Christopher Robin, Winnie the Pooh, dan Sejumput Rasa Bersalah




BIASANYA, seusai menonton film, saya selalu gembira dan bahagia. Tapi untuk film Christopher Robin, saya langsung merasa bersalah sesuai keluar bioskop. Film ini sarat pesan positif yang serupa gugatan pada kita yang terlalu sibuk bekerja dan lupa bermain dengan anak-anak. 

Saya kadang merasa seperti Christopher Robin (diperankan Ewan McGregor) yang sering tergesa-gesa dan sibuk, padahal ada suara-suara kecil yang selalu menuntut perhatian. Saya mengejar banyak hal agar bisa survive, padahal tujuan hidup bukanlah hal itu. Dalam film ini, yang terpenting adalah kebersamaan, waktu luang untuk tetap saling memperhatikan, serta sikap yang mengutamakan keluarga, ketimbang pekerjaan.

Ketika membaca review film buatan Disney ini, saya teringat film Hook (1991) yang dibintangi Robin Williams. Dalam film itu, Robin William berperan sebagai Peter Pan yang beranjak dewasa dan meninggalkan dunia dongeng. Dia menjadi pekerja kantoran yang mejalani rutinitas, sehingga lupa mengajak anaknya bermain.

Suatu saat, anaknya diculik dan dibawa ke Neverland, sehingga dia harus ke sana. Dia harus bisa kembali jadi Peter Pan yang sejati demi membebaskan anaknya. Barulah dia sadari kalau dia telah kehilangan kebahagiaan dan keriangan ala anak-anak, yang merupakan energi agar dirinya kembali jadi Peter Pan.

BACA: Cinderella: Kisah Glamour Tapi Hampa
BACA: Imperialisme dan Cinta di Balik The Jungle Book 

Film Christopher Robin bergerak dalam logika serupa. Sewaktu kecil, dirinya sering bermain dalam hutan luas bersama kawan-kawan yang diciptakan imajinasinya. Dia bermain dengan Winnie the Pooh, beruang madu yang selalu lapar. Teman-teman Winnie adalah Piglet (babi yang selalu cemas), Tigger (harimau yang selalu ingin bergerak), Eeyore (keledai yang selalu pesimis dan pasrah), dan beberapa karakter lainnya. 

Hingga suatu hari, Robin harus kembali ke dunia nyata dan tidak akan balik ke dunia imajinasinya. Dia akan sekolah di asrama dan menjalani kesibukan seperti anak sekolah lainnya. Pooh dan kawan-kawannya merasa sedih. 

Robin kemudian benar-benar meninggalkan dunia imajinasinya. Ayahnya meninggal sehingga dirinya harus jadi kepala keluarga. Dia bekerja keras setelah menikah sampai-sampai tidak punya waktu buat anak perempuannya. Dia seorang manusia kantor yang sibuk dan berharap kariernya terus melejit. Apalagi, saat itu perusahaannya hendak dibubarkan sebab dianggap tidak lagi menghasilkan.

Suatu hari, Pooh kehilangan teman-temannya di hutan. Dia lalu memasuki pintu pada pohon yang dahulu menjadi jalan masuk Christopher Robin ke dunia imajinasi. Pooh lalu bertemu Christopher Robin dewasa yang sudah terlampau rasional, sibuk, dan waktunya lebih banyak di kantor. Jalan cerita menjadi lebih menarik ketika Pooh dengan segala keluguannya mengajak Robin berdialog. 

Piglet, Pooh, dan Tigger

Film ini penuh dengan dialog-dialog yang amat mencerahkan. Karakter Winnie the Pooh digambarkan sebagai beruang kecil yang bodoh. Kalimat-kalimatnya lugu. Tapi di situlah letak kekuatannya. Dengan bahasa sederhana, dia sering membuat Christopher Robin merasa bersalah. Kalimat Pooh selalu terdengar puitis. Sederhana, tapi penuh makna.

Dalam perjalanan untuk mengembalikan Pooh ke hutan imajinasi, Christopher Robin meminta Pooh agar tidak menyapa orang-orang yang bisa pingsan karena dirinya seekor beruang. “Orang-orang tidak suka hal yang berbeda, “ kata Christopher Robin. “Lantas, apa saya harus menjadi orang lain” kata Pooh.

Adegan yang paling saya sukai adalah saat Christopher Robin menyadari dirinya yang lama tersesat ke dunia orang dewasa. 

