Buku yang Saya Sukai di Tahun 2018




TAHUN 2018 akan segera berlalu. Orang-orang mulai menyusun rencana untuk berlibur. Kompleks perumahan yang saya diami mulai sepi. Banyak yang liburan di kampung halaman. Suasananya seperti libur Lebaran. 

Dalam suasana seperti ini, saya melirik beberapa buku yang saya koleksi di sepanjang tahun 2018. Pilihan buku menunjukkan evolusi perkembangan pemikiran seseorang. Di masa kuliah, hampir semua buku filsafat, saya koleksi. Kemudian, saya mulai meminati humaniora dan sejarah.

Namun, dari buku-buku yang saya baca di sepanjang tahun 2018, sepertinya minat saya bertambah lagi. Tampaknya saya mulai menyukai tema-tema bisnis, marketing, teknologi, media sosial, politik pemasaran, hingga hal-hal yang sifatnya praktis dan populer.

Buku marketing pertama yang saya baca adalah buku yang ditulis Hermawan Kertajaya. Saya tidak menyangka kalau orang-orang marketing sangat memahami antropologi. Buku marketing selalu induktif, memulai dari kasus-kasus, kemudian mencari insight teoritis yang kemudian bisa digunakan kembali untuk memahami kasus lain.

Orang marketing memahami budaya dengan baik, memahami dinamika manusia, demi memasarkan sesuatu. Tema-tema marketing bergeser ke bagaimana membangun hubungan antar manusia yang saling bermakna. Anda tak mungkin bisa memasarkan sesuatu jika tak ada trust atau kepercayaan. 

Saya juga menyukai tema-tema disrupsi dan media baru. Saya melihat ada banyak hal yang berubah di tahun-tahun mendatang. Saya sudah banyak bertemu generasi milenial yang tidak suka bekerja di satu tempat mapan. Mereka suka bekerja di warung kopi atau kafe. Saya pun belakangan mengalami ritme kerja seperti itu.

BACA: Buku yang Saya Sukai di Tahun 2017

Internet telah mengubah interaksi manusia, kemudian mengubah banyak hal. Jika tak berbenah, maka semua yang mapan akan tergusur. Beberapa teman produser televisi sudah mengeluh mulai kehilangan pasar dan iklan.  Kampus mulai ditinggalkan karena banyak kuliah praktis online. 

Bahkan mal-mal mulai kehilangan calon pembeli karena kian maraknya belanja online. Media mainstream juga mulai banyak yang keteteran mengikuti cepatnya dinamika di media sosial.

Tapi untuk soal buku, saya masih terbilang generasi lama. Saya masih belum siap untuk membaca buku di Ipad atau laptop. Saya masih menikmati saat-saat mendatangi toko buku demi bertemu banyak buku, kemudian jatuh cinta dengan beberapa di antaranya. 

Buku adalah kekasih yang selalu setia. Dia tak pernah menuntut untuk dibaca, namun pada saat kamu menggenggamnya, dia tak segan-segan membuka banyak gerbang untuk kamu jelajahi dan renangi sejauh-jauhnya. Momen perjumpaan dengan buku adalah momen magis. Terasa seperti bertemu sahabat yang akan menemani kita untuk menjelajah ke satu genangan kata-kata.

BACA: Buku yang Saya Sukai di Tahun 2016

Bagi saya yang suka mendatangi toko buku, tahun 2018 adalah tahun yang cukup menyedihkan. Toko buku memang belum punah, tetapi jumlah rak toko buku semakin berkurang. Pihak toko lebih suka memajang stationery hingga alat-alat musik dan olahraga di toko buku. Saya juga merasa kehilangan karena beberapa toko buku besar, di antaranya Toko Gunung Agung, kini punah. 

