Di Balik Squid Game 3, Ada Filsafat di Tengah Darah
Pisau itu menggigil di tangan Seong Gi Hun, bukan karena logamnya dingin, tapi karena ia tahu: keputusan yang akan ia buat bukan tentang hidup dan mati, melainkan tentang makna hidup itu sendiri.
Di hadapannya hanya ada satu kontestan lain, lemah, nyaris tak berdaya. Satu tikaman, dan permainan yang memutarbalikkan moralitas selama tiga musim itu akan selesai. Uang miliaran, kehidupan baru, dan keselamatan bayi yang digendongnya menjadi iming-iming terakhir dari para arsitek kekuasaan.
Namun, dalam hening itu, suara batinnya lebih keras daripada sorakan para penonton bayangan. “Kita bukan kuda. Kita manusia.” Kalimat itu tak sekadar penolakan. Ia adalah pemberontakan.
Albert Camus, dalam The Myth of Sisyphus, menyebut absurditas sebagai kondisi ketika harapan manusia berhadapan dengan keheningan dunia yang tak masuk akal. Dunia Squid Game adalah dunia yang absurd, dunia di mana hidup menjadi alat hiburan, di mana kematian adalah statistik.
Tapi Camus juga mengingatkan: dalam absurditas itu, manusia tetap bisa memilih. “The only way to deal with an unfree world is to become so absolutely free that your very existence is an act of rebellion.” Dan Gi Hun memilih menjadi bebas. Dia bebas untuk tidak mengikuti, bebas untuk tidak membunuh.
Pilihan Gi Hun bukan keputusan strategis, tetapi tindakan moral yang mengakar. Di titik itu, kita memasuki wilayah filsafat etika. Emmanuel Levinas berbicara tentang “wajah orang lain” sebagai panggilan etis pertama. Bagi Gi Hun, wajah lawannya bukan lagi musuh atau penghalang kemenangan. Ia adalah manusia. Dan dalam memandangnya sebagai manusia, Gi Hun tak bisa lagi menjadi algojo.
Itulah momen paling krusial dalam Squid Game 3. Ketika sistem berharap seseorang menjadi mesin pembunuh, justru di situlah kemanusiaan bisa bersinar.
Hannah Arendt menulis dalam Eichmann in Jerusalem bahwa kejahatan terbesar seringkali dilakukan bukan oleh monster, tapi oleh orang biasa yang memilih untuk tidak berpikir. Gi Hun, di babak akhir itu, berpikir. Ia menolak logika banalitas kekerasan. Ia memilih untuk tidak menuruti arus sistem yang telah membunuh ratusan orang demi tontonan elite.
Maka ketika ia menggendong bayi yang tak tahu apa-apa tentang dunia yang baru saja ditinggal mati ibunya, Gi Hun sedang menggendong dunia baru. Pemain 222, si bayi itu, bukan sekadar penutup narasi. Ia adalah simbol filosofis tentang kemungkinan baru—kemungkinan dunia yang tidak ditentukan oleh kompetisi, kekerasan, dan darah.
Jean-Paul Sartre mengingatkan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang mendefinisikan dirinya lewat tindakannya. Dalam dunia Squid Game, di mana semua dipaksa memilih antara membunuh atau dibunuh, Gi Hun menciptakan jalan ketiga: hidup untuk yang lain. Ia tak hanya menyelamatkan bayi, tapi juga menyelamatkan sisa-sisa martabat manusia dari kehancuran total.
Pulau permainan akhirnya diserbu. Para pemain dan kreator tercerai-berai. Jun Ho, yang membawa informasi penting ke pihak luar, dihadapkan pada dilema lain: menghentikan kakaknya: Front Man. Tapi ia juga memilih jalan yang tak lazim: menahan tembakan, memeluk kemanusiaan, bahkan pada musuhnya sendiri. Filsafat menuntut keberanian bukan hanya untuk berpikir, tapi juga untuk meragukan keharusan membalas dendam.
Squid Game 3 berakhir tanpa pemenang yang dielu-elukan. Tidak ada sorak kemenangan. Tidak ada perayaan. Tapi justru di sanalah ia meraih bentuk tertingginya: sebagai catatan tentang keberanian untuk menjadi manusia di tengah dunia yang membunuh kemanusiaan.
Dalam catatan sejarah filsafat, kita selalu bertanya: Apa artinya menjadi manusia? Pertanyaan ini telah menghantui para pemikir sejak zaman Yunani kuno hingga abad algoritma hari ini. Socrates menjawabnya lewat hidup yang diperiksa; Kierkegaard lewat keberanian untuk memilih dalam kecemasan; dan Simone Weil dalam diam yang penuh belas kasih.
Tapi Squid Game, lewat akhir yang getir dan hening, menyodorkan jawaban yang berbeda, yakni jawaban yang datang bukan dari kata-kata, melainkan dari tindakan sunyi seseorang yang menolak menumpahkan darah, meski diberi segalanya untuk melakukannya.
Menjadi manusia, dalam dunia yang penuh kekerasan terstruktur, adalah tentang berani kalah demi nilai. Gi Hun bisa menang, tapi ia memilih untuk bermakna. Ia bisa hidup nyaman, tapi ia memilih untuk tidak menginjak kepala orang lain demi itu. Ia tidak sekadar menolak pisau. Ia menolak logika permainan itu sendiri. Itulah momen ketika moral menjadi tindakan, bukan sekadar ide.
Menjadi manusia juga berarti berani menolak ketika semua orang tunduk. Seperti dikatakan Slavoj Žižek, “Tindakan yang benar-benar radikal bukanlah perubahan sistem dari dalam, tapi penolakan untuk ikut bermain di dalamnya.”
Dalam hal ini, Gi Hun tidak memperbaiki permainan. Ia merusaknya, dengan tidak ikut menari di panggung yang disediakan para elite penonton. Ia mengembalikan martabat bukan lewat perlawanan bersenjata, tapi lewat penolakan yang tak bisa dipatahkan.
Dan lebih dari itu, menjadi manusia adalah keberanian untuk menggendong harapan, bahkan ketika dunia memintanya menyerah. Bayi yang diselamatkan Gi Hun bukan hanya tubuh kecil yang lemah, melainkan pernyataan eksistensial: bahwa hidup, betapapun rapuhnya, lebih berharga daripada kemenangan yang dibeli dengan kematian.
Ketika Gi Hun mengangkat bayi itu dari tanah yang basah oleh darah, ia sedang mengatakan bahwa kehidupan baru masih mungkin, bahkan di tengah reruntuhan dunia lama.
Itulah momen filsafat yang paling sejati: ketika gagasan-gagasan besar bertemu tubuh, luka, dan pilihan-pilihan sunyi. Di tengah panggung sadisme yang dimodernkan, Gi Hun berdiri sendirian sebagai saksi bahwa menjadi manusia bukan tentang bertahan, tapi tentang memperjuangkan nilai, bahkan jika itu berarti kehilangan segalanya.
Dan pada akhirnya, mungkin hanya itulah yang tersisa dari seluruh permainan: satu tubuh kecil yang tidak tahu apa-apa tentang kompetisi, tentang uang, tentang kekuasaan, tapi menjadi alasan bagi seseorang untuk tidak berubah menjadi binatang.
Di situlah, dalam sepotong adegan senyap dan getir, Squid Game menjawab pertanyaan lama para filsuf: menjadi manusia bukan tentang apa yang kita menangkan, tapi tentang apa yang tidak kita korbankan demi menang.