Wajah kawan itu langsung berubah. Di layar kaca, satu lembaga survei berreputasi telah mengeluarkan publikasi. Dia tak percaya, sosok yang dijagokannya, yang sudah dibela dalam semua debat dan tengkar di media sosial selama setahun terakhir diprediksi akan kalah.
Baginya, pilpres ini bukan sekadar memilih sosok pemimpin. Baginya, pilpres ini adalah isu dunia akhirat. Dia sangat percaya bahwa naiknya figur itu akan membuat Indonesia semakin terpuruk dan tertinggal jauh. Dia memelihara imaji kalau figurnya akan membawa Indonesia ke era paling hebat. Bukan sekadar macan, tapi gabungan antara semua hewan perkasa.
Figur seperti dirinya tidak sendirian. Ada begitu banyak orang yang percaya bahwa pilpres ini adalah ajang paling penting. Setiap hari kita menyaksikan media sosial yang dipenuhi perdebatan.
Tapi, pernahkah kita berpikir bahwa sebenarnya hasil pilpres sudah bisa ditebak? Memang, pilpres masih sebulan lebih. Banyak lembaga survei sudah memprediksi hasilnya. Para anggota tim pemenangan masih menghibur diri bahwa sehari sebelum hari H, peluang masih tetap ada.
Kita sudah bisa memprediksinya dari sekarang. Tak perlu mengandalkan big data dan analisis dari berbagai mesin cerdas. Kita sudah bisa memprediksi dengan akurat siapa pemenang dan siapa yang akan gigit jari. Siapa yang akan memang? Siapa yang akan kalah?
Nah, kita akan mulai dulu dari pihak yang kalah. Siapakah gerangan?
Pertama, Jokowi dan Prabowo. Keduanya memang menjadi kontestan pilpres. Di atas kertas, satu di antaranya adalah pemenang dan satunya lagi kalah. Tapi jika dilihat dari sisi personal, dua sosok ini adalah manusia Indonesia yang menjadi sasaran empuk dari semua propaganda dan hoaks.
Masa lalu dan hal pribadi keduanya dibuka dengan telanjang oleh publik. Wajahnya dijadikan meme dan olok-olok untuk menjelekkan pihak lain. Bahkan kalimat keduanya dipotong-potong lalu disebarkan ke mana-mana disertai berbagai analisis yang seolah hebat.
Jokowi dan Prabowo adalah korban dari pemilihan di era digital yang membuat semua orang bisa mereproduksi berbagai jenis konten. Keduanya muncul dalam semua percakapan dari masyarakat yang telah terpapar berbagai fitnah, kabar bohong, hingga hasutan.
Kedua, masyarakat sipil. Sejak lima tahun lalu, masyarakat kita sudah lama terbagi dalam dua kubu yang kian mengental. Dua kubu ini tidak berkomunikasi sebab memang tidak saling mendengarkan.
Ada banyak silaturahmi yang kemudian buyar hanya karena perbedaan politik. Banyak event penuh gembira yang berubah hanya karena perbedaan sikap politik. Politik tidak lagi mendekatkan. Politik menjadi ajang yang mencerai-beraikan dunia sosial kita.
Entah, siapa yang memulainya, tiba-tiba saja orang mengindentifikasi diri dalam kubu yang memakai nama hewan, kemudian bertarung secara brutal di banyak debat. Warisan dari pilpres ini adalah masyarakat yang kian sakit dan kehilangan akal sehat.
Biarpun semuanya mengklaim sebagai pemilik akal sehat, faktanya masing-masing pihak sibuk saling menyalahkan. Pilpres ini menyisakan pekerjaan besar buat masyarakat kita untuk membangun ulang kohesivitas dan semen perekat semua kubu yang kian menjauh.
Ketiga, umat Islam. Sejak pilkada DKI Jakarta, umat Islam sudah mengalami situasi yang juga terbelah. Di semua kubu, para ulama mengeluarkan berbagai dalil, teks, dan argumentasi yang menguatkan kebenaran kelompoknya.
Nama Tuhan disebut dalam doa yang dilafazkan dengan kalimat bergetar sembari menuding kelompok lain sebagai kafir. Umat Islam menjadi sasaran dari berbagai kampanye yang memakai isu agama. Banyak orang alim yang kian jauh dari kalimat mencerdaskan.
