Beranda
/ Dia yang "Gemar Mengarung Luas Samudera"
Dia yang "Gemar Mengarung Luas Samudera"
seorang nelayan di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan |
NAMANYA Irma Sabriany. Dia adalah alumnus program magister dari Institut
Teknologi Bandung (ITB). Pengalamannya segudang. Ia pernah bekerja dengan
berbagai lembaga internasional di bidang konservasi. Ketika ijazah magister di
tangan, ia tak melamar sebagai konsultan atau sebagai policy analist di
satu lembaga internasional. Ia ingin bekerja di pulau-pulau kecil.
Ia lalu mendaftar sebagai fasilitator di
Destructive Fishing Watch (DFW) yang bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) memberangkatan sejumlah fasilitator ke pulau-pulau terluar.
Keinginannya adalah menjadi fasilitator yang tinggal bersama masyarakat pulau.
Ia ingin membumikan pengetahuannya di satu masyarakat.
“Saya ingin tinggal di
pulau kecil demi merasakan denyut nadi masyarakat di sana,” katanya. Ia memilih
jadi fasilitator demi idealismenya untuk bekerja di tempat-tempat terjauh. Ia
seorang pemimpi yang tak cuma bisa bermimpi. Ia membumikannya dalam
langkah-langkah kecil sebagai fasilitator di desa pesisir.
Irma tak sendirian. Saya pun bertemu sejumlah
anak muda lain yang mendedikasikan hidupnya sebagai fasilitator pulau-pulau
terluar. Yang menarik, latar belakang semua anak muda itu yang beragam.
Tak
semuanya punya pemahaman yang memadai dalam hal kelautan dan perikanan. Banyak
di antara mereka mendalami bidang-bidang yang tak terkait dengan kelautan.
Mereka sama-sama punya komitmen untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya,
sekaligus bisa merasakan langsung denyut nadi kehidupan masyarakat pulau.
Banyak
di antara anak-anak muda ini sama sekali awam tentang pulau-pulau. Banyak di
antara mereka yang lahir dan besar di kota-kota tanpa memiliki pengalaman hidup
di pulau-pulau terluar. Boleh jadi, mereka tak pernah menempuh perjalanan dengan
kapal laut.
Ada pula di antara mereka yang berniat mengikuti program itu demi
keinginan menjelajah, lalu men-centang titik-titik tertentu di peta Indonesia.
Tak mengejutkan, saat pembekalan dan ada kegiatan ke pulau, banyak di antara
mereka yang sempat mabuk laut.
Anak-anak muda ini tidak punya pengalaman
bagaimana hidup di satu pulau kecil, tiba-tiba saja menjalani misi yang tidak
mudah. Boleh jadi, beberapa dari mereka memiliki angan-angan yang berbeda saat
menerima tugas ini. Ada yang membayangkan hidup di daerah wisata, atau
barangkali tinggal di tempat yang sangat nyaman. Belakangan, merekabelajar
bahwa hidup di pulau tak selalu seindah apa yang sebelumnya dibayangkan.
Maka kegiatan pendampingan ini menjadi
momen penting bagi mereka untuk belajar. Mereka menyerap kearifan dari
masyarakat, lalu bersama-sama bergerak ke arah perubahan. Memang, hasilnya
belum akan nampak dalam satu atau dua tahun, akan tetapi masyarakat akan
merasakan kerja-kerja yang dilakukan anak muda ini.
Selama delapan bulan Irma tinggal di Pulau
Enggano. Ia mengalami petualangan dalam pengertian sebenarnya. Tentu saja, akan
sangat menarik untuk menyaksikan bagaimana proses dialektika pengetahuan di
antara mereka dan warga.
Anak-anak muda itu datang dari zona nyaman, datang
dari kelas menengah perkotaan, demi memahami masyarakat setempat. Pengalaman
belajar dan bekerja bersama masyarakat memiliki kisah-kisah yang jauh lebih
berharga ketimbang sekadar menyajikan laporan kepada pihak kementerian.
perahu nelayan di Berau, Kalimantan Timur |
Para fasilitator itu seperti peneliti yang
datang belajar ke lapangan, lalu menyerap segenap kearifan, demi bersama-sama
masyarakat untuk menghasilkan sesuatu.
Sebagai pendatang, para fasilitator,
mesti me-recognize semua adat dan
kebiasaan yang hidup di masyarakat, beradaptasi dengan segala keterbatasan
serta masalah yang ada di lapangan. Tentu saja, bagian paling berat adalah
beradaptasi dengan segala ketidaknyamanan demi membiasakan diri sebagai bagian
dari masyarakat pulau.
Selain Irma, saya bertemu Imam Trihatmadja, yang pernah tinggal
di Pulau Wetar selama delapan bulan. Ia bercerita, sebelum ke pulau itu, ia malah
tidak punya satupun informasi tentang apa yang terjadi di sana. Ia hanya
mengandalkan Google sebagai situs penyedia informasi. Namun, tetap saja
informasi yang didapatkannya serba terbatas. Ia menuturkannya dalam catatan
harian:
“Aku mulai mencari tahu informasi mengenai pulau tersebut takkala aku resmi bergabung dengan DFW untuk program PRAKARSA. Program dimana aku berperan sebagai fasilitator yang bertugas untuk mendampingi masyarakat desa terhadap bantuan pemerintah berupa sarana dan prasarana. Dari hasil percarianku menggunakan mesin pencarian google, informasi yang aku dapat mengenai pulau ini tidaklah banyak. Hasil pencarian hanya berisi mengenai sebuah agen pulsa yang mungkin sedang berusaha mengembangkan ruang lingkupnya ke pulau tersebut, atau hanya sebuah informasi mengenai danau air tawar yang ada tepat di tengah pulau tersebut. Informasi yang aku butuhkan justru sama sekali tidak terdapat pada mesin pencarian tersebut. Ternyata Google masih kurang pintar pikirku.”
Penuturan Imam ini tak terlalu
mengejutkan. Informasi tentang pulau-pulau kecil memang tak banyak tersedia.
Bangsa kita sering tak menyadari betapa banyaknya aset pulau yang harus dijaga
dan dilestarikan.
Biasanya, pada saat terjadi masalah, barulah seluruh anak
bangsa akan tersita pikirannya. Kita bisa lihat saat konflik dengan Malaysia
yang hendak mencaplok dua pulau yakni Sipadan dan Ligitan. Kita terlambat
menyikapi pencaplokan itu, hingga akhirnya dua pulau itu lepas dari genggaman.
Selama sekian tahun republik ini berdiri,
orientasi semua pihak selalu daratan. Pembangunan hanya berpusat di daratan.
Berbagai kemajuan dan infrastruktur di bangun di daratan sehingga lautan
menjadi wilayah yang terabaikan.
Pulau-pulau kecil menjadi pulau-pulau yang
terabaikan (neglected islands) yang tak banyak diperhatikan. Tak mengherankan
ketika tak banyak tersedia informasi tentang nama-nama pulau.
Imam membuka satu informasi penting bahwa
pulau-pulau terluar kita memang tidak banyak dikenali. Informasinya jarang
ditemukan di ranah maya. Padahal, informasi menjadi gerbang untuk mengenali
pulau itu, mengetahui potensi wilayahnya untuk dikembangkan, serta memahami apa
yang bisa dilakukan di situ. Tanpa mengenali pulau dengan baik, mustahil untuk
merencanakan sesuatu yang membawa maslahat bagi semua warga pulau.
perahu nelayan di Merauke, Papua |
Kehadiran anak-anak muda di pulau terluar
menjadi penting sebagai penyambung informasi ke banyak orang tentang apa
gerangan yang terjadi di sana. Mereka menjadi jembatan yang menghubungkan
banyak orang dengan sekeping realitas di pulau-pulau terluar sana. Mereka
membawa idealisme dan petualangan untuk menyusuri Indonesia sampai titik
terjauh.
Namun, jangan mengira anak-anak muda itu
tak mendapatkan banyak tantangan saat berada di lapangan. Selama berdiam di
Pulau Enggano, Irma Sabriany harus
berdamai dengan ketidaknyamanan. Ia tak bisa setiap saat online dan membuka
jejaring sosial. Sebab sinyal telepon genggam hanya ada di tiga desa.
Itupun
jaringannya tak begitu kuat sehingga tak memungkinkannya untuk menjelajah ke
dunia media sosial. Ia menggambarkannya dengan kalimat yang sangat menarik:
Hanya ada satu BTS milik Telkomsel yang bagus. Sinyal ponsel hanya ada di Desa Malakoni, Apoho, dan Meok. Tiga desa lainnya yakni Kahyapu, Kaana, dan Banjarsari, signal hanya di tempat-tempat tertentu saja, kalau beruntung. Jaringan internet itu hanya impian, karena sedemikian sulitnya melihat batang signal yang penuh. Sarana kesehatan merupakan keterbatasan berikutnya karena hanya masing-masing ada satu Puskesmas bergerak dan rumah sakit bergerak. Untuk ibu-ibu yang akan melahirkan, tak ada cara lain yang lebih cepat yakni menggunakan bantuan dukun. Di Pulau Enggano tidak ada angkutan, bahkan ojek pun jarang dan biayanya mahal mencapai Rp.100.000,-. Jalanan di pulau Enggano masih berupa pengerasan, kecuali antara Desa Meok dan Desa Banjarsari, sudah beraspal sepanjang 3 kilometer. Sarana pendidikan juga tak sesuai dengan jumlah mereka yang akan belajar. Bahan makanan harus didatangkan dari Kota Bengkulu. Jika badai tiba, tentu saja kapal tidak beroperasi, sehingga persediaan bahan makanan tak bertambah. Badai seperti itu pernah kulihat langsung. Kala itu bahan makanan tidak bisa didatangkan. di Pulau Enggano untuk pisang, jengkol, emping dan kelapa berlimpah. Aku menikmati keterbatasan tersebut, itu bisa membahagiakanku.
Apa yang digambarkan Irma menjadi gambaran
umum di semua pulau-pulau kecil dan terluar kita. Hampir semua fasilitator
mengeluhkan keadaan yang sama. Saat pertama tiba di lokasi menjadi saat-saat
paling berat untuk beradaptasi dengan segala ketidaknyamanan.
Ini juga menjadi
momen penting bagi mereka untuk mempelajari segala hal yang ada di masyarakat
itu, demi menyusun beberapa rekomendasi penting yang bisa ditempuh. Kehadiran
fasilitator di pulau-pulau terluar bisa pula dilihat sebagai upaya untuk
menyerap langsung pengalaman dari warga desa pesisir.
Berbagai tantangan dihadapi para
fasilitator. Secara umum, tantangan itu adalah: sulitnya aksesibilitas karena
lokasi yang terpencil (remote area), kapasitas sumberdaya manusia, praktek
pengelolaan sumberdaya yang tidak berwawasan konservasi, dan keterbatasan atau
ketidaktersediaan sarana dan prasarana elementer dan penunjang untuk
sektor-sektor primer, seperti kesehatan, pendidikan dan usaha ekonomi.
Pendayagunaan pulau-pulau kecil (terluar) merupakan salah satu program
pemerintah yang berorientasi untuk pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
perairan serta pengembangan potensi lainnya secara berkelanjutan demi kesejahteraan
masyarakat yang berdiam di pulau-pulau kecil (terluar).
perahu nelayan di Pulau Simeulue, Aceh |
Namun di situlah esensi melakukan
fasilitasi. Tinggal bersama masyarakat pulau terluar memang akan menemui banyak
tantangan. Namun, terselip pula rasa nikmat yang dahsyat, yang tak sembarang
dinikmati orang-orang yang tinggal di perkotaan.
Di Pulau Enggano, Irma bisa
menyaksikan pantai-pantai indah dari jendela kamarnya. Melihat laut biru yang
berpayung langit biru dan awan-awan putih berarak, hatinya selalu mekar. Di
saat orang-orang di belhan bumi sana mengeluarkan biaya mahal demi mencapai
pulau tropis, Irma menikmati semuanya secara gratis. Pemandangan indah itu
hanya sepelemparan batu dari rumah yang ditempatinya.
Tak hanya itu, ia menemukan keramahan
tiada tara dari semua warga pulau. Ia menemukan kehangatan, persaudaraan, serta
persahabatan dari orang-orang baru yang langsung menerimanya sebagai keluarga
dekat. Ia menjadi bagian dari barisan orang-orang pulau yang berumah di tepi
lautan, sembari berdendang lirih tentang “nenek
moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudera.”
Setelah program itu berakhir, kembali Irma mendaftar untuk ke pulau terluar berikutnya. Rupanya, pulau-pulau menyimpan magnit yang selalu menggerakkan kakinya untuk bertualang ke sana.
Sebagaimana para nelayan dan warga pulau, kehidupan Irma pun laksana petualangan mengarungi samudera. Pulau-pulau terluar itu akan menjadi saksi atas jejak-jejak kakinya.
Bogor, 3 April 2016
BACA JUGA: