Dan Pemenangnya adalah Sandiaga




POLITIK kita memang dinamis. Benar-benar sesuai dengan teori Harold Lasswell yang menyebutkan politik adalah siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana. Setelah sekian bulan para elite konsolidasi, bertemu, ikut pembicaraan tingkat tinggi, akhirnya pasangan presiden dan wakilnya telah dikunci. Ada yang kecewa dan ada yang gembira.

Bagian paling menarik untuk diperhatikan adalah dinamika di kalangan partai oposisi. Skenario SBY gagal total. Tadinya dia akan jadi pengendali irama permainan ditemani para hulubalang Demokrat. Ternyata Prabowo mengambil-alih kemudi, mengonsolidasi karib setianya, dan menemukan skenario yang bisa diterima semua kalangan.

Tapi pemenang sesungguhnya adalah Sandiaga Uno. Dia tak butuh track-record, rekam jejak kepemimpinan dan karya hebat. Dia tak butuh ijtimak dan suara nyaring orang-orang yang mengatas-namakan agama serta membawa-bawa suara langit. Dia tak butuh dukungan kuat semua partai-partai politik. Dia datang bagai seorang koboi yang menguasai medan peperangan. Sandiaga tahu kapan harus menurunkan kartu as yang menjadi solusi dari kebuntuan koalisi.

Sekali bergerak, semuanya senyum. Semuanya cincai. Marilah kita mengamati politik kita dengan bahagia, serta melihat tingkah-polah elite kita yang lucu-lucu.

*** 

KEMESRAAN itu serasa baru kemarin. Masih basah ingatan ketika Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertemu. Mereka bicara tentang persoalan yang sangat substansial. Mulai dari ekonomi yang semakin terpuruk, kemiskinan yang terus bertambah hingga semakin kuatnya cengkeraman asing. 

Segera setelah pertemuan itu, dunia media sosial menjadi heboh. Hulubalang Partai Demokrat yang tadinya diam seperti macan tidur, tiba-tiba bangun. Mereka langsung meramaikan semua kanal media sosial dengan kritik dan kecaman pada pemerintah. 

Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan memosting data tentang kinerja pemerintah yang jeblok, yang kemudian diprotes para surveyor. Ferdinand Hutahaean melonjak-lonjak kegirangan dengan pesan cebong akan kalah. Dia posting foto ratusan kodok yang tewas dibantai. Postingan itu menjadi nutrisi bagi kubu anti-pemerintah untuk disebar ke mana-mana.

Memang, Prabowo dan SBY adalah dua sosok yang saling membutuhkan. Prabowo punya momentum dan jejaring politik, tapi tidak tahu bagaimana caranya menang. Buktinya, dia belum pernah memenangkan posisi apa pun di tengah kontestasi politik negeri ini. Pernah jadi cawapres, dan pernah pula jadi capres. Semuanya berakhir dengan kekalahan. Dia adalah satu-satunya rakyat Indonesia yang paham makna dan getir kekalahan di panggung pilpres.

Sementara SBY punya karier yang moncer. Dia hanya sekali kalah di arena yang saat itu belum dikuasainya. Dia dikalahkan Hamzah Haz dalam voting pemilihan calon wakil presiden untuk mendampingi Megawati. Setelah itu, dia sukses dan melenggang sebagai presiden selama dua periode. Dia tahu bagaimana caranya memaksimalkan semua kekuatan untuk menang.

Tapi kali ini, bukan SBY yang bertarung. Dia menjadi mentor bagi anaknya. Dia berharap menjadi pelatih dan pengatur strategi yang mengendalikan irama permainan. Niatnya sederhana yakni menyiapkan jalan agar anaknya jadi pemimpin negeri ini. Niat lain adalah partai politik yang dipimpinnya bisa terus menjulang, dengan memanfaatkan memori orang-orang tentang kepemimpinannya yang dianggap hebat.

Prabowo memang butuh SBY. Apalagi, SBY menjanjikan logistik yang serupa oksigen akan mengalir hingga seluruh arena. Belakangan, Prabowo mulai berpikir ulang. Skema permainan SBY hanya melapangkan jalan bagi dinasti dan gerbongnya. Skenario yang dibangun SBY adalah “mengandangkan” Prabowo demi mengejar kemenangan. SBY hendak memasangkan Anies – AHY. Ini skenario yang juga disukai partai pengusung. 

