Antropologi Avatar, Kolonialisme, dan Cermin yang Retak


Mulai hari ini, Avatar: Fire and Ash, film terbaru karya James Cameron, tayang di bioskop. Ini adalah film ketiga dari sebuah semesta yang, lebih dari satu dekade lalu, pernah membius dunia.

Sebelum duduk di kursi bioskop, saya justru tergoda berhenti sejenak, menengok bukan kelanjutan ceritanya, melainkan lapisan reflektif yang membuat Avatar bertahan sebagai fenomena budaya, bukan sekadar tontonan.

Lebih dari sepuluh tahun, Avatar hidup dalam posisi yang paradoksal. Di satu sisi, film ini kerap dikritik sebagai kisah lama yang didaur ulang, sebuah Dances with Wolves versi antariksa.

Kritik semacam ini mengingatkan pada pengamatan klasik Claude Lévi-Strauss bahwa mitos modern sering kali tidak benar-benar baru. Ia hanya memindahkan struktur lama ke panggung yang berbeda.

Namun di sisi lain, dunia Pandora terus bekerja di tingkat yang lebih dalam, menyentuh kesadaran kolektif tentang alam, kekuasaan, dan Yang Lain.

Di ruang antara keajaiban visual dan narasi yang terasa akrab inilah terbentang medan refleksi antropologis yang subur. Avatar menjadi semacam cermin retak, memantulkan cara kita membayangkan alteritas, relasi manusia dengan alam, serta jejak kolonialisme yang belum sepenuhnya kita selesaikan.

Yang sering luput dari perbincangan adalah bahwa Cameron tidak hanya mengkritik kolonialisme secara tematik. Cameron mempraktikkan apa yang bisa disebut sebagai etnografi imajinatif.

Pandora dibangun sebagai sebuah thought experiment antropologis, serupa dengan pertanyaan yang diajukan Philippe Descola tentang kemungkinan kosmologi di luar pemisahan kaku antara alam dan budaya.

Bagaimana jika sebuah peradaban tumbuh bukan melalui dominasi, melainkan melalui relasi timbal balik dengan lingkungan hidupnya.

Bahasa Na’vi yang dirancang oleh Paul Frommer menjadi bagian penting dari dunia ini. Bahasa tersebut tidak hadir sebagai ornamen eksotis, melainkan sebagai struktur makna. Ia menegaskan bahwa cara berbicara sekaligus adalah cara hidup. Dalam Avatar, bahasa menjadi jembatan antara tubuh, alam, dan ingatan kolektif, bukan alat untuk menguasai.

Konsep tsahaylu, sambungan neural antar-makhluk, bekerja sebagai metafora material tentang pandangan hidup relasional. Identitas tidak berdiri sendiri, tetapi lahir dari keterhubungan.

Menjadi “diri” berarti terikat dengan ikran, dengan Pohon Jiwa, dengan Eywa sebagai jaringan kehidupan. Dunia Pandora mengajukan kritik diam-diam terhadap cara modern memandang manusia sebagai pusat yang terpisah dari lingkungannya.

Namun justru karena dunia ini begitu koheren dan memikat, Avatar menghadirkan dilema yang sulit dihindari. Kita dengan mudah berpihak dan larut dalam kesedihan ketika Pohon Jiwa dihancurkan.

Tetapi empati itu sering berhenti di layar. Kesedihan atas Pandora tidak selalu berlanjut menjadi kegelisahan atas Amazon, Kalimantan, atau tanah adat yang nyata.

Dalam titik ini, Avatar terasa seperti antropologi konsumsi, sebuah pengalaman empatik yang aman, di mana penderitaan Yang Lain dapat dirasakan tanpa keterlibatan politis yang sungguh-sungguh.

Wajah kolonialisme yang dihadirkan film ini pun sangat kontemporer. Penindas di Pandora bukan kerajaan atau negara imperialis, melainkan korporasi. Kekuasaan tidak lagi berbicara atas nama peradaban, tetapi atas nama efisiensi dan keuntungan.

Pandangan ini sejalan dengan kritik Edward Said tentang bagaimana dominasi modern bekerja melalui cara pandang yang mereduksi dunia lain menjadi objek ekonomi.

Bagi logika korporasi, Pohon Jiwa hanyalah gangguan teknis. Di sinilah Avatar menunjukkan bahwa kekerasan kolonial sering kali bermula dari kegagalan memahami makna. Bukan peluru yang datang lebih dulu, melainkan ketidakmampuan melihat dunia sebagaimana dipahami oleh Yang Lain.

Namun refleksi tidak boleh berhenti di luar layar. Titik rapuh film ini justru terletak pada jantung narasinya sendiri. Jalan cerita Jake Sully terjebak dalam paradoks representasi yang sudah lama dikritik pemikiran pascakolonial.

Film yang bermaksud mengutuk imperialisme justru menempatkan mantan marinir sebagai pusat kepahlawanan dan pembebasan. Narasi ini mengingatkan pada kritik Gayatri Chakravorty Spivak tentang bagaimana suara subaltern kerap kembali dimediasi oleh figur dari luar.

Jake menjadi perancang strategi, pemimpin, sekaligus simbol mesianik. Ini adalah pengulangan white savior complex yang dibalut kulit biru. Dalam upayanya melawan kolonialisme, Avatar tanpa sepenuhnya sadar mereproduksi struktur narasi kolonial itu sendiri.

Eywa, sebagai pusat kosmologi Pandora, menawarkan lapisan refleksi terakhir. Ia menggambarkan dunia sebagai jaringan hidup yang saling terhubung, sebuah visi ekologis yang terasa sangat menggoda di tengah krisis lingkungan global.

Namun Eywa juga menyimpan risiko romantisasi. Ia menawarkan fantasi bahwa alam, pada akhirnya, akan menyelamatkan dirinya sendiri. Fantasi ini menenangkan, tetapi berbahaya jika membuat kita lupa bahwa di dunia nyata, masyarakat adat bertahan bukan lewat mukjizat kosmis, melainkan lewat perjuangan politik yang panjang dan melelahkan.

Pada akhirnya, Avatar adalah cermin yang retak. Film ini memantulkan ketakutan kita akan kehancuran ekologis, rasa bersalah atas kolonialisme, dan kerinduan akan relasi yang lebih bermakna dengan dunia hidup.

Film ini mengutuk kolonialisme sambil tetap bergantung pada struktur narasi kolonial. Ia merayakan perbedaan budaya sambil memusatkan kepahlawanan pada sosok asing. Ia menyuarakan kritik ekologis dalam kemasan industri hiburan yang sangat boros energi.

Mungkin nilai antropologis Avatar tidak terletak pada jawabannya, melainkan pada pertanyaan yang terus ia sisakan. Dalam cahaya biru Pandora, kita dipaksa bertanya tentang posisi kita sendiri. Siapa “kita”, siapa “mereka”, dan dalam kisah kolonial planet manakah kita hari ini berdiri sebagai penonton yang diam.

Setiap perjumpaan dengan Yang Lain, seperti sejak lama diingatkan antropologi, selalu berujung pada perjumpaan dengan diri sendiri. Dan cermin itu, meski retak, kini terlalu terang untuk kita abaikan.