“Saya bukan yang dulu. Saya tersesat,” kata Christopher Robin.
“Kamu butuh mengingat siapa diri kamu. Orang-orang bilang tidak melakukan apa-apa adalah mustahil. Tapi saya tidak melakukan apa pun setiap hari. Saya baik saja. Tidak melakukan apa pun bisa membawa kita pada sesuatu yang terbaik. Doing nothing often leads to the very best of something,” kata Pooh.
Kalimat ini sangat mengena di hati. Kita manusia modern terlalu sibuk memikirkan banyak hal, sampai-sampai lupa pada hal-hal sederhana yang justru bisa membuat kita amat bahagia. Setiap hari kita bergegas untuk menyelesaikan banyak hal, mengejar mimpi serupa fatamorgana, lalu lupa dengan kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang justru ada di rumah.

Benar juga kata Piglet, sahabat Pooh. “Mana lebih penting, anakmu ataukah kertas-kertas pekerjaanmu. Kalau anakmu lebih penting, mengapa kamu tidak membawanya ke mana-mana?”

Saya tertarik dengan semua karakter dalam Winnie the Pooh. Semuanya menampilkan karakter yang berbeda, tapi saling membutuhkan. Seorang sahabat di luar negeri menunjukkan referensi bahwa semua karakter dalam Winnie the Pooh hendak menampilkan penyakit kejiwaan.

Pooh yang suka makan, ternyata mengidap eating disorder yakni kecenderungan untuk selalu makan. Piglet, babi pink, menderita anxiety diorder yakni gangguan kecemasan. Makanya dia selalu gelisah dan cemas. Dia selalu takut dan bersembunyi di balik temannya.

Keledai Eeyore menderita depressive diorder makanya selalu murung dan pesimis. Owl menderita disleksia dan short term memory. Sedangkan Tigger yang ceria dan selalu ingin bergerak ternyata menderta ADHD atau attention deficit hyperactivity disorder. Dorongan seseorang buat bertindak di luar kendali, baik berjalan maupun bicara, tanpa melihat situasi dan kondisi. Ada juga Rabbit atau kelinci yang menderita OCD atau obsessive compulsive disorder. Makanya, dia selalu menderita  gangguan kecemasan yang membuatnya melalukan sesuatu secara berulang-ulang.

Semua karakter ini saling melengkapi dan saling mendukung sehingga dunia imajinasi itu menjadi amat indah. Inilah hal yang hilang dalam kehidupan Christopher Robin, seorang penderita skizofrenia, yang susah membedakan mana yang nyata dan mana yang imajinasi. Semua karakter di atas adalah hasil imajinasi Christopher Robin yang menganggap semuanya hidup di dunia nyata.

*** 

JIKA ingin menyaksikan film yang penuh nutrisi dan inspirasi, tontonlah film ini. Setengah jam awal, alurnya agak datar. Ketika lewat setengah jam, batin saya beberapa kali basah karena banyaknya kalimat yang menginspirasi. Saya menyenangi semua karakter dalam film ini yang berinteraksi dalam satu semesta yang saling mendukung.

Christoper Robin bersama Pooh dan sahabatnya

Pernah, sekilas saya membaca buku The Tao of Pooh karangan Benjamin Hoff yang terbit di tahun 1982. Menurut buku itu, semua karakter dalam Pooh menampilkan banyak hikmah yang bisa menguatkan jiwa. Sikap Eeyore yang realistis, Piglet yang pemalu, Rabbit yang penuh kalkulasi, dan Pooh yang apa adanya adalah petunjuk untuk mencapai kebijakan rahasia (the secret wisdom) seorang penganut Taoisme.  Karakter Pooh adalah karakter seorang Master Taoisme yang melihat sesuatu secara sederhana. 

Dalam buku itu, Benjamin Hoff mengatakan, “Ketika kamu mengabaikan kesombongan, abaikan hal yang rumit dan juga abaikan hal-hal yang membuatmu makin sibuk, maka cepat atau lambat kamu akan menemukan ha-hal yang sederhana, kekanak-kanakan, dan rahasia semesta yang membawamu pada satu kalimat: hidup itu indah.”

Benar. Hidup ini indah. Tak perlu memaksa diri untuk mengejar sesuatu. Nikmati saja. Jalani apa adanya. Jangan lupa untuk piknik bersama keluarga.


0 komentar:

Posting Komentar