Bagi Prabowo dan kader Gerindra, maju di arena pilpres adalah marwah yang tak bisa ditawar. Bertahun-tahun dia membangun karakter oposisi, tentu dia akan keberatan ketika kendali itu hendak diambil alih Demokrat. Melihat kenyataan itu, Prabowo tetap ngotot untuk maju. SBY membangun kompromi. Prabowo tetap didukung sebagai presiden. Tapi dia ingin memasangkan dengan AHY. Bagi SBY, tak masalah Prabowo kalah. Yang penting, AHY dapat panggung untuk disorot oleh jutaan rakyat Indonesia.

BACA: Prabowo Kepincut, SBY Ngotot, PKS-PAN Siap-Siap Gigit Jari

SBY dan Demokrat berharap mendapatkan coat tail effect atau efek ekor jas bagi majunya salah satu kadernya di arena pilpres. Jika putra SBY masuk arena maka bisa diprediksi suara bagi partai itu akan menjulang. Tapi, partai-partai lain juga menginginkan efek ekor jas itu. Apa artinya kandidat presiden yang didukung menang, tapi partai sendiri malah nyungsep dan tak masuk arena. 

Beberapa lembaga survei malah memprediksi PKS dan PAN tidak lolos Parliamentary Threshold atau ambang batas masuk parlemen sebesar 4 persen. Dua partai ini ngotot agar Prabowo tegas menolak AHY. Komunikasi tidak terbangun dengan baik sebab masing-masing memikirkan kepentingan partai serta kebutuhan memasuki arena peperangan pilpres.

Sederhananya, partai anggota koalisi bertanya-tanya, “Kalau gue dukung elu, lantas gue dapet apa?” Pertanyaan ini sederhana tapi pelik. Tampaknya, SBY dan Demokrat belum punya solusi terhadap partai lain. Sampai detik akhir, Prabowo juga tidak punya solusi pada ancaman PKS yang hendak keluar koalisi. 

Di sisi lain, ada pula sekelompok orang yang mengatas-namakan dirinya Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) Ulama, yang dahulu berjilid-jilid membuat demo untuk membela fatwa MUI. Lembaga ini mengajukan dua nama yakni Salim Segaf dan Ustadz Somad. Belakangan, ada investigasi dari beberapa media yang menyebutkan, ulama di kelompok itu kebanyakan punya afiliasi ke PKS.

Dalam situasi sepelik itu, siapa yang akan menjadi juru selamat dan bisa menjadi titik tengah dari begitu banyak kepentingan?

*** 

BEBERAPA cuitan dari Andi Arief, petinggi Demokrat, membuka semua tabir yang selama ini tersembunyi. Di detik-detik terakhir itu, Andi Arief menuduh Prabowo sebagai “jenderal kardus.” Sandiaga Uno menjadi titik tengah dari kian tingginya dinamika dan perdebatan di kalangan oposisi. Andi melempar isu kalau Sandiaga menyiapkan kardus berisi 500 M kepada dua partai yakni PAN dan PKS agar mendukung dirinya sebagai pasangan Prabowo. AHY terpental. Peta politik berubah

Kita boleh saja tak sepakat dengan Andi dan menuduhnya sedang melempar hoax. Tapi kita juga tak bisa memungkiri kalau dirinya sedang menyampaikan satu wacana yang tengah marak dan berembus di internal Demokrat. Dia menyampaikan satu keping fakta yang diketahui internal partai dan sengaja dikeluarkan ke publik. Hingga detik akhir, Partai Demokrat belum juga menyatakan sikap. 

Saya mengamati postingan semua petinggi Demokrat langsung berubah. Tadinya mereka melihat koalisi ini membawa harapan baru bagi partai itu, ternyata malah sebaliknya. Postingan mereka terkesan malu-malu sebab sebelumnya banyak mengkritik pemerintah dan menyanjung kelompok oposisi. 

