Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Jangan Ikuti Shin Tae-yong

Shin Tae-yong

Wajahnya datar saja. Saat orang lain bersorak-sorak, dia malah tanpa ekspresi. Shin Tae-yong, pelatih Indonesia asal Korea, tak ingin menunjukkan kegembiraan secara berlebihan. Dia tetap tenang, setenang air mengalir di Sungai Hwang.

Jurnalis asal Korea, Park Jo He, menyebut peristiwa semalam sebagai The Miracle of Doha atau Keajaiban Doha. Ini merujuk pada The Miracle of Kazan saat Shin Tae-yong membawa tim Korea untuk memulangkan Jerman di Piala Dunia 2018.

Kali ini, Shin memoles tim yang paling tidak diunggulkan. Di ajang Piala Asia, tim-tim Asia Tenggara hanya dilihat sebagai pelengkap penderita. Tim Asia Tenggara ibarat samsak bagi tim-tim besar untuk digebuki, lalu dipermalukan.

Tim yang dibawa Shin menjadi tim penuh magma dan membakar tim lawan. Dia membawa tim Indonesia, dari semenjana menjadi tim paling mengejutkan.

Dia menghentikan rekor Korea yang terus tampil di Olimpiade selama 40 tahun. Korea selalu lolos dalam sembilan Olimpiade terakhir. Mencapai prestasi besar dengan meraih perunggu London 2012. Pada Rio 2016 dan Tokyo 2020 tampil solid dengan lolos ke perempat final.

Tetapi, Korea harus absen di Paris 2024. Mereka gagal ke semifinal Piala Asia U-23. Shin menyebabkan pemain timnas Korea tersedu-sedu di pinggir lapangan saat Arham Pratama memastikan kemenangan Indonesia.

"Keajaiban Doha ini terjadi dalam suasana yang bahkan lebih luar biasa dibandingkan dengan Keajaiban Kazan. Shin Tae-yong unggul 21-8 dalam tembakan, dan unggul 53-47 dalam penguasaan bola," kata Park Joo-hee.

Media Korea murka melihat kekalahan ini. Chosun menulis: "Hal itu bukan alasan yang tepat untuk kalah dari Indonesia, yang punya ranking FIFA lebih dari 100 posisi (111 posisi) di bawah. Korea ranking 23 dan Indonesia ranking 134.”

Jurnalis Korea lainnya, Jang Han Seo, menyebut negerinya telah salah langkah saat melepas Shin pasca kegagalan di Piala Dunia 2018. Seharusnya mereka memberikan waktu yang ruang agar sang pelatih bisa membangun skuad dengan baik.

"Shin adalah talenta yang kami lewatkan dengan terburu-buru. Indonesia, di sisi lain, telah diberi banyak waktu. Indonesia mempercayakan Shin untuk menangani tim senior dan juga tim kelompok umur,” katanya.

"Itu adalah pilihan yang logis untuk sebuah tim yang tidak diunggulkan, dan salah satu yang menunjukkan komitmen yang tulus untuk pengembangan permainan," lanjutnya.

Memang, tak ada proses yang mengkhianati hasil. Tak ada capaian hebat, tanpa usaha yang juga hebat. Beberapa media Korea mengakui kalau mereka terlalu terburu-buru dalam menilai Shin. Satu kegagalan tidak bisa menjadi potret capaian seseorang. Proses adalah upaya untuk menempa seseorang atau satu tim untuk membuat berbagai keajaiban,

Shin Tae Yong mengenang masa-masa pertama ditunjuk jadi pelatih Indonesia. Dia membawa asisten pelatih fisik, Lee Jae Hong, yang mendampinginya sejak di Timnas Korea.

Lee menjelaskan kelemahan fisik timnas Indonesia. Dia mengamati banyak pertandingan. Timnas hanya sanggup bermain selama satu babak. Di babak kedua, stamina mulai turun. Mental juang sudah hilang. Selain itu, timnas selalu kalah duel. Sekali disenggol, langsung tumbang.

Menurutnya, kecepatan pemain Indonesia dan Korea hampir sama. Yang membedakan adalah kekuatan (power), body balance, dan endurance (daya tahan). Indonesia lemah di banyak sisi.

