Yang Tak Dibicarakan di Tengah Sorak Ijazah


Di sebuah warung kopi kecil di kawasan Panakkukang, Makassar, dua pria paruh baya tengah bercakap hangat. Di meja mereka tergeletak koran yang sudah lecek, halaman depannya menyoroti tajuk besar: “Ijazah Palsu Kembali Disorot.”

Di belakang mereka, televisi kecil menayangkan tayangan berita dengan suara yang sayup, memperlihatkan potongan video seseorang yang tengah berorasi dengan wajah tegang.

Tak ada yang menyinggung banyaknya korban PHK, harga beras naik, serta angka pengangguran yang terus menanjak. Tak ada percakapan tentang gaji yang tak cukup atau utang negara yang terus membengkak.

Padahal itulah hal-hal yang lebih dekat dengan hidup mereka. Yang ramai justru cerita lama—tentang ijazah, dokumen akademik, dan narasi konspiratif yang sudah lama tenggelam bersama masa jabatan yang berlalu.

Sementara itu, di ruang-ruang kekuasaan, Presiden Prabowo tampak berjalan tanpa riuh. Ia tak banyak bicara tentang ekonomi. Tak banyak pula menjawab soal arah hilirisasi, pemulihan daya beli, atau strategi menghadapi gejolak global. Dan anehnya, tak ada tekanan yang berarti.

Oposisi yang seharusnya menjadi kekuatan penyeimbang justru tenggelam dalam kebisingan yang ganjil—membongkar masa lalu yang tak mengubah hari ini.

Filsuf Slavoj Zizek pernah menyebut istilah pseudo-activity—sebuah kegilaan yang menyamar sebagai aktivisme. Sebuah hasrat untuk terlihat sibuk, untuk tampak kritis, padahal sejatinya adalah pelarian.

Orang merasa sedang melawan. Tapi sebenarnya sedang menghindar dari tanggung jawab utama: berpikir, memahami, dan menggugat struktur.

Dan barangkali, itulah yang sedang terjadi di tubuh oposisi kita. Mereka tampak aktif, tapi kehilangan substansi. Mereka bersuara, tapi tak menyentuh hal yang menyakitkan.

Di permukaan, mereka tampak sibuk: memposting, menggugat, menggelar konferensi pers, bahkan membawa perkara ke pengadilan. Tapi semua itu hanya riuh di permukaan.

Tidak ada keberanian untuk menyentuh jantung persoalan bangsa: kesenjangan ekonomi yang kian menganga, ketergantungan pada impor yang melemahkan kedaulatan pangan, arah pembangunan yang kabur, dan elit ekonomi yang makin jauh dari kehidupan rakyat kecil.

Mereka sibuk mengungkit ijazah seorang presiden yang sudah pensiun, alih-alih menyoal arah pemerintahan yang sedang berjalan di tengah krisis ekonomi.

Alih-alih membongkar kontradiksi dalam kebijakan fiskal, atau mempertanyakan proyek-proyek mercusuar yang tak menyentuh akar kemiskinan, mereka malah menggali dokumen dari masa silam, berharap menemukan peluru politik dari lembaran lama.

Ini bukan lagi oposisi yang berpikir ke depan, melainkan nostalgia politik yang berubah menjadi tontonan—menarik, tapi kosong.

Kritik kehilangan ketajamannya ketika diarahkan ke masa lalu yang tak relevan dengan penderitaan hari ini. Dalam situasi seperti itu, oposisi berubah menjadi koreografer keramaian, bukan penjaga akal sehat publik.

Padahal, di luar arena gaduh itu, jutaan rakyat sedang bertanya: ke mana arah negara ini dibawa? Tapi tak ada yang menjawab. Yang ada hanya gema dari ruang hampa.

Publik yang berharap pada oposisi, kini seperti penonton di sebuah panggung sandiwara. Mereka tahu apa yang dipertontonkan bukanlah drama yang penting. Tapi mereka tak bisa pergi, karena inilah satu-satunya tontonan yang tersedia. Di layar-layar media sosial, di acara debat politik, di mikrofon-mikrofon kampus dan parlemen—semua sibuk dengan naskah yang sama: selembar ijazah.

Di tengah kegaduhan itu, pemerintah tampak tak terganggu. Rezim Prabowo, yang pada awal masa transisinya dinilai belum menunjukkan arah kebijakan yang tegas, justru mendapat ruang bernapas. Kritik terhadap stagnasi industri dalam negeri, arah subsidi pangan, hingga rencana besar koperasi rakyat yang tanpa desain jelas—semuanya tenggelam dalam kabut isu ijazah.

Seorang analis politik di Jakarta yang tak ingin disebut namanya menyebut kondisi ini sebagai “oposisi yang tanpa imajinasi.” Menurutnya, “Mereka seperti kehilangan kepercayaan untuk menyuarakan sesuatu yang lebih dalam. Maka yang dipilih justru yang paling gampang menggugah emosi: rumor, skandal, dan masa lalu.”

Padahal, seperti kata Michel Foucault, kekuasaan yang paling berbahaya bukan yang memaksa kita diam, tapi yang berhasil membuat kita bicara soal yang tak penting. 

Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan modern bukan lagi soal represi terang-terangan seperti zaman tirani. Ia hadir dalam bentuk yang lebih halus—mengatur ruang, mengontrol wacana, dan menyusun apa yang boleh diperbincangkan. Kekuasaan tak lagi menutup mulut, tapi justru memberi mikrofon—untuk membicarakan hal-hal yang menjauhkan kita dari pokok persoalan. Ia membiarkan kita ribut tentang ijazah, asal jangan bicara tentang monopoli tanah, upah minimum, atau oligarki energi.

Ketika oposisi sibuk dengan narasi receh, maka kekuasaan bisa melaju tanpa koreksi. Ia tak perlu membungkam siapa pun, cukup membiarkan orang sibuk membicarakan yang salah.

Demokrasi yang sehat mensyaratkan pertarungan ide, bukan sekadar pertarungan sentimen. Tapi ketika ide digantikan oleh rumor, ketika diskusi strategis digeser oleh nostalgia dendam, maka demokrasi tinggal nama. Yang tersisa adalah panggung—penuh sorot lampu, tapi tanpa naskah yang layak diperjuangkan.

Di warung kopi itu, percakapan akhirnya berhenti. Salah satu dari dua pria tadi berdiri, membayar kopi, lalu berkata pelan, “Saya tidak peduli ijazah siapa yang palsu. Saya cuma ingin tidak di-PHK, tidak kehilangan pekerjaan.”

Mungkin itu pertanyaan yang seharusnya ditanyakan dari awal. Tapi dalam demokrasi yang sedang tertidur, bahkan pertanyaan paling sederhana pun bisa tenggelam dalam sorak-sorai yang tidak membawa ke mana-mana.

*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.