English Jeblok, Kuliah di Amerika


saat berkunjung ke Washington D.C

BANYAK orang di tanah air yang menganggap bahwa bahasa Inggris adalah segala-galanya untuk menempuh studi di negara seperti Amerika Serikat (AS). Mereka berpikir bahwa sebagai mahasiswa, pasti akan mendapat tugas baca yang seabrek, serta sering menulis dalam bahasa Inggris berlembar-lembar. Banyak yang berpikir bahwa bahasa Inggris adalah unsur paling penting. Benarkah demikian? Nampaknya anggapan ini salah besar. Saya telah membuktikannya.

Kemampuan bahasa Inggris saya amat jauh dari memadai. Setahun silam, saya datang ke Amerika dengan kemampuan bahasa Inggris yang sangat rendah. Saya agak beruntung karena saat menjalani tes Toefl IBT di Salemba, listrik sempat padam saat pertengahan soal listening. Saat itu, saya keluar ruangan dan berdiskusi dengan sahabat yang bahasa Inggrisnya hebat.

Setelah listrik kembali hidup, saya masuk ruangan. Ternyata soal listening diulang dari awal. Saya akhirnya menjawab sesuai dengan saran teman itu. Hasil akhir tes Toefl adalah 85 atau sekitar 563. Skor di atas requirement kampus Ohio yang mensyaratkan 80 atau sekitar 550.

Saya lalu dianggap layak. Padahal, aslinya, kemampuan saya amat pas-pasan. Tapi saya nekad saja berangkat. Saya hanya membayangkan inilah kesempatan untuk menaklukan Amerika. Ini kesempatan untuk melihat luar negeri dengan merentangkan sayap selebar-lebarnya. Sebagai orang kampung, yang jarang melihat kota, imajinasi saya adalah petualangan. Saya membayangan betapa beruntungnya saya bisa mendapat kesempatan ke luar negeri.

Saat pertama tiba, saya sangat menimati situasi. Saya melihat dunia bergerak sebagaimana yang saya saksikan di film-film Hollywood. Saya lalu mencari apartemen dan mulai tinggal dengan warga Amerika. Saya juga mendaftar kuliah dan mulai menjalani kuliah perdana. Kuliah perdana biasanya diisi dengan penjelasan tentang rencana kuliah. Biasanya, pada awal pertemuan, dosen akan memberikan silabus, merekomendasikan buku, serta memaparkan recana perkuliahan selama satu semester.

di Washington Monument

Bagaimanakah perasaan saat kuliah dalam bahasa Inggris? Bagi yang bahasa Inggrisnya hebat, kuliah itu akan sangat menarik dan inspiratif. Bagi saya yang bahasa Inggris pas-pasan, saya serasa menyaksikan film Hollywood. Ketika dosen ngomong, saya sering tak bisa menangkap apa yang dikatakannya. Sepanjang kuliah saya hanya bisa bingung dan tak tahu hendak ngomong apa. Saya berani bertaruh, bahkan mereka yang Toefl-nya tinggipun, pasti akan mengalami kesulitan adaptasi di awal kuliah.

Betapa tidak, mahasiswa Amerika berbicara dengan kalimat-kalimat cepat serta sering tak peduli bahwa kita tak bisa memahaminya. Dosen juga demikian. Minggu kedua dan ketiga, saya sering kecele. Sering, ketika masuk kelas, saya kaget karena tiba-tiba semua teman menyetorkan tugas atau makalah. Kok saya bisa tidak tahu bahwa ada tugas? Ternyata, tugas telah diumumkan seminggu sebelumnya. Dikarenakan saya tak paham apa yang dikatakan dosen, akhirnya saya tidak tahu kalau ada tugas.

Belajar dari pengalaman itu, saya mulai mencari strategi atau siasat. Saya juga tak ingin gagal total di jalan. Beasiswa saya bisa dicabut kalau saya tak bisa menunjukkan prestasi yang lumayan. Saya lalu berusaha menjalin pertemanan dengan beberapa mahasiswa Amerika. Sungguh beruntung karena di perpustakaan, saya bertemu beberapa mahasiswa Amerika yang sedang belajar bahasa Indonesia. Saya lalu menawarkan simbiosis mutualisme. Mereka mengajari saya bahasa Inggris, termasuk me-review semua paper, dan saya akan mengajarinya bahasa Indonesia. Deal!

Saya juga beruntung karena dosen di Amerika bukanlah tipe dosen killer. Mereka sangat menghargai orisinalitas gagasan. Meskipun gagasan itu disampaikan dalam bahasa Inggris yang terbata-bata atau pas-pasan, mereka akan memberikan apresiasi jika ide-idenya brilian. Mereka juga tak pernah memaksakan mahasiswa untuk berbicara di kelas.

Minggu-minggu awal, saya agak pendiam. Selanjutnya, saya mulai berbicara dalam sepatah atau dua patah kata. Saya berkesimpulan bahwa kuliah di Indonesia sering terlalu berat sebab sedari awal diajari konsep-konsep penting dalam ilmu sosial. Namun jika kita sukses melaluinya, dan memahami konsep itu, maka kita telah maju selangkah. Sesekali saya mengejutkan mahasiswa Amerika dengan gagasan yang baru didengarnya. Meskipun setelah itu, saya akan banyak diam sebab tidak paham apa yang sedang dibahas.

saat menghadiri konferensi tentang media sosial di Washington D.C

Saya akhirnya paham bahwa mahasiswa Amerika terbiasa untuk mengemukakan pendapat. Sejak masih kecil, mereka terlatih untuk berbicara di kelas dan memberikan pendapat, meskipun pendapatnya ngawur. Mereka punya keberanian, serta kemampuan bagus dalam menyerap. Di tengah kebiasaan mereka banyak ngomong itu, saya coba menawarkan sesuatu yang beda yakni sesekali memberikan ide yang substantif.

Tapi mereka punya beberapa kelemahan. Di antaranya adalah mereka jarang yang punya pengalaman atau pengetahuan tentang dunia luar. Malah, banyak yang tak tahu di mana posisi Indonesia. Ketika membahas beberapa konsep dalam ilmu sosial, mereka sering mati kutu saat diminta pendapat tentang contok-contoh kasus atau fakta yang bisa menunjang satu teori. Mereka tak bisa membahas dunia luar. Mereka hanya bisa membahas Amerika. Itupun terbatas pada apa yang dibahas media.

Pelajaran Berharga

Nah, belajar dari kelemahan mereka, saya selalu mengedepankan pengalaman atau amatan atas kejadian di belahan bumi lain. Saya belajar bahwa hal paling penting dalam perkuliahan bukanlah kemampuan bahasa. Hal paling penting adalah daya-daya survive atau bertahan hidup dalam segala stuasi yang dihadapi. Tak benar bahwa mereka yang bahasa Inggrisnya hebat akan lebih unggul dari yang lain. Logikanya, meskipun bahasa Inggris hebat, namun ketika anda tidak memahami substansi yang disampaikan, maka hasilnya sama dengan nol besar.

Saya belajar bahwa yang paling penting adalah kemampuan bertahan, serta memelihara pemikiran yang terbuka untuk segala hal baru. Ketika tulisan saya dikritik habis, saya akan menjadikannya sebagai tantangan. Saya menganggap adalah hal yang wajar ketika grammar kita hancur-hancuran. Ini kan bukan bahasa nenek moyang kita. Yang penting buat saya adalah gagasan yang saya sampaikan bisa diterima secara substansial. Soal menulis, bisa dibantu dengan mengoptimalkan proof reading dari sahabat-sahabat kita.

saat melewati salju pertama di Athens

Terserah apakah anda mau sepakat atau tidak. Sampai kini, bahasa Inggris saya masih pas-pasan. Saya sering tak paham apa yang dikatakan dosen. Namun jangan pernah bertanya berapa IPK atau grade saya. Sebab saya selalu mendapat nilai terbaik di kelas apapun yang saya ikuti. Saya ingin sekali mendobrak mitos bahwa bahasa Inggris bukanlah segala-galanya. Yang penting adalah daya tahan, kemampuan belajar, serta kemampuan menghadapi setiap tantangan. Tak percaya? Saya sudah membuktikannya.

Intinya, semua orang bisa belajar di luar negeri. Yang tak bisa adalah mereka yang terlanjur pesimis dan menganggap diri tak mampu. Yang tak bisa adalah mereka yang menganggap bahasa Inggris segala-galanya, menganggapnya sebagai mitos, hingga tak mampu belajar. Yang tak bisa adalah mereka yang takut duluan, sebelum mencoba.

Athens, 11 November 2012

BACA JUGA: