Kisah RAJA yang Merawat DESA
![]() |
foto Raja Bhumibol di pintu masuk satu supermarket |
ABAD 21 adalah abad berakhirnya monarki dan
kerajaan-kerajaan besar. Kerajaan dengan putri-putri ala Cinderella bertumbangan
di mana-mana. Banyak yang hanya menjadi simbol, sekadar penanda bahwa dulu pernah
ada sistem tradisional yang memayungi negeri itu selama ribuan tahun.
Nun di negeri gajah putih, seorang raja masih
menempati posisi penting dalam segala hal. Saat raja itu mangkat, terasa ada
yang hilang. Semua orang berdukacita. Semua orang membicarakan masa depan negeri
itu, apakah akan tetap berjalan di koridor cita-cita bangsa, ataukah akan jauh
melenceng.
Tapi, selalu ada penjelasan rasional mengapa
seorang raja amat dicintai. Saat suatu hari berkunjung ke negeri gajah putih
itu, negeri yang tersohor dengan pariwisata budaya dan pantai-pantai cantik, saya
menemukan banyak kisah mengapa seorang raja demikian dicintai setinggi langit.
***
TAK jauh dari Pantai Pathong, Phuket, Thailand,
saya berbincang dengan lelaki plontos berkain oranye itu. Dia seorang biksu
yang berjalan tanpa alas kaki. Dia berkeliling toko-toko dan kedai yang
dipenuhi para turis. Dia meminta sumbangan ala kadarnya demi melanjutkan
perjalanan. Di negeri itu, para biksu hidup dari sumbangan warga.
Lelaki itu menunjukkan tempat wisata yang bisa
saya kunjungi. Dia bercerita mengenai patung Big Budha di kawasan Chalong. Sayangnya,
saya datang bersama rombongan. Saya tak bisa mengatur jadwal sendiri. Patung
itu tidak masuk dalam list lokasi yang akan didatangi.
![]() |
seorang biksu yang berjalan di depan pertokoan |
![]() |
ucapan selamat ulang tahun kepada raja |
Kami tak lama berbincang. Sebelum beranjak, ia
menunjukkan selembar foto yang selalu dibawanya. Foto itu adalah foto Raja
Bhumibol Adulyadej, penguasa tertinggi monarki Thailand. Dia menyebut raja
adalah spirit yang memberinya kekuatan untuk berkelana di banyak toko demi
menyebar ajaran Budha. Dia mencintai rajanya, sebaaimana mencintai dirinya
sendiri. Saya teringat pada petinju Khaosai Galaxy, yang saya saksikan di TVRI saat masih belia. Saat hendak menghadapi petinju kebangaan Indonesia, Ellyas
Pical, Galaxy naik ke ring tinju sambil membawa-bawa foto Raja Bhumibol.
Sejak pertama menginjakkan kaki di wilayah
Thailand, saya menyaksikan demikian banyak gambar, foto, serta lukisan Raja
Bhumibol. Saya melihatnya di semua rumah, hotel, restoran, hingga di berbagai
baliho. Ketika berkunjung ke satu perbelanjaan yang menjajakan cendera mata,
saya diminta mengisi buku tamu yang berisi ucapan selamat ulang tahun kepada
raja, disertai harapan agar raja segera sembuh. Di mana-mana saya melihat
gambar raja.
Saya teringat sahabat saya Sawitree Chevasart.
Dia adalah mahasiswa program doktor bidang komunikasi di salah satu universitas
besar di Thailand. Saya bertemu dan mengenalnya saat sama-sama ikut konferensi internasional. Perempuan yang dipanggil Papi ini pernah memosting foto di
media sosial saat mengunjungi satu rumah sakit di Boston. Ia sangat bahagia mendatangi
rumah sakit yang menjadi saksi sejarah kelahiran Raja Bhumibol.
Dalam banyak hal, Thailand serupa Indonesia.
Negeri itu memang tak pernah dijajah. Tapi, negeri itu punya catatan 17
percobaan kudeta di kalangan pemerintahan dan militer. Sudah ada lebih dari 21
perdana menteri dan tidak pernah ada yang menjabat lebih dari empat tahun.
Indonesia bahkan lebih baik, baru memiliki lima orang presiden sejak 1945 dan
dua orang presiden menjabat lebih dari 25 tahun, yakni Soekarno dan Soeharto.