Dia juga melihat mental. Menurutnya, pemain Indonesia terlalu baik dan pasrah. Dalam sepakbola, kebaikan itu tidak berguna. “Anda harus melihat setiap pertandingan seperti perang. Di situ, Anda harus punya semangat menang dan mengalahkan. Harus siap bertarung. Kalau perlu membunuh,” katanya.

Kata Lee, fisik dipengaruhi oleh tiga hal yakni gaya hidup pemain, budaya, serta pola hidup. Dia menyoroti pemain yang suka makan gorengan dan nasi. Menurutnya, budaya makan mempengaruhi fisik pemain. Untuk kuat dan berotot butuh makan protein yang banyak.

Di level klub, pemain tidak mengonsumsi makanan bergizi. Tanpa banyak makan protein dan makanan bergizi, maka kebutuhan energi tidak akan cukup. Otot tidak bisa terbentuk. Padahal, sepakbola adalah olahraga fisik. Pemain harus siap berduel, siap main keras dengan kaki.

Lee tidak memahami kalau pemain bola di Indonesia kebanyakan berasal dari masyarakat dengan kategori ekonomi menengah ke bawah. Mereka bermain bola di tengah desakan ekonomi. Bola adalah malaikat yang memberi harapan bagi keluarga.

Setelah identifikasi, pelatih Shin dan Lee membuat daftar latihan. Porsi utama latihan adalah fisik. Rapor semua pemain dipantau. Mereka ditargetkan bisa bermain keras dan tahan banting saat di lapangan.

Para pemain diberikan weight training. Postur tubuh membesar. Kemampuan juga terus membaik. Pemain timnas diminta kurangi karbohidrat, perbanyak makan sayuran dan protein. Pemain juga dilarang makan gorengan, sebab di situ ada lemak-trans yang tidak baik bagi tubuh. Idealnya, pemain bola hanya memiliki persentase lemak tubuh sebesar 6 – 12 persen.

Fisik pemain mulai membaik. Rata-rata lemaknya sudah di kisaran 6-12 persen, mirip dengan pemain Korea. Saat itulah, pelatih Shin mulai mengajarkan filosofi bermain bola, juga strategi menang, sesuatu yang hilang di timnas Indonesia selama bertahun-tahun.

Perlahan, hasilnya mulai terlihat. Satu hal paling menonjol pada timnas di era Pelatih Shin adalah kemampuan bermain hingga 90 menit plus babak pertambahan waktu. Pemain timnas mengingatkan pada sosok Park Ji Sung, legenda Korea yang tak pernah mengenal lelah hingga dijuluki Oxygen Tank semasa bermain di Manchester United.


Di ajang Piala Asia U-23, Shin sempat bersedih saat harus menghadapi Korea, negara asalnya yang pernah “membuangnya.” Dia mengatakan: “Sejujurnya saya merasa senang, tetapi pada saat yang sama saya juga merasa sedikit sedih. Bagaimanapun pemenang sudah ditentukan. Sekarang saya sedang mengambil tanggung jawab sebagai pelatih Timnas Indonesia U-23, jadi saya melakukan yang terbaik untuk itu.”

Dia tak ingin selebrasi. Dia diam saat saat semua bersorak-sorai. Dia mendatangi bench pemain Korea dan menyalami semua orang. Untuk hal satu ini, publik tak ingin diam sebagaimana dirinya. Semua anak negeri bersorak-sorai dan merayakan kemenangan. Tak ada yang mau ikut dirinya dengan tanpa ekspresi. Saatnya bersorak.

Dia merasakan sesuatu yang beda antara Korea dan Indonesia. Dia merinding saat merasakan atmosfer sepakbola. Di Korea, dia tidak dianggap. Tapi di Indonesia, semua orang mengelu-elukannya.

Untuk pertama kalinya, namanya diteriakkan seusai Indonesia menang. Dia terharu melihat antusiasme ribuan orang yang berdatangan ke stadion dan tak lelah memberi dukungan.

Dia terkejut melihat sekitar 5.000 orang mendatangi Stadion Abdullah bin Khalidah di Qatar. Ribuan kilometer dari Indonesia, stadion itu dipenuhi para pekerja migran, para buruh, para mahasiswa, para pekerja, hingga mereka yang mengukir merah putih di dadanya.

