William Sabandar: Dari Teknik Unhas Hingga Alumni Australia Terbaik
Saat namanya dibacakan, seisi ruangan sontak berdiri dan bertepuk tangan. Malam di Jakarta yang semula terasa formal mendadak berubah hangat ketika MC menyebut satu nama dengan lantang: William Sabandar, PhD.
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Australia di Jakarta (20/11/2025), William diumumkan sebagai Australian Alumni of the Year 2025, penghargaan tertinggi bagi alumni Indonesia lulusan Australia.
Bagi para tamu, kemenangan itu adalah pengakuan atas kiprah seorang tokoh. Bagi William sendiri, momen itu seperti membuka lembar baru dari perjalanan panjang yang ia tempuh.
Sosok berdarah Maluku dan Toraja ini kini masuk dalam daftar alumni paling berpengaruh, berdampingan dengan nama-nama seperti Meutya Hafid, Najwa Shihab, Prof Herawati Sudoyo, dan Laode Syarif.
Dengan hadirnya William, daftar itu memperoleh napas baru, kisah tentang keberanian membangun transportasi modern, tentang kepemimpinan yang tidak mencari panggung, dan tentang mimpi yang tetap hidup meski tantangan datang berganti.
Malam itu, semua orang tahu bahwa penghargaan tersebut tidak sekadar diberikan kepada seorang individu, tetapi kepada sebuah perjalanan yang setia pada tujuan.
Penghargaan ini juga bukan yang pertama. Sebelumnya, dia berkali-kali dinobatkan sebagai The Best CEO berkat kepemimpinannya yang visioner saat memimpin MRT Jakarta, proyek yang menjadi tonggak hadirnya transportasi publik modern di Indonesia.
Berawal dari Fakultas Teknik Unhas
Karier panjang William berakar dari Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, tempat ia pertama kali belajar membaca kota dengan cara yang berbeda. Di kampus itu, ia mempelajari teknik sipil bukan sekadar sebagai rumus atau hitungan struktur, tetapi sebagai bahasa yang digunakan manusia untuk menata peradabannya.
Di lorong-lorong kampus yang dipenuhi suara mesin praktik dan aroma tanah laboratorium, ia mulai memahami bahwa kota bukan hanya terdiri dari bangunan, jalan, dan jembatan, melainkan sebuah organisme hidup, tubuh besar yang berdenyut, memiliki ritme, membutuhkan disiplin, dan menuntut struktur yang selaras dengan gerak warganya.
Ia pernah bercerita bahwa di Unhas-lah ia pertama kali menyadari bagaimana ruang kota dapat membentuk perilaku manusia. Bahwa trotoar yang sempit bisa mengatur cara orang berjalan, bahwa jalan yang kacau menciptakan stres kolektif, bahwa transportasi publik yang buruk dapat menggerus keadilan sosial.
Dari kampus di Tamalanrea itu pula, ia belajar melihat kota sebagai ruang perjumpaan, ruang ekonomi, ruang kesetaraan, kadang juga sebagai ruang konflik yang menanti disembuhkan.
Di situlah tumbuh satu keyakinan yang akan membentuk seluruh perjalanan kariernya: bahwa transportasi bukan hanya tentang memindahkan orang, tetapi tentang membangun peradaban.
Dari ruang ruang kuliah sederhana itu, dari percakapan panjang dengan dosen dosennya yang mendorongnya berpikir lebih luas, William akhirnya melangkah keluar.
Ia terbang ke University of New South Wales (UNSW) Australia untuk memperdalam teknik transportasi, lalu ke University of Canterbury, Selandia Baru, untuk meraih gelar doktor. Namun yang ia bawa pulang bukan hanya dua gelar, melainkan sebuah visi tentang kota yang lebih teratur, manusiawi, dan adil.
Menyulam Mobilitas Menjadi Peradaban
Nama William melekat kuat pada hadirnya MRT Jakarta. Publik mengenalnya sebagai Bapak MRT Jakarta, dan itu bukan tanpa alasan.