Soal potensi ancaman sosial, Thailand juga
berpotensi untuk tercabik-cabik dari segi etnis, agama, ras, dan golongan.
Misalnya, pernah ada ancaman dari ajaran komunis di timur laut, potensi
perpecahan etnis di selatan, di mana suku Melayu merasa ditaklukkan. Di utara
(dekat Segi Tiga Emas/Golden Triangle), ada rakyat Thailand yang hidup di
pegunungan dan menanam ganja untuk kebutuhan hidup.
Bedanya, monarki masih eksis di negeri itu. Kesan
saya, orang-orang Thailand begitu mencintai rajanya. Tak hanya di luar negeri,
di dalam negerinya, saya menyaksikan kecintaan yang demikian besar. Kenyataan
ini sungguh beda dengan kenyataan di Inggris, saat banyak orang tak pernah
membicarakan Ratu Inggris. Orang Inggris tak memajang foto ratu, tidak pernah menyatakan
kebanggan secara terbuka atas keberadaan ratu, juga tak pernah membawa gambar
ratu ke manapun. Yang tersisa dari jejak ratu hanyalah lagu kebangsaan negeri
itu God Save the Queen.
Pertanyaan yang muncul di benak saya, apa
gerangan yang dimiliki seorang raja di Thailand sehingga dirinya begitu kharismatis, disukai,
dan dicintai sepenuh hati oleh segenap warganya?
***
DALAM kunjungan itu, saya singgah ke satu pasar
buah. Saya mencicipi kelapa muda yang rasanya lebih enak dibandingkan buah
serupa di Indonesia. Saya juga membeli durian, jambu, dan manggis. Di pasar
ini, saya memilih berbincang dengan bapak penjual buah. Dia membanggakan
buah-buah yang djualnya. Saat saya tanya apa rahasianya, dengan bahasa Inggris
patah-patah, ia menjawab, “Rahasianya ada pada raja.”
Bapak itu membuka lapis-lapis misteri di benak
saya tentang Raja Thailand. "Jika Anda berpikir dia bertakhta untuk
kekuasaan, Anda salah," katanya. Pantas saja, di setiap tanggal 5 Desember
(tanggal kelahiran Raja), rakyat Thailand melakukan perayaan yang tulus.
Selama masa kerajaannya, Thailand juga
menghadapi badai politik. Tanpa berpikir panjang soal keamanan pribadi, Raja
mengunjungi semua kawasan yang memiliki potensi konflik, seperti yang
disinggung di atas. Ia bertemu banyak kalangan, belajar langsung kondisi lapangan terkait persoalan rakyat lalu mengambil tindakan untuk membantu orang miskin.
Kerap terlihat, Raja Bumibol duduk langsung di tanah dengan
lututnya, dengan pensil di tangan. Dia ingin mencari tahu langsung bagaimana
sebuah waduk dibangun, atau bagaimana teknik pertanaman diperbaiki.
Sebagai hasil kunjungan, ribuan proyek kerajaan
dimulai di seluruh wilayah Thailand. Proyek itu semuanya berkaitan dengan kebutuhan rakyat. Mulai dari pembangunan irigasi dan berbagai infrastruktur, hingga penguatan kapasitas rakyat, yakni belajar teknik
pemasaran, konservasi hutan, pengelolaan pertanian, pemberdayaan desa, hingga pengembangan komunitas. "Itulah
sebabnya kami mencintai dia. Raja berbuat demi kami semua," katanya.
![]() |
mangga besar |
![]() |
kepala muda |
![]() |
asam yang sudah diberi kemasan |
![]() |
durian |
Saya terdiam. Saya sedang mendengarkan kisah
bagaimana soerang raja membangun rumah di hati warganya. Ada banyak pemimpin di
berbagai tempat. Tapi tak banyak yang punya capaian sehebat raja ini.
Strateginya adalah kenali wilayah, kenali penduduk, lalu buatlah rencana
pembangunan berdasarkan pengenalan atas demografi dan latar geografi tadi.
Dalam buku Illustrated
Handbook of Project Undertaken Through Royal Initiatives, terdapat cerita bertarikh tahun 1962, saat Raja meluncurkan proyek untuk membantu rakyat di
pegunungan di utara Thailand. Di sana rakyat terbiasa membersihkan lahan dengan
membakar rerumputan dan menanam ganja. Di sana Raja menawarkan jenis tanaman
yang juga bisa menghasilkan uang, menawarkan konsep teknologi pertanian untuk
meningkatkan sumber pendapatan. Raja menawarkan masa depan.
Proyek pergantian tanaman itu memberikan solusi
untuk jangka panjang yang meraih sukses besar. Salah satu kalimat yang diucapkan raja dan terus diingat adalah: "Bantulah masyarakat pegunungan! Bantulah rakyat kita!" Masyarakat
pegunungan mendapatkan pekerjaan dan tidak lagi bercocok tanam secara
nomaden. Mereka tidak lagi merusak sistem pengairan dengan membabat hutan dan
itu sangat membantu negara. Mereka juga tidak lagi menanam ganja. Masyarakat
menjadi lebih berdaya.
Kekuatannya terletak pada keberadaan lembaga riset pertanian dan pedesaan yang didukung luas. Dana kerajaan disiapkan untuk memperkuat lembaga riset sehingga melahirkan banyak komoditas pertanian dan hortikultura unggul. Raja mendapatkan masukan berharga tentang komoditas, tanah, iklim, serta karakter masyarakat. Program-program pembangunan lalu disusun berdasarkan karakter masyarakat. Makanya, kita sering menemui istilah, misalnya ayam Bangkok, mentimun bangkok, yang kesemuanya merupakan hasil riset dari lembaga yang sepenuhnya didanai kerajaan.
Salah satu foto yang sering saya saksikan di
Thailand adalah pose raja di usia muda yang membawa kamera serta peta.
Ternyata, gambar itu mengisahkan perjalanan raja mengunjungi daerah-daerah,
membaca peta, merekam gambar, lalu mulai menggambar-gambar apa yang bisa
dilakukan di situ. Sejak berkuasa, sudah ada sekitar 4.000 proyek yang
dilakukan berdasarkan inisiatif Raja. Proyek itu pada umumnya bertujuan
menolong rakyat yang saat itu hidup miskin. Proyek itu berkutat pada masalah
pertanian, irigasi, kehutanan, dan perlindungan lingkungan hidup. Tujuan dasar
proyek itu adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat Thailand.
Tak hanya berkiprah di sektor pertanian. Raja
dan keluarganya punya proyek pendukung (support project). Kerajaan melatih
keluarga petani soal kerajinan tangan sehingga mereka menggunakan waktu untuk
menghasilkan barang untuk dijual. Dengan menggeluti kerajinan tangan, keluarga
petani dicegah untuk bermain atau berjudi. Hasilnya, keluarga mendapatkan
pendapatan tambahan dan ketahanan keluarga semakin kuat. Untungnya lagi, proyek
pendukung itu telah menjadi proyek sukses karena tidak saja laku di dalam
negeri, tetapi merupakan komoditas ekspor.
![]() |
foto raja di depan satu rumah |
Untuk mendukung proyek kerajaan, jalan-jalan
juga dibangun di berbagai wilayah. Tujuannya agar rakyat mudah mengangkut hasil-hasil
tanaman. Sektor pertanian didorong di berbagai desa di Provinsi Chiang Mai,
seperti di Desa Phui, Distrik Mae Chaem, Desa Khum, Distrik Fang, Desa Khun
Wang, Desa Sam Mun, Mae Tho. Pada tahun 1952, Raja juga memperkenalkan
budidaya tanam ikan. Dia memerintahkan Departemen Perikanan dari Kementerian
Pertanian untuk memelihara jenis ikan bernama pla mo tet di lahan yang ada di
Kompleks Istana Dusit, Desa Chitralada.
Kerajaan juga berperan meningkatkan kualitas
tanaman padi. Untuk mendukung tanaman padi, kerajaan juga melakukan proyek
irigasi. Di luar itu, kerajaan juga memperkenalkan proyek budidaya peternakan
dan sadar akan pentingnya arti pendidikan. Untuk itu, pada tahun-tahun awal
menjadi raja, tahun 1946, dibentuk sebuah yayasan bernama The Ananda Mahidol
Foundation. Yayasan tersebut bertujuan memberikan beasiswa bagi pelajar untuk
belajar di luar negeri. Kerajaan tidak menerapkan ikatan dinas atas bantuan
pendidikan.
***
DI Thailand, saya mencatat banyak hal baik.
Seorang pemimpin akan dikenang ketika melakukan sesuatu bagi rakyat yang
dipimpinnya. Namanya akan abadi ketika memiliki kerja-kerja jangka pendek dan
jangka panjang yang dirasakan bermanfaat oleh rakyatnya. Dalam konteks
Thailand, kontribusi kerajaan itu terlihat pada banyaknya proyek yang memihak
pada kepentingan rakyat, serta kontribusi pada sektor pertanian dan pedesaan dengan
cara menyejahterakan rakyat, dengan cara mendidik dan mengorganisir mereka.
Saya teringat pada rencana kerja banyak
kementerian di Indonesia. Hampir semuanya menitikberatkan pada pemenuhan
kebutuhan rakyat banyak. Tapi saat program-program itu dibedah, kita tak
menemukan banyak contoh bagaimana visi itu dibumikan dalam kerja-kerja ril.
Betapa anehnya ketika negeri agraris yang punya banyak petani ini justru mengimpor
banyak hasil pangan.
![]() |
bersama mahasiswi Thailand yang akan ikut karnaval |
Problemnya adalah kita selalu ingin sesuatu
yang instan. Kita ingin mengatasi kebutuhan pangan, tanpa membangun fundasi
yang kuat di masyarakat kita. Solusi jangka pendek memang penting, tapi jauh
lebih penting lagi membangun satu fundasi yang kuat untuk menguatkan
masyarakat, sehingga di masa depan, negeri ini bisa berpijak di atas kakinya
sendiri dalam memenuhi segala kebutuhannya. Menggapai masa depan bisa dilakukan
dengan cara menguatkan masyarakat dengan cara memberikan edukasi dan jalan
keluar pada mereka agar bisa lebih sejahtera.
Problem lain adalah kita selalu mempersoalan identitas, tanpa masuk ke substansi. Kita selalu menyoal pilihan ideologi, agama seorang pemimpin, berapa kali orang lain beribadah, tanpa membahas sejauh mana kapasitas, serta kemampuan seseorang. Kita lebih sibuk membuktikan orang lain adalah kafir dan akan masuk neraka, tanpa menjadikan diri kita sebagai berkah bagi sekeliling. Kita tak juga membahas bagaimana langkah-langkah kecil untuk menggapai mimpi bangsa, yakni "untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, material dan spiritual." Di saat kita masih sibuk berdebat tentang seperti apa ideologi, bangsa-bangsa lain telah lama melesat ke depan. Jangan salah, Indonesia memang luas, tapi dalam beberapa hal, Thailand lebih baik, lebih aman, lebih melindungi rakyatnya.
Pada titik ini, saya bisa memahami mengapa seorang raja sangat dicintai di Thailand. Seorang raja adalah personifikasi pemimpin yang berbuat banyak untuk rakyat biasa. Visinya yang kuat menjadi mercusuar yang menyelamatkan bangsa itu dari berbagai bencana sosial dan ekonomi, lalu membawa rakyatnya untuk lebih maju.
Pada titik ini, saya bisa memahami mengapa seorang raja sangat dicintai di Thailand. Seorang raja adalah personifikasi pemimpin yang berbuat banyak untuk rakyat biasa. Visinya yang kuat menjadi mercusuar yang menyelamatkan bangsa itu dari berbagai bencana sosial dan ekonomi, lalu membawa rakyatnya untuk lebih maju.
Menggapai visi memang membutuhkan waktu.
Makanya, membangun fundasi kuat sangat penting sebagai batu loncatan ke arah
apa yang diharapkan. Yang hilang dari bangsa kita adalah kesabaran untuk
membangun fundasi kuat. Kita ingin hasil yang cepat. Kita ingin segera panen,
tanpa bekerja. Kita ingin terlihat hebat. Kita ingin segera memetik hasil.
Namun, kita melupakan hal penting. Bagaimana
bekerja keras meletakkan fundasi bangsa, bagaimana menyusun perencanaan yang
rapi untuk masa depan, bagaimana menyiapkan hari ini untuk menjemput masa depan
yang gemilang.
Kerajaan Thailand membangun fundasi itu.
Bagaimanakah halnya dengan “Kerajaan” Indonesia? Nampaknya kita mesti segara
bercermin dan melihat ulang apa saja yang sudah dan belum dicapai.
Bogor, 15 Oktober 2016
BACA JUGA: