Misteri Kekalahan Wisata Kita (Ekspedisi Phuket 2)


snorkeling di Maya Beach, Phuket, Thailand

DUA hari lalu, di depan James Bond Island, Mr Ming, pemandu wisata yang menemani perjalanan saya di Phuket, Thailand, langsung berkata, “Pulau ini didatangi jutaan orang setiap tahun, khususnya saat peak season. Indah khan?” Saya mengangguk di hadapannya. Namun di hati kecil, saya tak menemukan keindahannya. Padahal, di kiri kanan saya, ada ratusan turis asing yang silih berganti berdatangan, lalu memotret pulau kecil itu, kemudian bermain di pasir putih. Semua turis berdecak kagum.

Dahulu, pulau kecil ini menjadi tempat syuting salah satu film James Bond yang berjudul The Man with the Golden Gun. Tempat ini terletak di Phang Nga, sebuah taman nasional dengan pulau-pulau yang menyembul di Laut Andaman. Kalau tak salah, bintang James Bond saat itu adalah Sean Connery. Melihat pulau itu, saya membayangkan adegan ketika Sean Connery menaiki speed boat sambil membawa senjata. Pasti sangat seru.

Dan puluhan tahun sesudahnya, pulau ini dikemas menjadi paket wisata hingga terus didatangi banyak orang, menyerap banyak devisa dari warga internasional, memberikan pendapatan bagi warga lokal. Orang-orang membayar mahal untuk tiba di tempat itu. Sementara saya datang ke situ dengan gratis. Saya tak perlu membayar sepeserpun.

Keesokan harinya, saya diajak mengunjungi Maya Beach, yang menjadi lokasi pembuatan film The Beach yang dibintangi Leonardo Di Caprio. Penumpang kapal wisata yang saya tumpangi lalu memakai pelampung kemudian menceburkan diri di air hijau. Mereka melakukan aktivitas snorkeling. Saya tak ikut turun ke laut. Saya hanya menyaksikan saja. Sebagaimana di James Bond Island, kembali saya tak menemukan letak keindahannya.

Usai snorkeling, kapal wisata lalu singgah ke Phi Phi Island, sebuah pulau indah berpasir putih dan dahulu sempat remuk karena dihantam tsunami. Di situ, saya menyaksikan rerimbunan hotel yang memenuhi kawasan pantai berpasir putih yang indah. Di pulau ini, turis asing bergerombol bak semut mendatangi sarang. Mereka memenuhi pantai, berjemur diri, lalu sesekali berenang di lautan biru. Seorang turis berkebangsaan Rusia bercerita bahwa sejak dahulu, ia membayangan surga berbentuk pulau tropis dngan pasir putih serta nyiur melambai. Ketika tiba di Phi Phi Island, ia merasa telah menemukan surga. Ia menemukan bahagianya.


para turis tengah bersantai di Maya Beach
pemandangan di Phi Phi Island

Di beberapa tempat wisata bertaraf internasional itu, saya justru tidak menemukan letak keindahannya. Sebagai orang yang lahir dan besar di pulau kecil di sebelah tenggara Sulawesi, hampir tiap hari saya menyaksikan laut biru, karang-karang, serta nyiur melambai sebagai tempat bermain sejak masa kecil. Bahkan hingga kini, rumah saya di Pulau Buton hanya berjarak sepuluh menit dari pantai berpasir putih. Makanya, ketika menyaksikan pasir putih itu, saya justru membandingkannya dengan alam perkampungan saya yang juga indah, dan belum banyak diketahui warga dunia.

Di sepanjang pesisir Pulau Buton, hingga pesisir pulau-pulau kecil di kawasan Wakatobi, jejeran pulau-pulau tropis berjajar indah dan tak banyak diketahui warga asing. Di pulau-pulau kecil itu, saya kerap bermain sambil mandi. Di pulau-pulau itu, para nelayan kerap datang dan melempar jaring. Mereka membawa banyak ikan yang kemudian dikonsumsi warga pulau. Lautan ibarat kanvas bagi seorang pelukis yang menjadi tempat bermain dan menjalani hari-hari, serta belajar banyak hal.

Sungguh ironis saat mengetahui bahwa pulau-pulau di tanah air justru tak banyak diketahui. Belakangan ini, pemerintah Indonesia memaksimalkan promosi paket wisata di pulau-pulau demi memaksimalkan devisa negara. Kawasan pulau-pulau seperti Wakatobi mulai diperkenalkan ke mata dunia.

Keindahan pulau-pulau di tanah air Indonesia jelas berpuluh kali lipat dibandingkan Phuket, Thailand. Akan tetapi, jangankan warga asing, warga lokal sekalipun tidak banyak tahu bahwa ada banyak tempat wisata hebat di tanah air. Banyak di antara kita yang belum pernah sedikitpun menginjakkan kaki di jajaran pulau-pulau yang keindahannya sedemikian memesona di negeri sendiri. Saya berani bertaruh bahwa ada ribuan pulau-pulau di tanah air yang jauh lebih memukau dari pulau-pulau di Phuket.

