SEPINTAS, teman itu seorang pengangguran. Setiap hari dia bangun jam 10 pagi. Setelah itu standby di laptop. Kadang main game, kadang selancar di internet. Beberapa kali bertemu dengannya, saya sering heran-heran melihat dirinya yang punya banyak uang. Padahal dirinya terlihat santai dan tidak punya kantor.
Suatu hari saya bertanya dari mana dia dapat uang? Jawabannya mengejutkan saya. Dia beternak akun Instagram. Katanya, dia membuat dan merawat beberapa akun Instagram. Selama periode tertentu, dia akan meramaikan akun itu dengan postingan. Ketika sudah ”gemuk” atau punya banyak pengikut, dia akan menjual akun Instagram itu. Hah?
Pantesan, dalam beberapa kali pembicaraan, dia selalu bilang profesinya tak beda jauh dengan profesi ayahnya di kampung. Ayahnya seorang peternak kambing, dirinya pun kini menjalani profesi sebagai peternak. Bedanya, dia beternak akun-akun di media sosial, memberi makan akun itu dengan postingan-postingan, memeliharanya hingga punya banyak pengikut.
Berapa nilai jualnya? Dia memberikan rincian. Harga satu akun instagram dengan pengikut (follower) hingga 3K alias 3.000 adalah 300 ribu rupiah. Jika dirinya bisa “menggembalakan” akun aktif hingga memiliki pengikut 30K, maka dirinya bisa meraup uang hingga 3 juta rupiah. Kalau dia bisa menggemukkan akun hingga lima dalam sebulan, dirinya berpeluang mendapat penghasilan hingga 15 juta rupiah. Malah bisa lebih. Menggiurkan kan?
Tak sekadar bermain di Instagram. Dia juga merambah ke Facebook. Dia membuat banyak fanpage. Dia menawarkan jasa untuk menambah follower aktif kepada yang membutuhkannya. Dia juga mengelola beberapa blog, kemudian dijualnya ketika mulai banyak pengunjung. Mendengar ceritanya, saya membayangkan orang melihat tanah kosong, lalu dibeli dan dibangun rumah, setelah itu dijual kembali. Persis seperti itu yang dilakukannya. Dia membeli web yang lama nganggur, lalu diisi dengan informasi, kemudian dijual mahal. Enak banget.
Saya lalu tanya, bagaimana cara menggemukkan akun Instagram atau Facebook itu? Adakah jalan pintas? Dia tersenyum. Cara paling cepat adalah buat akun atas nama artis. Isinya adalah re-tweet semua foto-foto atau berita mengenai artis itu. Dia membuat akun yang isinya fans garis keras. Dia tinggal memasang hastag nama artis itu, yang berfungsi sebagai penanda agar penggemarnya berdatangan. Para fans akan datang dan sukarela me-like akun itu.
Bukan hanya artis. Malah dia juga buat akun fans garis keras para politisi. Dia tahu bahwa pasca-pilpres, publik terbelah menjadi dua kelompok yakni pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo. Dia melihat momen itu untuk membuat akun di dua kubu itu. Hoaks di satu kubu, akan diarahkannya ke akun yang mendukung kubu itu. Demikian pula sebaliknya.
Teman ini adalah sosok yang bisa mendulang keuntungan di tengah perdebatan sengit dua kubu pilpres di Indonesia. Dia santai-santai saja dan tak ikutan baper. Semua informasi akan dikelolanya menjadi postingan di media sosial yang lalu mendatangkan para pengunjung, yang kemudian membuatnya kaya raya.
Pertanyaannya, siapa yang mau membeli akun-akun gemuk itu? Banyak. Mulai dari mereka yang suka bisnis online dan butuh akun untuk memasarkan jualannya hingga sejumlah orang yang suka narsis dan berharap postingannya disaksikan banyak orang. Media sosial seakan-akan menjadi potret diri seseorang.
Ketika postingan sedikit yang like, maka seseorang merasa dirinya tidak penting, tidak eksis. Dia berharap dirinya tampak populer sehingga bersedia melakukan jalan apa pun demi popularitas itu. Di antaranya adalah membeli akun gemuk yang setiap postingan bisa disukai banyak orang.
