Saat Bencana Jadi Panggung, dan Pejabat Jadi Aktornya
Zulkifli Hasan memanggul karung berisi bantuan kemanusiaan. Kita melihatnya di layar kecil telepon genggam, sebuah dunia yang makin sering menjadikan kemalangan sebagai latar sebuah cerita dan pejabat sebagai tokoh utamanya.
Langkahnya mantap, atau setidaknya ingin tampak demikian. Kamera mengikuti. Seolah karung itu lebih penting daripada truk logistik yang mestinya sudah bekerja sejak semalam.
Ia berhenti, menyapa seorang ibu pengungsi. Suaranya diturunkan setengah oktaf, sedikit bergetar, seperti seseorang yang ingin disebut simpati. “Sebelum negara kasih bantuan,” katanya, “saya dulu yang akan kasih bantuan.”
Lalu ia mengambil serok, jongkok, membersihkan lumpur. Sebuah gestur yang tampak seperti adegan yang perlu cahaya dan sudut pengambilan yang tepat.
***
Bencana, barangkali, adalah panggung paling tua dalam republik ini. Lumpur menjadi properti. Tenda pengungsian menjadi dekor. Rakyat yang letih menjadi figuran yang tak diberi dialog. Dan pejabat, dengan seragam yang selalu tampak bersih atau sengaja dikotorkan, memainkan peran penyelamat yang tiba tepat pada waktunya.
“Tepat pada waktunya” itu sering datang terlambat.
Slavoj Žižek, filsuf yang tampak selalu gelisah menghadapi dunia, pernah menulis, “Charity is the humanitarian mask that hides the face of systemic violence.” Kedermawanan yang dipertontonkan, katanya, justru menyembunyikan kegagalan yang lebih besar.
Dan lebih jauh ia menulis: “The point is not to do charity, but to ask why charity is needed in the first place.”
Kita jarang bertanya hal itu. Jarang bertanya mengapa pejabat harus turun tangan sendiri. Mengapa negara tak bergerak sebelum mereka datang, seperti tubuh yang lumpuh tanpa kepala.
Padahal rakyat tidak membutuhkan pejabat yang memikul karung demi kamera. Rakyat tidak menunggu adegan heroik yang akan hilang ditelan pembaruan berita di media sosial. Yang dibutuhkan adalah pejabat yang memastikan negara hadir bahkan ketika kamera mati.
Hannah Arendt pernah mengatakan bahwa kekuasaan sejati tidak memerlukan penonton. “Power corresponds to the human ability not just to act, but to act in concert.” Kekuasaan sejati bekerja bersama sistem, senyap tetapi efektif.
Pejabat yang mengerti itu tahu bahwa kerja negara dimulai jauh sebelum sirine ambulans meraung. Pejabat yang meninjau ulang tata ruang agar tidak ada lagi permukiman di bantaran sungai yang menyempit. Yang mencabut izin perusahaan yang menutup drainase atau merusak hutan. Yang memastikan sungai mengalir tanpa dicekik keserakahan.
Yang dibutuhkan adalah pejabat yang memastikan anggaran tanggap darurat cair tanpa birokrasi yang berbelit. Sebab seseorang yang kehilangan rumah tak bisa menunggu tanda tangan seorang menteri.
Anak-anak yang kedinginan di tenda tak dapat menunggu rapat koordinasi dimulai. Negara seharusnya bergerak otomatis, bukan manual.
Aparat yang digaji negara seharusnya menjadi garda terdepan. Mereka bukan rombongan pengiring dalam drama kunjungan kerja. Yang turun bukanlah menteri, melainkan sistem yang bekerja, yang tak peduli apakah ada kamera atau tidak.
Yang paling penting, tidak ada proses yang boleh berhenti hanya karena menanti kedatangan pejabat. Negara yang sehat bergerak karena ia harus, bukan karena seseorang ingin tampil.
***
Di titik ini, kita mungkin teringat pada Nietzsche yang pernah menulis, “The most perfidious way of harming a cause consists of defending it deliberately with faulty arguments.”
Cara paling berbahaya untuk merusak sesuatu adalah berpura-pura membelanya. Pejabat yang tampak peduli tetapi membiarkan sistem kedodoran dapat menjadi contoh paling halus dari kerusakan itu.
Simone Weil juga pernah menulis bahwa penderitaan manusia menuntut kehadiran, bukan tontonan. “Attention is the rarest and purest form of generosity.” Perhatian yang murni, dalam diam, lebih tulus daripada karung yang dipikul di depan kamera.
Pertanyaan kemudian kembali kepada kita. Apakah negara ini bergerak karena sistemnya kuat, atau hanya karena pejabatnya haus sorotan?
Selama pejabat lebih sibuk memastikan mereka tampak peduli ketimbang memastikan negara bekerja, selama lumpur lebih sering menjadi latar pencitraan daripada alasan memperbaiki tata ruang, bencana akan terus menjadi panggung. Dan rakyat akan selalu menjadi penonton yang paling menderita.
Pejabat yang bekerja sungguh-sungguh, seperti hal-hal baik dalam hidup, sering kali tak terlihat. Mereka tidak mengangkat karung. Mereka mengangkat beban struktural. Mereka tidak membersihkan lumpur. Mereka berusaha mencegah agar lumpur itu tak datang lagi.
Mereka yang, seperti diingatkan Žižek, tidak sekadar memberi bantuan, tetapi mempertanyakan mengapa bantuan itu terus diperlukan. Di dalam pertanyaan itulah barangkali harapan dimulai.
Bahwa suatu hari, kita tidak lagi hidup dalam negara yang bekerja untuk diperlihatkan, melainkan negara yang bekerja sungguh-sungguh, bahkan ketika tak ada yang menonton.
.png)