Demi politik, mimbar khotbah dan suara ulama berubah menjadi ajang propaganda. Semuanya lupa untuk mengawal isu-isu substansial terkait pemberdayaan umat dan bangsa. Semuanya larut dalam aksi saling serang dengan menggunakan ayat-ayat Tuhan.
Semuanya lupa untuk menjadikan Islam sebagai penarik gerbong kemajuan bangsa dan menjadi mat air nilai di tengah hidup yang kian krisis keteladanan.
***
Nah, siapa yang menang dari pilpres penuh drama dan tengkar ini? Kita bisa melihat kemenangan pada beberapa pihak, apa pun hasil pilpres.
Pertama, politisi. Apa pun hasilnya, politisi akan selalu menjadi pemenang. Berkat pertengkaran dan saling nyinyir itu, suara partai akan meningkat. Ketika suara meningkat, maka makin banyak petugas partai masuk parlemen. Makin besar pula akses pada jatah kekuasaan.
Tangga menuju kekuasaan memang berat. Tapi politisi bisa melakukannya tanpa perlu banyak berdarah-darah. Mereka cukup menunggangi para petarung jalanan dan para laskar media sosial yang tanpa sadar kalau telah menjadi pihak yang dimainkan dalam perjalanan ke kursi kekuasaan. Setelah capresnya menang, para politisi akan pesta pora.
Kursi pejabat, duta besar, hingga komisaris BUMN akan dibagi-bagikan. Semua gerbong akan mengajukan nama calon menteri dan pejabat. Setelah pesta usai, tinggallah rakyat jelata yang mengais-ngais harapan kalau-kalau ada kebijakan yang berpihak buat mereka.
Kedua, pebisnis. Para pebisnis dan pengusaha besar akan selalu menjadi pemenang dari semua proses politik. Mereka boleh saja menghabiskan uang untuk membantu satu kubu. Tapi ketika dilihatnya kubu lain menguat, maka dengan segera semua finansial dan logistik akan dipindahkan.
Bagi para pebisnis, hanya ada satu skenario yakni kemenangan. Mereka masih berpatokan pada pepatah Inggris yakni “Don’t put your eggs in one basket.” Jangan menaruh telur-telurmu dalam satu keranjang. Maksudnya, jangan menaruh semua risiko mengenai dirimu pada satu pihak.
Pandai-pandai melihat peluang. Sebab pergantian rezim bisa membuat akses bisnis terganggu. Ketika rezim yang didukung menang, maka peta bisnis terbuka lebar. Anda bisa leluasa mengatur siapa yang menang tender jalan, bandara, hingga penyediaan komoditas. Ketika Anda menang, maka bisnis akan makin jaya.
Ketiga, para planner, perencana, tim survei, jasa konsultan, hingga para akademisi bajakan. Istilah Planner saya kutip dari penjelasan Manuel Castells dalam buku Communication Power sebagai sekelompok orang yang mendesain semua proses politik untuk memenangkan kelompoknya.
Bagi kelompok ini, pilpres adalah ajang untuk menaikkan reputasi. Mereka bekerja pada satu kubu untuk melatih para prajurit perang, menyiapkan syair pertempuran serta peta jalan dan skenario tempur.
Mereka menjadikan capres dan politisi sebagai boneka yang dikendalikan untuk memenangkan perang. Ketika timnya menang, maka reputasinya akan semakin naik. Setelah pileg dan pilpres, ada banyak pilkada yang harus dimenangkan. Tak cuma sebagai tim, mereka bisa masuk untuk menguasai saham di perusahaan daerah, hingga menarik rente dari banyak kebijakan politik.
***
Lantas, kita rakyat jelata dapat apa? Yang kita dapat hanya harapan. Bahwa siapa pun yang menang akan bisa mewujudkan pelayanan publik yang lebih ramah kepada rakyat biasa. Bahwa siapa pun yang naik akan bisa membuka ruang dan akses yang sama kepada siapa pun anak bangsa terbaik yang ingin bekerja untuk rakyat.
Apa mungkin harapan itu akan terwujud melihat kontestasi ini telah menelan begitu banyak biaya dari para pemilik armada perang hingga dunia sosial kita yang kian tercabik-cabik karena hilangnya silaturahmi dan akal sehat di antara kita?
Tampaknya, PR kita kian banyak. Makin sulit pula. Khususnya bagaimana membangun kembali masyarakat yang kuat di tengah puing-puing reruntuhan konflik di pilpres ini.
0 komentar:
Posting Komentar