, langsung diselimuti narasi “musibah,” “takdir,” dan “cobaan.” Kritik mereda bahkan sebelum muncul.
Sebaliknya, gedung komersial yang terbakar tidak memiliki “modal moral” itu. Ia diperlakukan dengan dingin, legalistik, dan penuh kecurigaan. Direktur utamanya diproses seketika.
Namun halo effect saja tidak cukup menjelaskan seluruh ketimpangan ini. Ada bias lain yang bekerja lebih dalam, lebih senyap
Negara memperlakukan dua bencana ini dengan standar yang berbeda, bukan karena fakta yang berbeda, tetapi karena siapa yang berada di balik bangunan itu. Gedung duniawi diproses dengan dalil hukum: audit izin, pemeriksaan struktur, penyidikan menyeluruh.
Sementara pesantren diproses dengan dalih belasungkawa: santunan, tenda darurat, doa bersama. Serangkaian langkah yang menghangatkan hati, tetapi menjauhkan pertanyaan paling dasar tentang tanggung jawab.
Hukum yang seharusnya netral berubah menjadi cermin yang memantulkan identitas institusi, bukan kebenarannya. Ini bukan sekadar bias manusia. Ini bias yang sudah menjadi pola.
Sosiolog Peter L Berger pernah menyinggung konsep Sacred Canopy atau “langit suci,” yang membuat institusi religius berada dalam zona aman secara sosial.
Ada anggapan bahwa ruang bernuansa sakral sudah memiliki legitimasi moral bawaan. Ia tidak boleh digugat dengan cara yang sama seperti institusi duniawi.
Dan dalam tragedi ini, bias sacred canopy bekerja seperti pelindung yang tidak terlihat.Yang roboh dianggap sebagai cobaan spiritual, bukan kegagalan teknis. Yang patah dianggap ujian iman, bukan hasil dari fondasi yang tidak diuji.
Akibatnya, investigasi yang seharusnya menjadi keadilan justru terserap ke dalam narasi keagamaan.
Dan pertanyaan teknis, siapa membangun gedung, siapa mengawasi, apakah standar keselamatannya terpenuhi, pelan-pelan hilang tertutup asap dupa belasungkawa.
Di layar televisi, keluarga korban kebakaran berdiri mengantre, menenteng map berisi fotokopi akta kelahiran. Mereka seperti harus membuktikan bahwa keluarganya yang hilang benar-benar pernah hidup.
Di daerah lain, keluarga korban pesantren harus duduk mendengar pidato panjang tentang kesabaran, tetapi tidak diberi jawaban tentang siapa yang membiarkan tembok rapuh berdiri.
Di satu sisi, negara menjadi hakim. Di sisi lain, negara menjadi pelayat. Padahal kematian tetaplah kematian, tanpa membedakan bangunan mana yang menelannya.
Ketika halo effect, hukum berstandar ganda, dan bias “sacred canopy “ bekerja bersama, duka publik terbelah. Ada yang diperiksa secara hukum, ada yang ditenangkan secara spiritual. Padahal keduanya membutuhkan hal yang sama: kebenaran.
Dan ketika negara lebih sibuk menjaga narasi daripada menjaga keadilan, korban kehilangan haknya dua kali: kehilangan hidup, dan kehilangan kepastian hukum.
Pada akhirnya, perbedaan respons ini menyisakan satu pertanyaan yang menggantung seperti bau asap yang tak mau pergi: apakah yang kita sebut “keadilan” masih berdiri di atas fondasi yang sama untuk semua orang?
Atau ia sudah berubah menjadi ruang gelap yang menerangi sebagian, namun membiarkan sebagian lainnya berada dalam bayang-bayang sakral yang tak tersentuh?
Selama bias ini dibiarkan tumbuh, kita akan terus hidup dalam bangsa yang menganggap sebagian kematian harus diusut, sementara sebagian lainnya cukup didoakan.
Dan itu, sesungguhnya, tragedi ketiga. Tragedi yang dibuat oleh manusia, bukan oleh bencana.
.png)