Mereka yang Susah Air di Atas Air


suatu siang di Pulau Badi

MEREKA yang tinggal di pulau-pulau berpasir putih di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, itu seakan tinggal di atas surga. Langit biru, pasir putih, lautan jernih menjadi bagian dari keseharian mereka. Siapa sangka, di balik keindahan pulau-pulau itu terselip banyak kisah mengharukan tentang perjuangan demi menemukan sumber penghidupan hingga ke daratan-daratan yang jauh.

***

TAK lama lagi, perahu kecil yang kutumpangi akan sampai di Pulau Badi. Dari kejauhan, pulau itu nampak indah. Laut dan langit biru seakan mengapit pohon hijau dan pasir putih. Di kejauhan, aku melihat perahu nelayan serta anak kecil yang bermain di pasir putih. Pemandangannya sungguh menakjubkan.

Pulau Badi terletak di Desa Mattiro Deceng, Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkep. Dari Makassar, pulau ini bisa ditempuh hingga dua jam perjalanan. Pulau ini juga bisa dijangkau dari Pangkajene, ibukota Kabupaten Pangkep. Akan tetapi, lebih banyak orang yang berangkat dari Makassar. Penduduk pulau juga lebih banyak bepergian ke Makassar.

Bersama seorang fasilitator Destructive Fishing Watch (DFW), lembaga yang concern pada isu kelautan, serta penumpang lain, aku turun dari perahu. Ternyata ada beberapa jergen berisi air yang juga ikut diturunkan. Barulah kutahu kalau ternyata perahu itu juga memuat banyak jergen berisi air. Seorang warga pulau lalu menjelaskan tentang masalah yang mendera warga pulau. Ternyata mereka yang berdiam di sekeliling air itu justru mengalami masalah kesulitan mendapatkan pasokan air bersih. Meskipun berumah di tengah air, namun air tawar amatlah penting untuk dikonsumsi dan dimasak.

Haris, seorang warga pulau, menuturkan, bahwa meskipun demi mendapatkan air tawar yang layak diminum itu, mereka harus menempuh perjalanan selama dua jam berperahu ke Makassar. Bahkan di tengah musim ketika ombak mengaduk lautan, mereka harus tetap mendapatkan air bersih. “Kami mau gimana lagi. Air bersih adalah kebutuhan utama warga pulau. Tak mungkin mengharapkan sumur sebab airnya payau. Untuk minum dan masak, kami harus mendapatkan air bersih,” katanya.

Dalam kunjungan singkat itu, aku menyempatkan diri berkunjung ke sekeliling pulau yang bisa dilakukan hanya dalam beberapa jam. Luas pulau hanya 6,50 hektar dengan jumlah penduduk sebanyak 402 kepala keluarga (KK). Lebih 90 persen penduduk pulau ini bekerja sebagai nelayan. Ada pula yang berprofesi sebagai pedagang pengumpul. Namun tak banyak.

Pulau ini memang cukup kondang sebagai kawasan konservasi karang. Sebelumnya, masyarakat kerap merusak karang dan memanfaatkannya sebagai bahan bangunan. Namun seiring dengan banyaknya program konservasi karang dari beberapa lembaga lokal dan internasional, maka kondisinya kini membaik. Beberapa tempat menjadi spot penyelaman. Di sini, dengan mudahnya ditemukan clown fish yang muncul dalam film Finding Nemo, serta beberapa ikan hiu.

Banyaknya program konservasi itu amatlah kontras dengan ketersediaan prasarana di pulau ini. Sejauh yang kuamati dan saksikan, sentuhan pemerintah di pulau ini hanyalah dalam bentuk ketersediaan bangunan sekolah dasar. Di luar itu, nyaris tak ada sarana dan prasarana yang dibangun untuk warga pulau.



Mereka yang tinggal di pulau ini seolah dibiarkan hidup dan menata dirinya sendiri, tanpa banyak merasakan makna pembangunan yang sesungguhnya. Demi air bersih, warganya harus menempuh perjalanan melewati laut. Demikian pula dengan pelayanan kesehatan, pendidikan, serta prasarana yang dibutuhkan mereka yang berumah di pulau-pulau.

Haris menuturkan, galon air yang didatangkan dari Makassar itu harus dibeli dengan harga 8000 rupiah. warga pulau harus membeli satu galon air seharga 8.000 rupiah. Padahal, di kota Makassar, harga segalon air di depot isi ulang hanya sekitar 2.500 rupiah. Jika air itu habis dalam waktu tiga hari, silakan hitung biaya yang harus dibayarkan oleh para nelayan kecil di pulau ini.

Belum lagi jika ditambah dengan biaya listrik. Dahulu, d beberapa pulau, ada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang bisa menyediakan listrik secara terbatas. Sayangnya, pembangkit ini tak bertahan lama. Kebutuhan listrik warga lalu dipasok oleh genset yang membutuhkan bahan bakar dnegan biaya yang cukup besar. Dengan biaya yang sedemikian banyak setiap bulannya, masihkah anda berminat tinggal di pulau-pulau indah itu?

Desalinator

Di tahun 2011, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memiliki program pengadaan desalinator air laut di pulau ini. Program ini sangatlah bagus dan bisa menjadi solusi bagi masyarakat setempat. Selama lebih tiga tahun, masyarakat menikmati air bersih berbiaya murah yang dibangun dengan bahan baku air laut.

Kata beberapa warga yang kutemui, air yang dihasilkan oleh alat ini sangat segar dan tawar sebagaimana air merek Aqua. Bahkan jika dibandingkan dengan air galon yang dibeli dari Makassar, air yang dihasilkan dari alat ini masih lebih baik. Uji laboratorium juga menegaskan hal itu.

Sungguh disayangkan, alat itu tiba-tiba rusak. Warga sudah berupaya untuk memperbaiki alat itu, namun tak ada satupun yang bisa memperbaikinya di Makassar. Alat buatan Swiss itu agak berbeda dengan mesin desalinator air laut yang ada di pulau-pulau lain. Warga juga telah mengontak pihak kontraktor yang memasang alat,  namun tak ada respon sama sekali. Kata seorang kawan, logika yang dibangun para kontraktor adalah logika proyek. “Setelah mereka memasang alat, mereka langsung kabur sebab menganggap kontraknya sudah selesai,” katanya.

Pelajaran berharga di masa mendatang adalah pengadaan sarana dan prasarana harus berbasis masyarakat. Dalam artian, masyarakat harus ikut mengawasi dan mengadakan satu sarana, lalu mengawal sarana itu secara terus-menerus. Pelajaran lainnya, pihak luar tak boleh lepas tangan atas apa yang sudah dibangunnya. Mereka harus selalu siap untuk membantu dan menyelesaikan segala keluhan masyarakat.

perahu nelayan

Yang menakjubkanku, masyarakat menjadi terbiasa dengan berbagai kesultan hidup. Di tengah berbagai masalah yang mendera, mereka tak kehilangan keceriaan menghadapi hari. Aku merasakan bahagia itu saat bersama seorang pria yang membudidayakan kuda laut, serta beberapa nelayan yang datang mengobrol di rumah warga yang kudiami selama semalam.

Pelajaran berharga yang kudapatkan di situ adalah di balik setiap keindahan, selalu ada ketidakindahan yang kadang tak bisa kita pahami sebelum memasuki jantung keindahan itu. Dan di balik setiap ketidakindahan, selalu ada keindahan dan keriangan dari mereka yang mengalaminya.

Kita bisa membumikan filosofi itu di konteks Pulau Badi. Bahwa di balik keindahan pulau itu, ada kesulitan warga mendapatkan air bersih dan listrik. Di balik kesulitan itu, selalu ada kebahagiaan menjalani hari-hari di pulau yang amat mempesona itu. Inilah butir-butir inspirasi yang kutemukan di pulau itu.



0 komentar:

Posting Komentar