Di stadion itu semua orang menyebut namanya. Malah, beberapa penonton membawa poster besar bergambar dirinya, serta terdapat tulisan: “Shin Tae Yong, Korea’s Best Export. Sorry Samsung.”

Dia terharu. Publik lebih terharu atas sejumput kebanggaan yang dia sematkan di lambang garuda. Biarkan publik tidak mengikuti dirimu yang tenang dan menolak selebrasi. Publik ingin pesta dan merayakan sejarah baru ini. Thanks Coach. See you in Paris!



Seni CARI MUKA


Di satu acara buka puasa, saya jumpa kawan itu. Dahulu, kami sering diskusi dan membaca bersama. Kami sempat nyasar jadi ‘anak kajian’ di kampus. Kini, dia sudah menjadi orang sukses dan tajir.

Dia punya netwoking yang kuat. Dia bisa tembus ke para pengambil kebijakan negeri ini. Dia dekat dengan banyak crazy rich. Padahal menurut saya, dia tidak pintar-pintar amat. 

Kelebihannya adalah dia tahu bagaimana memikat hati orang lain, sehingga menjadi kawan dekat, lalu menjalin relasi yang kuat. Dia membangun networking kuat sehingga punya akses ke banyak hal.

Networking adalah satu kata yang sering kita ucapkan, namun sulit dijalankan, apalagi bagi orang introvert seperti saya. Di dunia akademis, kita hanya fokus mengejar nilai dan status cumlaude, padahal dunia praktis tidak selalu membutuhkan itu. 

Seseorang yang punya networking bagus, akan jauh lebih sukses ketimbang orang yang hanya mengandalkan kepintaran. Malah, kata seorang kolumnis, seorang penjilat akan lebih sukses dari pekerja yang rajin. Mengapa? Sebab dia tahu cari muka ke atasan.

Kebetulan, saya baru saja menuntaskan buku berjudul NETWORKING: Seni Nyetor (dan cari) Muka untuk Profesional, yang ditulis William Ndut, akademisi UI. 

Saya tertarik dengan kalimat:  Bahwa networking bukan soal “setor muka" di pesta dan acara, tetapi juga seni “cari muka” yang membantu kita mencapai cita-cita dan menjadikan kehidupan profesional jauh lebih bermakna.

Dia melihat “cari muka” dalam pengertian positif. Yakni upaya untuk mengomunikasikan pencapaian, portofolio, atau kemampuan yang dimiliki dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup dan jejang karier profesional.

Baginya, networking adalah seni dan proses yang terus bertumbuh. Pada mulanya kita bertemu dengan seseorang dan berusaha saling mengenal. Seiring waktu, kita memupuk hubungan, hingga di satu titik bisa membawa manfaat bagi kita.

Namun, networking bukan sekadar bertemu seseorang lalu selfie, kemudian menyimpan namanya di HP.  Bukan barang dagangan, di mana kita berharap akan meminta sesuatu. Bukan pula sekadar berbincang-bincang di satu acara, Bukan pula bicara-bicara cerdas ala akademisi sehingga orang lain terkesima.

Sekadar kenal, sapa dan basa-basi adalah tahap pertama dari membangun networking yakni tahap struktural. Setelah itu adalah tahapan strategik di mana kita melihat networking bukan sebagai emas, melainkan “tambang emas” yang bisa diubah menjadi kekayaan tiada tara. 

Kita memupuk hubungan, menjalin relasi, saling membantu, serta saling menjaga silaturahmi. Kita membangun integritas, kepercayaan, reputasi, serta rekam jejak yang baik. Di titik ini kita berupaya untuk mengenali siapa kawan kita, apa kebiasaannya, serta apa saja hal yang membuatnya nyaman.

Tahap terakhir adalah tahap simbolik. Ini adalah tahap di mana kita telah memberi banyak kontribusi bagi orang sekitar kita. Di tahap ini kita menjadi figur yang menjadi enabler atau membuka jalan bagi orang lain, sehingga kelak kita mendapatkan banyak manfaat dari ketulusan dan niat baik itu.

