DI Bandara Phuket International Airport,
gadis itu datang dan mengalungkan kerang-kerang yang dirangkai. Ia memberikan
senyum manis lalu berkata “Sawadeeka,” selamat datang. Saya bahagia karena
akhirnya bisa menginjakkan kaki di negeri Thailand. Dahulu, saya hanya bisa
membayangkan tanah ini. Hingga akhirnya, saya diajak oleh Kompasiana dan HIS
Travel untuk berkunjung ke Phuket. Impian saya sejak dahulu akhirnya terwujud. Bukankah
ini sebuah keajaiban?
Sebelum tiba di Phuket, saya mengumpulkan
banyak ingatan tentang tanah ini. Kata seorang kawan, ingatan seseorang tak
pernah benar-benar lenyap. Ingatan-ingatan kita tersimpan pada sebuah palung
kesadaran yang sewaktu-waktu bisa dipanggil ulang demi sebuah nostalgia maupun
untuk diambil hikmahnya. Dahulu, ketika mendengar kata Thailand, kata pertama
yang meluncur di benak saya adalah Khaosai Galaxy, seorang petinju Thailand
yang pernah mengalahkan petinju kebanggaan tanah air Ellyas Pical pada tahun
1980-an. Saat itu saya masih kecil, akan tetapi saya sudah mengenal rasa sakit
hati ketika petinju kebanggaan kandas di tangan Khaosai Galaxy.
Nama selanjutnya yang muncul adalah
Kiatisuk Senamuang. Ia adalah pesepakbola handal yang beberapa kali
mengandaskan mimpi Indonesia di ranah sepakbola. Seminggu silam, Kiatisuk
sukses menjai pelatih Thailand yang mempersembahkan medali emas. Padahal,
ketika menjadi pemain, ia tiga kali mempersembahkan medali emas di Sea Games.
Setahun silam, saya lalu bersahabat dengan
beberapa mahasiswa Thailand di Amerika. Tak semua mengenal Khaosai Galaxy.
Namun lewat mereka, saya banyak belajar tentang tradisi Thailand yang unik dan
kaya. Mereka menjadi jendela bagi saya untuk sekadar memahami bagaimana
Thailand bersalinrupa menjadi bangsa modern, tanpa harus meninggalkan
nilai-nilai tradisionalnya.
Kini, saya telah berada di Phuket. Entah,
apakah warga di sini mengenali Khaosai Galaxy ataukah tidak. Demikian pula
Kiatisuk Senamuang. Saya hendak menanyakannya pada beberapa warga. Akan tetapi,
saya langsung terpesona pada suasana yang ramai, serasa berada di sebuah tempat
wosata di Eropa. Dari bandara menuju hotel, saya menyaksikan begitu banyak
turis asing yang berseliweran di jalan-jalan utama. Di jalan-jalan dekat Patong
Beach dan Bangla Road, yang dikenal sebagai pusat hiburan malam, banyak turis
asing yang berlalu lalang.
Warga lokal membuka beragam usaha yang
berfungsi sebagai wadah untuk menampung limpahan deras uang dari para turis
yang datang. Saya menyaksikan usaha-usaha seperti restoran yang menjajakan sea
food, hotel, hingga usaha pijat ala Thailand, serta kedai minuman keras. Di
banyak kedai, saya melihat banyak orang berkumpul sembari meminum alkohol.
gerbang Patong Beach |
Melalui beberapa ruas jalan, saya
terkesiap kala melihat kehidupan malam. Di depan beberapa bar, saya menyaksikan
beberapa gadis muda yang berdiri di atas meja, lalu beratraksi di dekat sebuah
tiang. Gadis-gadis muda itu meliuk-liuk dalam balutan busana yang seksi.
Sementara para lelaki sesekali tertawa-tawa sambil menyelipkan uang baht di
celana dalam atau penutup dada perempuan itu.
Phuket memang sebuah destinasi wisata
internasional. Kota kecil yang berhadapan Laut Andaman ini memang didesain
sebagai kota wisata yang dipenuhi warga dunia. Dahulu, kota ini bernama
Thalang, akan tetapi dalam catatan para penjelajah dunia, kta ini sering
disebut Jung-Ceylon, atau dalam sapaan orang Melayu disebut Tanjung Salang.
Kini, Phuket adalah bagian dari provinsi di selatan Thailand, yang berbatasan
dengan Phang Nga dan Krabi. Kata Phuket sendiri bermakna bukit. Seorang pemandu
wisata bercerita bahwa Phuket berasal dari dua kata yakni Phu (gunung), dan ket
(perhiasan). Entah, mana yang benar.
Dulu pulau ini amat kaya berkat
perdagangan karet. Sejarah mencatat Phuket sebagai bagian dari rute utama
antara India dan Cina. Ia sering sekali disebut dalam catatan pedagang Portugis
maupun Spanyol. Kini, Phuket tak lagi menghasilkan baht dari perdagangan karet.
Pulau ini meraup banyak untung dari pariwisata internasional.
Magnet kota ini terletak pada wisata
pantai yang snagat luas dan berpasir putih, gugusan pulau-pulau karang yang
menawan dipandang mata, serta hiburan malam di bar-bar serta diskotik. Hiburan
malam itu disebut banyak kalangan sebagai nadi utama dunia pariwisata di kota
Phuket.
Di malam pertama ketika tiba di Phuket,
saya menelusuri denyut nadi kota di Bangla Road. Suasananya seramai pasar
malam. Bar-bar menyajikan tarian perempuan yang meliuk-liuk di atas tiang pada
banyak meja dengan dandanan serba seksi. Sepanjang jalan, banyak gadis-gadis
yang membawa kertas bertuliskan pertunjukan seks yang bisa ditonton dengan
membeli bir seharga 80 baht.
Setiap jengkal di Bangla Road adalah
dengus napas dunia hiburan. Thailand memang memosisikan dirinya sebagai pusat
hiburan malam yang kondang di seantero jagad. Tak hanya orang Asia seperti
Jepang, Korea, atau Cina, banyak warga Rusia dan Eropa barat yang kemudian
betah dan berumah di wilayah Thailand selatan itu. Di mana-mana terlihat hotel, villa, ataupun
homestay. Di malam hari, jalanan dipenuhi turis-turis asing yang ramai
berdatangan dan memenuhi malam dengan gelak tawa. Mereka tak sekadar berlibur.
Mereka juga datang untuk menghabiskan uang, yang kemudian menjadi peluang besar
warga Phuket.
suasana pantai 1 |
Di depan sebuah bar, saya bertemu seorang
gadis berbusana seksi sedang menari. Ketika memandangnya, gadis itu sontak
balas menatap lurus sambil menunjuk ke arah saya sembari tersenyum. Saya
tiba-tiba saja merasa panas dingin. Saya hanya memandangnya dari kejauhan,
tanpa hendak mendekat dan bergabung dalam pesta alkohol.
Wisata bukan sekadar berkah yang turun
dari langit. Wisata juga menyisakan banyak masalah. Salah seorang sahabat Poompui
Nantida, mahasiswi Thailand yang sedang mengambil program doktor di Amerika,
berkisah tentang tingginya kasus penyakit HIV serta penyakit kelamin lainya di
Phuket. Ia juga bercerita tentang dampak sosial ketika warga asing datang
membawa modal (kapital), sedangkan warga lokal haya menjadi pemuas nafsu serta
pelayan setia dari sosok pembawa modal tersebut.
Poompui benar. Kita sedang berada di zaman
ketika uang bisa menjadi tuan sekaligus menjadi kendali yang mencucuk hidung
kita. Sebagaimana halnya warga Phuket, wisata sering menyisakan persoalan bagi
warga setempat. Saya tak sekadar bicara tentang hilangnya rasa solidaritas
serta buhul atau ikatan sosial yang kian melemah, namun juga penetrasi
Tuhan-Tuhan baru seperti uang, kuasa, dan kontrol yang kemudian memosisikan
kita sebagai budak dari majikan besar.
seorang biksu yang sedang melintas |
Dalam segala keterbatasannya, Phuket
memang kota yang senantiasa tersenyum sebagaimana terpancar pada gadis-gadis manis
yang menari di waktu malam. Di balik senyuman itu, ada banyak kisah yang
tersimpan. Mulai dari kisah tentang kampung nelayan yang tergusur, tentang
gadis-gadis yang memenuhi malam dengan tarian erotik, tentang banyaknya
turis-turis Indonesia yang memaksa pelaku wisata Thailand untuk memperdalam
bahasa Indonesia, serta kisah di balik restoran terapung di desa kecil di laut
Andaman. Saya akan mengisahkannya satu per satu pada tulisan-tulisan berseri di
blog ini. Semoga kalian tak tergesa-gesa
untuk mendengar kisahnya.
Besok:
Misteri Wisata, Kemasan, dan
Rahasia
(Ekspedisi Phuket 2)
0 komentar:
Posting Komentar