Lebih ironis lagi saat mengetahui bahwa wisatawan Indonesia justru banyak membanjiri Phuket, Bangkok, ataupun Pattaya. Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang dikuasai para pemandu wisata di Thailand. Banyak tempat belanja yang pemiliknya fasih berbahasa Indonesia dan cakap menggunakannya. Ketika saya menanyakan itu ke seorang pemandu wisata, jawabannya simpel. Sebab di kawasan Asia Tenggara, Indonesia mengirimkan wisatawan terbanyak untuk berkunjung ke Thailand.

Sejak rute Jakarta – Phuket dibuka, rute ini selalu dipenuhi orang-orang yang datang untuk berwisata. Saya seringkali terheran-heran, mengapa warga kita sedemikian jauh mencari keindahan wisata pantai, sementara di dalam negeri justru ada banyak tempat menakjubkan dan eksotis untuk dijelajahi. Mengapa Phuket harus sedemikian populer dan didatangi warga dunia?

Nampaknya, kita tak perlu malu untuk belajar pada Thailand. Negeri gajah putih itu sanggup mengemas sesuatu yang sederhana di mata kita menjadi sesuatu yang bernilai di mata masyarakat awam. Mereka bisa menampilkan keunikan, lalu menjualnya sebagai tontonan wisata yang menarik. Di negeri itu, atraksi manusia memanjat kelapa pun bisa dikemas menjadi satu tontonan menarik. Sementara di tanah air, atraksi unik seperti monyet memanjat kelapa tak bisa dikemas menjadi paket wisata.

berpose di depan satu kuil di Phuket

Pantas saja jika negeri itu bisa memanen begitu banyak pendapatan dari sektor pariwisata. Tentu saja, ada dampak sosial yang kemudian muncul dari pariwisata. Namun jika dikelola dengan positif serta langkah-langkah yang benar, maka pariwisata bisa menjadi arena untuk melestarikan budaya, memperkuat kebudayaan, serta mendapatkan pemasukan bagi negara.

Negeri kita memiliki potensi wisata yang jauh lebih dahsyat dari negara manapun. Banyaknya suku, keanekaragaman budaya, serta banyaknya pulau-pulau mesinya bisa dikelola dengan baik dan memberikan kontribusi ada penguatan pariwisata. Data menunjukkan bahwa Thailand mampu menjaring kunjungan 22,3 juta orang wisatawan dan Malaysia menjaring 18 juta orang per tahun. Sementara Indonesa hanya didatangi delapan juta orang per tahun. Bukankah ini fakta yang mengejutkan mengingat luas wilayah serta banyaknya tempat wisata di tanah air?

Pengalaman saya di Phuket mengajarkan bahwa rahasia utama dalam pariwisata. Rahasia itu adalah (1) kemasan yang unik, khas, serta mengakomodasi tradisi dan budaya lokal. Thailand sukses mengemas keindahan alamnya menjadi satu atraksi wisata yang memesona warga dunia. Mereka menunjukkan bahwa dengan cara-cara sederhana, pariwisata bisa dikelola dengan baik sehingga memberikan begitu banyak pemasukan bagi warga lokal. (2) Pentingnya promosi. Tanpa promosi, keindahan alam kita hanya menjadi misteri yang hanya diketahui segelintir orang. Betapa banyaknya modal kita yang diserap bangsa lain, dan betapa ruginya kita karena gagal mempromosikan kawasan wisata terbaik yang kita miliki.

Di dekat pasir putih di Phi Phi Island, saya merenung tentang tanah air Indonesia. Saya tiba-tiba saja bertanya pada diri saya, mengapa harus datang ke luar negeri demi mendapatkan pemandangan pasir putih? Saya sadar bahwa ada banyak kerja keras yang bisa dilakukan di tanah air. Salah satu kerja keras itu adalah bagaimana menjadikan segala potensi di ganah air sebagai tuan di negeri ini, yang kemudian memancarkan cahaya, menjadi mercusuar bagi masyarakat dunia.(*)

BACA JUGA:


NANTIKAN:

Rasa Indonesia di Negeri Gajah Putih


3 komentar:

Liza mengatakan...

Phuket, salah satu destinasi wisata yang menjadi wishlist saya di tahun 2014 nanti, semoga bisa tercapai. beda sekali memang Phuket dengan tempat wisata yang ada di Indonesia.

Unknown mengatakan...

Biarlah wisata diindonesia tetap tidak diketahui oleh dunia biar mnutup celah para tngan2 kotor untuk mnjualnya pada org asing.. Dan biArlah potongan surga(indonesia) tdak dikunjungi oleh wisatawan asing agar nilai dan budaya tetap trjaga, dan biarlah "siri' na pacce" masih tertanam pada jiwa indonesia agar tidak melacur pada org asing hnya demi uang dan mengorbankan alam ciptaan tuhan

Unknown mengatakan...

Entah kenapa tiket pesawat di dlm negri jauh lebih mahal dibanding ke phuket dan krabi...sy jg ingin menjelajah indonesia...tp ga sampai krn ongkosnya jauh lbh mahal...

Posting Komentar