Saya tertarik membaca tahapan strategik. Untuk merebut hati orang lain, tak sekadar cari muka, tapi perlu strategi. Kita perlu mengenali kebiasaan orang yang kita incar jadi networking, kemudian perlahan masuk melalui hal tersebut.

Saya ingat semasa jurnalis. Kami hendak menemui Zainal Tayep, pengusaha kaya asal Makassar di Bali. Saya dan beberapa kawan bertanya tentang regulasi bisnis. Terlihat dia kurang nyaman. Tiba-tiba seorang jurnalis bertanya: “Puang, ada saya punya ayam bitte. Jago sekali itu ayam.” 

Tiba-tiba wajah Zainal Tayep berseri-seri. Dia menatap kawan saya dengan bahagia. Mengalirlah pembicaraan tentang ayam aduan. Entah kawan ini tahu dari mana kebiasaan pengusaha kaya ini. Sejak saat itu, dia membangun networking kuat, hingga berkongsi bisnis dengan pengusaha itu.

Saya yang saat itu merasa terlalu pintar, gagal membangun suasana. Saya hanya bisa menyerap hikmah, sementara kawan itu menyerap dollar. 


Show Your Work!


Di satu postingan saya, kawan itu tiba-tiba curhat. Selama bertahun-tahun dia melamar kerja, tapi tidak ada satu pun yang menerimanya. 

Andaikan dia curhat pada Austin Kleon, mungkin akan ditanya balik, mengapa dia berpikir melamar kerja? Mengapa bukan pekerjaan yang melamarnya?

Saya ingat kawan itu, juga kawan lainnnya. Bertahun-tahun mereka belajar di perguruan tinggi. Tapi begitu masuk pasar kerja, semua capaian di kampus seolah diabaikan. 

Dalam buku berjudul Show Your Work, Austin Kleon menyarankan untuk jangan pernah ragu untuk memamerkan karya. Tunjukkan karya kita. Sebab dengan cara itu orang-orang akan mengenal kita, mengetahui skill kita, serta memelihara kesan baik tentang diri kita.

Bagaimana jika tidak punya karya? Ceritakan prosesnya. Jelaskan apa yang kamu sukai dan tidak sukai, serta apa target-target dan mimpimu. Dengan bercerita, maka kamu membuka dirimu untuk menerima masukan dari orang lain, juga membentuk pertemanan.

Di awal bukunya, dia mengutip kalimat seorang seniman: “Masalah terbesar yang dihadapi seorang seniman adalah bagaimana caranya menarik perhatian.” Tentunya, yang dia maksudkan adalah semua orang. Jika kita dikenal orang lain, maka jejaring akan terbentuk. Banyak orang membutuhkan kita.

Saya suka bagian ketika Austin menjelaskan, tak ada genius penyendiri. Tak ada orang hebat yang bekerja sendirian. Semua orang hebat selalu punya komunitas atau kelompok yang saling memberi masukan, saling membesarkan. 

Dia menyebutnya SCENIUS, yakni sekelompok orang yang saling mendukung, mengamati karya satu sama lain, saling menyumbang gagasan. Dengan memiliki Scenius, maka kamu bisa tumbuh dan berkembang melalui masukan-masukan, serta pengayaan dari orang lain.

Saya melihat Scenius ini sebagai jejaring. Biarpun skill kamu biasa-biasa, selagi kamu punya banyak kawan yang memantau aktivitasmu, perlahan kamu akan terus berkembang. Justru, kata Austin, jadilah seorang amatir yang selalu haus pengetahuan baru.

Di era media sosial, kita jangan jadi orang penyendiri. Austin menyarankan sering-sering berbagi ide atau postingan. Bagikan hal-hal yang menunjukkan portofoliomu. Jangan minder untuk membagikan pemikiran atau karyamu. Dengan cara demikian, kamu kian dikenal.  

Di titik ini, ada banyak kejutan menantimu. Di antara kejutan itu adalah seseorang menawarimu pekerjaan, padahal kamu tidak pernah melamar. Seseorang menawari proyek, padahal kamu tidak pernah memintanya. 

Benar kata seorang bijak. “Your network is your net worth.”” Semakin luas jaringanmu, maka semakin kaya dirimu. Benarkah?