Bagi penggila buku, ini adalah saat menyedihkan. Di tambah lagi, banyak penerbit yang lebih suka memasarkan buku secara online sebab toko buku terlalu banyak mengambil keuntungan penerbit dan pengarang. Padahal, bagi saya, ada kenikmatan tersendiri ketika datang ke toko buku bersama keluarga, kemudian membuka lembar demi lembar buku yang dipajang. Wanginya khas.

Di tengah suasana sepi itu, saya coba menyusun beberapa buku yang saya sukai di tahun 2018. Buku-buku itu adalah:


21 Lessons for 21st Century (Yuval Noah Harari)



Sejak tahun 2017, saya adalah penggemar berat sejarawan asal Israel Yuval Noah Harari, yang meraih gelar PhD bidang sejarah di Oxford. Saya menyukai semua buku-bukunya, mulai dari Sapiens, Homo Deus, dan kini 21 Lessons. Jika Sapiens membahas sejarah ringkas manusia, Homo Deus membahas sejarah manusia masa depan, maka 21 Lessons membahas dinamika manusia masa kini.

Dia mendiskusikan berbagai topik yang menarik. Mulai dari post-truth (pasca-kebenaran), fenomena big data dan limpahan informasi, hoaks atau penyesatan informasi, hingga bagaimana tatanan dunia yang berkembang sekarang. Saya menikmati uraian Yuval sebagai seorang sejarawan yang spektrum pembahasannya sangat luas.

Benar kata orang, sejarah adalah ibu dari ilmu pengetahuan. Melalui sejarah, kita bisa mendiskusikan semua topik, mulai dari politik hingga kuliner. Bahkan kita bisa membaca masa depan melalui pemahaman yang baik atas masa lalu dan masa kini. Saya setuju dengan Bill Gates, buku 21 Lessons adalah buku terbaik di tahun 2018. (BACA: Dari Big Data Hingga Kediktatoran Digital)


The Great Shifting (Rhenald Kasali)


Judul buku ini berbahasa Inggris, padahal isinya berbahasa Indonesia. Ditulis oleh seorang profesor bidang pemasaran yakni Rhenald Kasali. Saya membaca buku setebal 523 halaman ini tanpa ada jeda. Maksudnya, ketika membacanya, saya tidak berhenti sampai selesai. 

Isinya sangat menarik. Dia membahas fenomena disrupsi yang menyebabkan banyak bisnis ambruk. Namun tidak semuanya menerima takdir ditelan zaman. Banyak yang belajar bertahan serta berselancar di dunia yang serba berubah ini. Rhenald membahas beberapa hal baru, seperti berubahnya platform, sharing economy, teknologi yang mengubah interaksi, hingga esteem economy, yakni ekonomi yang berdasar pada pengakuan.

Dia pun menyediakan peta perubahan untuk bisnis, di antaranya tema-tema seperti insurtech, fintech, online game, hingga belanja online dan factory outlet. Buku ini semacam jendela masa kini dan masa depan. Saya suka kalimat di sampul buku: “Lebih baik pegang kendali daripada dikuasai.” Ini buku bagus bagi semua pihak yang ingin membaca tanda–tanda zaman, tak hanya buat para pebisnis.


The Death of Expertise (Tom Nichols)



Saya membaca buku ini sejak tahun lalu. Tapi ketika edisi bahasa Indonesia, yang berjudul Matinya Kepakaran, muncul di toko buku, saya kembali membacanya. Buku ini ibarat mercon yang meledak di kepala saya sebab mengangkat satu hal yang setiap hari saya saksikan di media sosial.

Kata penulisnya, ini adalah era di mana manusia dikendalikan para produsen informasi, yang tidak semuanya bisa diverifikasi. Di era ini, sekeping informasi di Whatsapp dianggap lebih valid ketimbang riset-riset yang bertebaran. Jangan berharap ada diskusi yang sehat. Jangan berharap ada pencerahan karena berbagai fakta diurai dan didiskusikan. 