Demokrat berada di persimpangan. Ingin tetap bersama Prabowo tapi perasaan sudah dikadalin. Sementara kembali ke kubu Jokowi, jelas akan sulit karena sudah mengeluarkan pernyataan yang isinya hambatan psikologis. Padahal dengan bergabung dengan Jokowi, maka posisi AHY akan lebih matang. Kalau Jokowi menang, AHY bisa ditempa sebagai menteri kabinet, bisa menampilkan potensi dirinya, hingga akhirnya kelak akan maju sebagai pemimpin nasional.

SBY yang punya banyak pengalaman menang di kancah politik pasti paham bahwa pasangan Prabowo dan Sandiaga sulit menang. Keduanya berasal dari partai yang sama. Massa mereka adalah orang-orang yang sama. Meskipun Sandiaga mundur dari Gerindra dan akan bergabung dengan PAN, tetap saja tidak menambah jumlah massa pendukung.

Dilihat dari banyak sisi, duet Prabowo dan Sandiaga adalah duet yang kurang menjual. Keduanya sama-sama berlatar nasionalis. Kalaupun Sandiaga harus di-branding sebagai santri, maka betapa sulitnya membangun ulang rekam jejak itu ketika latar belakang dan pengalaman hidupnya lebih banyak di luar negeri dan dari keluarga nasionalis.

Terlepas dari pernyataan Andi Arief, pertanyaan yang muncul dalam benak saya adalah mengapa Sandiaga? Mengapa bukan Anies Baswedan yang lebih menjual? Mengapa bukan AHY yang juga keren dan punya logistik? Apa argumentasi yang bisa menguatkan naiknya Sandiaga yang bisa menggugurkan tuduhan Andi Arief?

Dari sisi elektabilitas, Sandiaga jelas tidak masuk hitungan. Bahkan di pilkada DKI, namanya berada di bawah bayang-bayang Anies Baswedan, sosok yang dianggap paling potensial untuk maju. Dari sisi rekam jejak, kita susah menyebut satu tekam jejak atau karya yang monumental yang bisa diandalkannya ke hadapan publik.

Di pilkada DKI, Sandiaga punya tagline yang mengena di benak publik yakni Oke Oce. Pertanyaannya, apakah bisa Oke Oce menjadi jualan, padahal faktanya program itu nol besar sebab hanya menawarkan pendampingan, tanpa ada bantuan modal bagi warga? Apakah mungkin Oke Oce itu dijual lagi padahal hanya menawarkan ceramah gratis pada rakyat kecil tentang spirit usaha, tanpa ada upaya serius untuk memahami kesulitan mereka dan mencarikan jalan keluar?

Selama menjadi wakil gubernur, Sandiaga juga tidak identik dengan kerja dan prestasi. Malah dirinya lebih banyak menampilkan pernyataan yang justru berseberangan dengan Anies. Boleh jadi, itu kekuatannya. Sandiaga tipe orang yang berbicara apa adanya. Dirinya beda dengan Anies yang membungkus sesuatu dengan kalimat indah dan seolah rasional.  

Sampai kini, saya masih susah menemukan satu alasan rasional pemilihan Sandiaga, selain dari tuduhan Andi Arief itu. Satu-satunya yang bisa sedikit masuk akal adalah Sandiaga menjadi titik temu dari partai-partai. Tapi tetap saja saya bertanya, mengapa tidak mengambil tokoh lain yang berada di luar arena? 

Dalam situasi begini, yang paling banyak menang adalah Sandiaga. Dia tak perlu masuk dalam radar pembicaraan. Dia tak perlu ijtimak para ulama. Dia tak perlu pusing memikirkan partai. Dia juga tidak perlu rekam jejak hebat dan karya. Dia hanya butuh kemampuan membaca kebutuhan semua orang, serta bertindak di saat yang tepat.



Pihak yang kecele di sini adalah SBY dan Partai Demokrat. SBY mungkin berpikir bahwa dirinya masih presiden dan berpengalaman sehingga menjadi magnet bagi semua orang. Ketika Prabowo mendekat kemudian memilih tidak menuruti saran SBY, maka posisi Demokrat jadi serba bimbang. Mau tetap maju bersama Prabowo, rasanya tak enak hati. Mau kembali ke koalisi Jokowi juga tak mungkin.