Di bawah kepemimpinannya sebagai Direktur Utama PT MRT Jakarta periode 2016 sampai 2022, Indonesia memasuki era baru transportasi ketika MRT fase satu dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI mulai beroperasi pada 2019.
Namun bagi William, MRT tidak pernah hanya tentang rel baja, stasiun modern, atau gerbong yang melaju cepat.
Ia melihat MRT sebagai upaya membangun budaya baru, budaya antre yang tertib, kesadaran waktu yang disiplin, ruang publik yang ramah manusia, dan mobilitas yang tidak lagi menggantungkan nasib pada kendaraan pribadi yang menyesakkan kota.
Pengalaman panjangnya dalam rekonstruksi Aceh dan Nias pascabencana, tugas kemanusiaan ASEAN pasca Topan Nargis di Myanmar, serta upaya penurunan emisi karbon di REDD plus memperkaya perspektifnya.
Baginya, pembangunan tidak berarti apa apa jika tidak menyentuh kehidupan manusia secara langsung, lebih dari sekadar deret angka di laporan resmi.
Kini, setelah menutup bab kepemimpinan besar di MRT Jakarta, William terus bergerak membuka ruang baru bagi gagasan dan kolaborasi.
Saat ini, ia menjabat sebagai COO Indonesian Business Council (IBC), sebuah asosiasi para pemimpin bisnis yang fokus memperkuat daya saing dan kesejahteraan bangsa melalui penelitian dan advokasi kebijakan, serta mendorong kolaborasi publik-swasta.
Tidak berhenti di situ, ia juga memimpin ekosistem inovasi transportasi nasional sebagai Presiden Intelligent Transport System (ITS) Indonesia, serta menggerakkan perubahan global melalui perannya sebagai Ketua Gerakan 5P Global di Indonesia.
Di tingkat strategis, ia turut mengawal agenda keberlanjutan dengan duduk sebagai dewan pembina World Resources Institute (WRI) Indonesia dan Indonesia Climate and Growth Dialogue (ICGD).
Semua peran itu menunjukkan satu hal: ia terus menyalakan visi besar tentang Indonesia yang lebih maju, cerdas, dan berpihak pada masa depan.
Ilmu yang Tidak Disimpan, tetapi Dipulangkan
Ada satu kalimat yang berulang kali ia ucapkan di buku Membangun MRT Pendidikan adalah jembatan untuk membangun peradaban yang lebih baik.
Ia telah menyeberangi jembatan itu dua kali, pertama ketika meninggalkan Indonesia untuk belajar, dan kedua ketika kembali dengan tekad untuk membangun negeri dengan ilmu yang ia bawa pulang.
Semua penghargaan hanyalah penanda perjalanan. Tujuan sejatinya adalah Indonesia yang bergerak maju, lebih adil, dan lebih manusiawi.
Kisah William Sabandar adalah bukti bahwa perjalanan besar sering dimulai dari ruang ruang sederhana.
Dari kelas kecil dengan kipas angin tua di Makassar, dari lorong lorong Fakultas Teknik Unhas yang penuh catatan belajar dan mimpi masa depan, dari perpustakaan yang tak selalu lengkap, dan dari langkah seorang mahasiswa yang percaya bahwa ilmunya kelak akan bermakna bagi banyak orang.
Dari tempat yang tampak biasa itulah, ia menempuh perjalanan panjang hingga akhirnya namanya disebut di panggung internasional sebagai Alumni Australia Terbaik 2025.
William menjadi contoh bahwa seorang anak dari kampung halaman yang jauh, dari Toraja dan Makassar, dapat berdiri tegak membawa gagasan besar. Ia menunjukkan bahwa perubahan tidak lahir dari panggung yang megah, tetapi dari keberanian untuk berjalan, belajar, dan bekerja melampaui batas diri sendiri.
Kini, ketika namanya kian menggema, pesan dari perjalanan itu terasa begitu terang: apa pun latar belakangmu, ilmu yang kau tekuni dengan sungguh sungguh akan menemukan jalannya untuk kembali membangun bangsa.
Selamat Om Willy !