Tom Nichols membahas tentang kematian para ahli di era milenial ini. Banyak orang yang lebih suka bertahan dalam ketidaktahuannya, tanpa mau mendengar mereka yang benar-benar ahli dan menghabiskan hidupnya untuk mendalami satu topik. Para ahli ditinggalkan. Suara keilmuan dibuang jauh-jauh, sebab orang-orang terlanjur percaya pada satu kebenaran yakni sesuai dengan apa yang dia yakini. (BACA: Saat membaca The Death of Expertise)


Citizen 4.0 (Hermawan Kertajaya)



Buku ini adalah refleksi perjalanan Hermawan Kertajaya yang menyaksikan fenomena pemasaran dalam tingkah laku orang-orang di sekitarnya. Pada usia 70 tahun, Hermawan telah bertransformasi menjadi seorang filosof ataupun begawan yang kerap melakukan refleksi tentang apa pun di sekitarnya. 

Sebagaimana buku sebelumnya, Hermawan menjelaskan fenomena marketing yang terus bergeser. Dunia semakin horizontal, inklusif, dan sosial. Dunia meninggalkan tatanan hierarki dan top-down menjadi tatanan yang egaliter dan horizontal. 

Komunikasi masyarakat serupa komunikasi di media sosial yang sejajar, tanpa ada posisi yang lebih tinggi. Masyarakat kian bergeser dan tidak lagi mempersoalkan perbedaan suku, agama, dan bangsa. Masyarakat perlahan menjadi “citizen of the world.” (BACA: Citizen 4.0 dan Kearifan Hermawan)


Everybody Lies: Big Data, New Data, and What the Internet Reveals Abour Who We Really Are  (Seth Stephens Davidowitz)



Di Amerika Serikat, buku ini terbit tahun 2017. Tapi di Indonesia, buku ini beredar bulan November 2018.  Penulisnya, sering disapa Seth, bekerja sebagai data scientist di Google. Dia meraih PhD bidang ekonomi di Harvard. Buku ini ditulis dengan renyah sebab penulisnya adalah kolumnis New York Times. 

Buku ini menarik sebab menawarkan cara baru untuk memahami satu persoalan. Selama ini, para ilmuwan hanya terpaku pada riset kuantitatif dan survei untuk memotret gejala atau kenyataan (yang disebut di buku ini sebagai small data). Buku ini menawarkan cara baru yakni mengandalkan big data yakni mesin pencari Google.

Kata penulisnya, orang-orang tampak normal dan baik-baik saja di dunia nyata. Tapi saat dia berhadapan dengan Google, orang-orang akan menjadi dirinya sendiri. Makanya, data yang direkam Google sering mengejutkan.  Ini pula penjelas mengapa mengolah big data yakni data-data yang ada di Google lebih akurat dari survei mana pun. 

Buku ini cukup mengejutkan sebab menyingkap banyak hal tabu, misalnya rasisme, tema-tema seks, hingga berbagai kebohongan lainnya. (BACA: Saat Membaca Everybody Lies)


Labu Wana Labu Rope (Susanto Zuhdi)



Saya terbilang subyektif saat menyebutkan buku yang ditulis Profesor Susanto Zuhdi, guru besar ilmu sejarah Universitas Indonesia (UI) ini. Yang dibahas di sini adalah sejarah Buton, kampung halaman saya. Buku ini diolah dari disertasinya mengenai Kesultanan Buton pada abad ke-16 dan 17. 

Susanto berani mengkaji Buton sebagai pulau kecil yang selama puluhan tahun terabaikan dalam peta sejarah nasional. Dia menunjukkan dinamika sejarah di pulau kecil, serta perlunya untuk memahami Indonesia dari tepian, dari pulau-pulau terabaikan.

Susanto meletakkan Buton dalam posisi yang proporsional. Dia mengolah arsip-arsip pemerintah kolonial, tapi tetap juga memberi ruang pada naskah dan tradisi lokal di Buton. Dia mengawinkan arsip kolonial dengan naskah beberapa kabanti, syair tradisi lisan di Buton, demi mencapai pemahaman mendalam atas peristiwa yang sedang dibahasnya. (BACA: Susanto Zuhdi, Sejarawan Pembawa Intan untuk Orang Buton)


Semesta Manusia (Nirwan Ahmad Arsuka)



Sejak membaca tulisan Nirwan Arsuka di rubrik Bentara, Kompas, saya sudah kepincut dengan gaya menulisnya. Dia menulis dengan gaya essai dan membahas berbagai topik-topik filosofis dan sains dengan gaya yang memikat. Dia mendiskusikan Galileo, Einstein hingga Amartya Sen dengan gaya yang memikat.

Tapi, saya lebih menyukai esainya saat membahas tema-tema budaya, khususnya budaya Bugis Makassar, khususnya saat membahas Karaeng Pattingaloang, seorang intelektual asal Makassar di abad ke-17. Dia menempatkan Pattingalloang pada satu setting sejarah di mana ada banyak peristiwa dan situasi yang sedang melanda Makassar dan dunia pada masa itu. Ketika membacanya, saya serasa terlempar ke satu ruang sejarah di mana satu pemikiran selalu dipengaruhi oleh ruh zaman serta dialog dengan berbagai pemikiran.

Buku Semesta Manusia ini adalah koleksi semua esai Nirwan Arsuka, yang pernah terbit di banyak media. Saya ikut terlibat dalam penyusunan buku ini sebab memiliki koleksi tulisan Nirwan. Anehnya, ketika buku ini terbit, saya jarang melihat orang membahas dan mendiskusikannya di media sosial. Padahal ketika saya mengumumkan punya koleksi tulisan Nirwan dan bersedia mengirimkan file, ratusan orang menghubungi saya untuk meminta file koleksi saya itu.


Mediating Islam: Jurnalisme Kosmopolitan di Negara Muslim Asia Tenggara (Janet Steele)



Buku ini ditulis oleh Janet Steele, seorang profesor bidang jurnalisme di George Washington University. Di Indonesia, Janet Steele cukup kondang sebab pernah menulis disertasi yang berjudul Wars Within, yang isinya membahas dinamika Majalah Tempo saat dibredel pemerintah.

Buku ini diolah dari riset yang dilakukannya selama 20 tahun terakhir mengenai praktik reportase para jurnalis Muslim di lima media terkemuka di Indonesia dan Malaysia. Media itu adalah: (1) Sabili, yang disebutnya mewakili Islam skripturalis, (2) Republika yang menjadi representasi dari pandangan atas Islam sebagai pasar, (3) Harakah, media Malaysia yang melihat Islam sebagai politik, (4) Malaysiakini yang melihat Islam secara sekuler, (5) Tempo, yang dianggapnya sebagai representasi Islam kosmopolitan.

Saya menyukai topik mengenai Republika yang kini dimiliki oleh Eric Thohir. Pertanyaan riset Janet Steele sesuai dengan apa yang juga saya pikirkan. Dia menelusuri pertanyaan mengapa Republika memilih haluan kelompok radikal, yang juga pendukung Prabowo Subianto di pilpres lalu? Argumentasinya menarik. (BACA: Erick Thohir di Mata Profesor Amerika)


Political Personal Branding: Strategi Jitu Menang Kampanye di Era Digital (Silih Agung Wasesa) 



Buku ini datang pada momen yang sangat tepat yakni jelang pemilihan umum. Ada semacam kebutuhan di kalangan para calon anggota legislatif (caleg) untuk memahami bagaimana kiat melakukan kampanye di dunia digital. Buku ini menyediakan peta jala, apa yang harus dilakukan untuk berkampanye di dunia maya.

Pemilu lalu menjadi pelajaran berharga bagi semua politisi. Bahwa kampanye tidak lagi dilakukan hanya melalui baliho dan poster yang dipaku di pohon-pohon. Bukan pula dengan pengerahan massa melalui konvoi. Kampanye bisa dilakukan melalui cara-cara cerdas yang berbiaya murah, yakni memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan pesan.

Bab favorit saya adalah bab paling akhir, yang membahas mengenai storytelling. Di sini diuraikan sembilan bumbu dasar untuk membuat postingan yang disukai semua netizen. Saya jadi paham mengapa tidak semua caleg sukses berkampanye di media sosial. Selain karena mereka ingin hasil cepat dalam waktu singkat, mereka juga tidak memahami bahwa ada jurus untuk membuat netizen terpikat dan secara sukarela membagikan semua postingan.


Tatang Teh Tong Dji (Triyanto Triwikromo)


Buku ini membahas Tatang, seorang warga keturunan Tionghoa yang memiliki bisnis teh Tong Tji. Gaya penulisannya sangat memikat sebab mengombinasikan antara perjalanan hidup seseorang dengan berbagai bacaan sastra dan novel menarik. Hasilnya, sebuah biografi yang penuh warna-warni.

Pada satu kesempatan, Tatang digambarkan seperti Mushashi. Pada bagian lain, dia seperti David dan Goliat. Saya suka semua ilustrasi di dalam buku sehingga lebih menarik. Saya tak terkejut jika narasinya sedemikian mengalir. Sebab penulisnya dikenal produktif melahirkan banyak cerpen bermutu yang sering masuk dalam kumpulan cerpen terbaik Kompas.

***

Saya hanya mencatat 10 buku. Tapi kalau saya perhatikan lagi semua buku, ada beberapa buku yang juga saya sukai, tapi tidak sempat dibahas dalam list. Di antaranya adalah Kuasa Media di Indonesia (yang ditulis Ross Tapsell), (2) Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat (ditulis Mark Manson), (3) Membaca Indonesia (ditulis tim Kompas), dan (4) Menyibak Tabir Orde Baru (Jusuf Wanandi). 

Saya belum hendak membahasnya karena belum membaca tuntas semua buku ini. Saya hanya senang membuka plastiknya, kemudian mengintip apa saja yang dibahas di dalamnya. 

Selalu ada kenikmatan saat membuka plastik pembungkus buku, kemudian membaui aromanya, setelah itu mulai membuka-buka sampai lembar terakhir. Untuk soal ini, saya bisa berjam-jam melakukannya.

Semoga tahun 2019 nanti, jauh lebih banyak buku bagus.




1 komentar:

Alfiandri Andri mengatakan...

Orang-orang Sulawesi memang banyak mengantarkan perubahan dalam peradaban, sebagai bukti, Raja Ali Haji yang merupakan bangsawan dan cendikiawan negeri serantau Melayu yang lahir di Pulau PenyengatPenyengat-Kepulauan Riau, adalah sosok dari generasi keturunan asli orang Bugis, bahkan Rusdiyah Club adalah perkumpulan orang-orang cerdas yang melahirkan tulisan-tulisan bernas bagi kemanfaatan peradaban jazirah nusantara, dan mereka para aktor Rusdiyah Club adalah asli keturunan orang-orang Bugis yang luar biasa, saya yakin Bang Yusran Darmawan pasti rindu ingin kembali berziarah ke pulau Penyengat Indra Sakti sebagai pulau yang dijadikan emas kawin oleh Sultan Riau-Lingga melamar Engku Hamidah yang nota bene masih keturunan orang Bugis dari keturunan Raja Haji Fisabilillah (Marhum Teluk Ketapang) pahlawan nusantara yang gugur ketika melawan penjajah Portugis di Selat Malaka. "Orang Bugis" dan "Orang-orang Sulawesi dalam pengaruh peradaban Dunia". Bang Yusran Darmawan juga orang Sulawesi yang luar biasa.

Posting Komentar