Pelajaran bagi SBY adalah persiapkan AHY dengan lebih matang. Publik “jaman now” menginginkan pemimpin yang otentik, yang punya jejak dan karya. Berikan pengalaman pada AHY dengan memegang satu jabatan publik. Apakah itu sebagai bupati, gubernur, bisa juga membangun gerakan sosial. Andai AHY jadi Bupati Pacitan, dia bisa tunjukkan kinerja hebat, yang kelak jadi modal politik untuknya di arena pilpres. Gaya politik lama melalui baliho besar dan pidato-pidato menggelegar sudah tidak laku di jaman ini. 

Kalaupun tetap bertahan di kubu oposisi, maka saatnya merencanakan track-record yang hebat buat AHY. Dia bisa tetap bangun branding sebagai sosok muda yang potensial. Tapi caranya bukan dengan pidato-pidato, melainkan melalui pengorganisasian sosial. Dia harus turun lapangan untuk membangun simpul relawan yang bekerja untuk masyarakat. Ketika simpul ini bisa dirawatnya, maka dia tetap akan jadi pemimpin piluhan di masa depan.

Bagi Prabowo, pilpres ini akan menjadi ujian terakhir baginya. Jika dia menang, maka dia akan tercatat dalam sejarah sebagai sosok yang bisa menang setelah kalah berkali-kali. Tapi ketika dia kalah, sejarah juga akan mencatat dirinya tak pernah menang dalam kontestasi di negeri ini. Dua kali kalah dari seorang tukang kayu, yang selalu menang dalam perhelatan apa pun, bukan sejarah bagus untuk dikenang. 

*** 

POLITIK kita memang seperti ranjang yang ditutup kelambu. Sebagai warga, kita hanya menyaksikan dari jauh sesuatu yang tertutup kelambu itu. Di situ bisa saja terjadi saling serang, saling kunci, dan saling pukul. Kita tak pernah tahu sebab semuanya tertutup rapat dan hanya dibicarakan segelintir orang.

Lihat saja penentuan capres dan cawapres ini. Dinamika hanya dirasakan segelintir orang. Para elite suka menggelar acara-acara pertemuan yang diliput media, tapi pembicaraan di situ hanya diketahui segelintir orang. Sebagai publik, kita tak punya akses untuk ikut memberikan masukan tentang figur-figur yang akan dipilih. Yang terjadi adalah para elite membuat kesepakatan dari balik kelambu, kemudian keluar dengan membawa satu nama baru, yang bisa jadi tidak kita duga sebelumnya.

Makanya, nama-nama yang muncul justru jauh dari radar pengetahuan publik. Yang dipikirkan partai dan elite adalah bagaimana mengamankan kepentingan serta skenario yang nyaman bagi masa depan partai. Partai-partai menghitung kemampuan mendulang suara, serta peta jalan yang memungkinkan bagi mereka untuk memainkan bidak pada pemilihan mendatang.

Apa boleh buat, praktik demokrasi kita tidak transparan. Kita hanya diberi penjelasan yang sudah diberi label pencitraan. Kita tak diberi edukasi tentang proses politik yang terjadi, serta bagaimana memahami peta politik dan mengapa setiap figur saling mengunci. 

Yang terasa hilang dari arena kontestasi ini adalah sejumlah isu-isu substansial. Idealnya, semua partai merumuskan apa platform yang dibutuhkan untuk Indonesia masa depan, serta sama-sama menentukan apa yang harus dilakukan. Figur presiden dan wakil presiden adalah sosok yang diharapkan bisa menjawab semua kebutuhan itu. 

Memang, tak selalu figur itu akan memuaskan semua pihak, tapi setidaknya ada harapan. Bahwa terpilihnya satu figur bukan karena kardus atau titik tengah, tapi punya kapasitas baik untuk merumuskan ke mana arah republik ini. Kita akan mencatat semua janji dan kelak akan menagih semuanya pada waktunya.



0 komentar:

Posting Komentar