Jangan Hanya Salahkan Bupati Aceh Selatan
Ada saat ketika lumpur belum mengering. Di Sumatera, bau tanah basah bercampur bau duka; rumah-rumah roboh dan nama-nama hilang dari daftar keluarga. Di posko-posko kecil, orang-orang masih menunggu kabar yang belum tentu tiba. Ada yang berharap, ada yang pasrah, ada yang hanya menatap tanah.
Di sela itu, Presiden Prabowo Subianto berangkat ke Pakistan. Upacara penyambutan digelar, karpet merah terbentang, dentang kehormatan disusun agar terdengar penuh wibawa. Ketika gambar-gambar itu tampil di layar publik, kontrasnya seperti cahaya yang menampar wajah yang masih basah.
Beberapa hari sebelumnya, presiden yang sama mengkritik Bupati Aceh Selatan karena bepergian umroh saat banjir melanda daerahnya. Padahal, Bupati itu berangkat dengan uang pribadi. Sementara Prabowo, berangkat dengan uang rakyat. Lagian, bukankah keduanya sama-sama meninggalkan rakyatnya?
Entah kenapa, kritik demi kritik membobardir sang bupati. Kementrian Dalam Negeri Ikut heboh. Pihak partai ingin memecatnya. Berbagai tafsir undang-undang dikeluarkan untuk memberhentikan sang bupati. Sementara yang satu lagi, seakan tak tersentuh.
Namun ada sesuatu yang jarang disebut. Kepergian sang bupati, betapapun salah waktu menurut sebagian orang, adalah perjalanan ke pusat spiritualitas Islam. Ia pergi ke tempat orang memohon perlindungan, memohon kekuatan, memohon agar kasih Tuhan menyelimuti rakyat yang sedang dilanda musibah.
Meskipun, ada orang yang melihatnya sebagai desertir, lari dari tanggung jawab.
Sementara itu, presiden berangkat bukan untuk berdoa. Ia terbang untuk membicarakan kerja sama pertahanan, bernegosiasi tentang alutsista, strategi militer, dan mesin-mesin perang.
Yang satu pergi ke tempat sujud dan pengharapan, yang lain ke ruang konferensi yang dipenuhi paparan persenjataan. Di satu titik, perbandingan itu muncul begitu telanjang. Yang satu berharap Tuhan menguatkan rakyatnya, yang lain membahas pengadaan senjata ketika rakyat yang sama masih menggali tanah demi menemukan keluarganya.
Kita tidak sedang membela bupati. Kita hanya melihat bagaimana standar moral bisa berubah arah tergantung siapa yang memakainya. Foucault pernah mengingatkan bahwa kekuasaan bukan hanya menetapkan aturan, tetapi juga menciptakan versi kebenarannya sendiri. Dalam logika itu, benar dan salah sering lebih tunduk pada siapa yang berbicara daripada apa yang sesungguhnya terjadi.
Diplomasi pertahanan penting. Negara perlu menjaga diri. Namun ada jeda moral antara panggung perundingan itu dan tanah basah di mana seorang ayah masih menyingkirkan batu untuk mencari putrinya. Publik pun mempertanyakan apakah kata-kata seorang pemimpin sejalan dengan langkah kakinya sendiri.
Inkonsistensi lebih melukai daripada kekeliruan. Ada sesuatu yang retak ketika seruan moral yang pernah diucapkan tidak dihidupi oleh pengucapnya. Rakyat mungkin tidak marah. Mereka hanya merasa diuji kembali tentang apakah standar itu benar-benar berlaku untuk semua.
Dan di titik ini, kontras itu berubah menjadi luka.
Di Islamabad, lampu kristal berpendar dari langit-langit. Para pejabat tertawa kecil. Hidangan mahal disusun di meja panjang. Daging premium, roti terbaik, dessert manis yang dibuat dengan presisi. Semua tersaji seolah dunia sedang baik-baik saja.
Sementara itu, ribuan kilometer dari sana, di satu sudut Aceh, tidak ada gelas kristal. Tidak ada jamuan makan malam. Hanya sinar senter yang redup dan tanah yang terus disibak. Seorang ibu menarik napas panjang sebelum menggali lagi. Seorang anak laki-laki duduk diam, memeluk foto ayahnya yang belum ditemukan.
Di satu sisi dunia, seorang presiden menikmati makan malam yang megah. Di sisi lain, rakyatnya memungut sisa harapan dari tanah yang masih basah oleh air mata. Pertanyaannya, yang menggantung seperti kabut yang enggan menghilang: untuk bencana yang sama, mengapa jarak moral bisa sebegitu jauh antara mereka yang memerintah dan mereka yang kehilangan?
Di tanah Aceh yang sunyi, waktu mencatat dengan teliti. Lebih teliti daripada para juru bicara negara. Tidak semua perjalanan memiliki bobot yang sama. Ada yang pergi untuk berdoa. Ada yang pergi untuk membeli senjata.
Semuanya sama-sama meninggalkan rakyatnya di belakang, yang beberapa di antaranya masih setia menggali, menunggu, dan berharap,. Karena mereka tidak punya tempat lain untuk pergi.
.png)