Dialog dengan teman itu mencerahkan saya. Selama ini saya mengira media sosial seperti Facebook dan Instagram adalah ruang untuk sekadar narsis dan memajang foto-foto. Saya tak pernah meniatkan media sosial untuk kepentingan lain. Bagi sejumlah orang, media sosial adalah kanal untuk melepaskan aktualisasi, untuk sekadar nampang, untuk sekadar dianggap ada.
Mungkin ini yang menjelaskan mengapa seorang kawan selalu mengirim pesan agar saya me-like postingannya di media sosial. Dia menganggap saya adalah salah satu social media influencer sehingga ketika saya menyebut namanya, atau minimal menyukai postingannya, maka banyak orang yang akan datang dan ikut menyukai. Dia menganggap saya punya pengaruh sehingga sentuhan jemari saya pada postingannya bisa berdampak pada popularitasnya.
Saya teringat bacaan di satu media asing tentang fenomena penyakit psikologis yang disebut FOMO atau fear of missing out. Ini adalah perasaan manusia yang takut ditinggalkan, merasa terpencil dari pergaulan, merasa sendiri ketika banyak orang heboh saat bersosialisasi di media sosial. Untuk itulah orang butuh instagram dan Facebook. Untuk itulah, orang butuh teman saya.
Melihat kemampuan teman itu dalam melihat celah, saya teringat pada buku Thank You for Being Late yang ditulis Thomas L Friedman. Menurutnya, di era artificial intelligent (AI), akan banyak pekerjaan yang hilang, tapi akan lahir banyak pekerjaan baru yang sebelumnya tidak kita sangka-sangka. Teknologi bisa menggantikan kerja manusia, tapi akan selalu terbuka ruang-ruang bagi pekerjaan baru yang menuntut skill dan keahlian tertentu.
Kata Friedman, era Artificial Intelligent (AI) membutuhkan seseorang yang memiliki kapasitas Intelligent Assistant (AI). Maksudnya, kebutuhan pada orang dengan spesifikasi ahli akan semakin tinggi, yang bisa memahami berbagai data dan menentukan ke mana seseorang akan bergerak. Spesifikasi AI ini adalah mereka yang punya kemampuan lintas disiplin sehingga memahami zaman lebih holistik demi memberikan asistensi ke mana seseorang harus bergerak.
Jumlah peternak akan berkurang, tapi akan muncul banyak orang yang sukses di bidang peternakan, dengan hanya mengandalkan jemarinya untuk memencet smartphone saat memantau ternak. Beberapa tahun sebelumnya, saya tidak membayangkan akan ada profesi sebagai peternak akun Instagram dan Facebook.
Seorang teman lain bercerita tentang profesinya yang unik. Dia membuat pabrik, tanpa ada satu pun bahan mentah. Dia mendirikan pabrik konten yang salah satu misinya adalah memberikan layanan dalam hal memproses informasi kepada banyak klien. Pekerjaannya lebih canggih dari humas di kantor-kantor. Dia membaca data-data liputan media, kemudian menentukan topik-topik yang menarik untuk diolah, setelah itu dia akan menentukan apa saja produksi konten untuk menguatkan branding seseorang.
Masih kata Friedman, dunia bergerak dengan amat dinamis, namun perguruan tinggi selalu terlambat dalam memberikan respon. Dia benar juga. Mana ada sekarang kampus yang mengajarkan bagaimana memaksimalkan Instagram untuk keuntungan. Padahal, di situ ada integrasi antara beberapa bidang ilmu, misalnya periklanan, promosi, antropologi, marketing, hingga teknologi informasi.
Dunia memang dinamis. Perkembangan serba cepat. Yang dibutuhkan adalah sikap open mind, berpikiran terbuka untuk menemukan celah-celah di mana kita bisa berperan. Kemampuan beradaptasi ini adalah mata rantai penting yang jarang diajarkan di kampus-kampus. Charles Darwin benar, yang bisa bertahan dan abadi bukan mereka yang paling kuat, melainkan mereka yang bisa beradaptasi dengan perubahan. Mereka yang bisa survive.
5 komentar:
Wahh boleh juga nih ditiru caranya..
Kecil-kecil sudah pandai berbisnis..
Keren..
Amazing bro Yusran! Menginspirasi dan izin shere ya? Tks
Kerennnnnnnnn
Kereeennnn..sangat menginspirasi
masih meraba2 gimana cara mainnya.. untuk dapetin follower asli yang banyak aja udah susah...
Posting Komentar