Sebagai Penulis, Apakah Saya Khawatir dan Tersaingi Jika Ada Penulis Lain yang Gunakan AI?
Seseorang bertanya, apakah saya khawatir dan tersaingi jika ada penulis pemula yang menggunakan AI dan meniru gaya tulisan penulis lain, lalu tiba-tiba jumawa dan dianggap hebat?
Jawabannya adalah tidak. Sedikit pun saya tidak khawatir. Seseorang bisa meniru tulisan orang lain, tapi tetap ada banyak hal yang mustahil ditiru. Yakni, ide, kreativitas, dan sentuhan pada setiap kata.
Teks bisa ditiru, tapi ada sesuatu yang tak bisa sepenuhnya direplikasi: ide. Ide yang lahir dari pengalaman personal, dari proses berpikir yang panjang, dari pergulatan batin yang tak terlihat oleh siapa pun, adalah milik individu.
Kecerdasan buatan bisa menyusun ulang kata, tapi tak bisa mengalami dunia sebagaimana manusia mengalaminya. Ia tak punya luka, harapan, atau kenangan masa kecil yang membentuk cara pandang seseorang atas kehidupan.
Yang juga tak bisa diplagiasi adalah kreativitas. Sebab kreativitas bukan sekadar hasil, melainkan proses. Ia lahir dari tanya yang resah, dari kesediaan untuk mencoba dan gagal, dari keberanian untuk keluar dari pakem.
Kreativitas tidak hanya bicara tentang apa yang dihasilkan, tapi bagaimana seseorang meramu keunikannya, membenturkan yang lama dan baru, dan mencipta sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Mesin bisa meniru pola, tetapi tak bisa mencipta dari kekosongan yang reflektif.
Perspektif pun demikian. Dua orang bisa melihat hal yang sama, tetapi menulis hal yang berbeda. Sebab manusia bukan kamera. Kita tak hanya merekam, tapi menafsir.
Dan penafsiran itu dibentuk oleh siapa kita, dari mana kita datang, nilai-nilai apa yang kita anut. Perspektif adalah produk dari pengalaman hidup yang unik. Ia adalah hasil dari dialog panjang antara pikiran, hati, dan dunia sekitar.
Hal lain yang tak bisa diplagiasi adalah sentuhan pada setiap kata. Ini bukan perkara diksi semata, tapi nuansa, irama, dan getar emosi di balik kalimat.
Tulisan yang jujur akan terasa beda. Ia membawa jejak penulisnya, yakni napasnya, ragu-ragunya, keyakinannya. Dan pembaca yang peka akan menangkapnya. Kalimat yang ditulis dengan kesungguhan, sekecil apa pun, akan punya gema tersendiri.
Plagiarisme hanya bisa meniru bentuk luar. Tapi keunikan seorang penulis hidup di antara jeda dan makna yang tak tertulis. Di sanalah, orisinalitas menemukan ruangnya, sebuah tempat yang tak bisa dijiplak, hanya bisa dijalani.
Dua orang bisa menggunakan alat yang sama, sebutlah kecerdasan buatan seperti AI, namun hasilnya bisa sangat berbeda. Sebab alat hanyalah perpanjangan tangan. Ia bekerja berdasarkan perintah, tapi tak bisa menggantikan kehendak, intuisi, dan arah visi manusia yang menggunakannya.
Kita bisa ambil contoh dari anime Naruto. Di sana ada Chakra, energi batin yang bisa digunakan untuk menciptakan jurus. Semua orang punya akses pada chakra, tapi tak semua orang bisa mengolahnya menjadi jurus legendaris.
Hanya mereka yang melatih diri, memahami tubuh dan batinnya, serta belajar dari pengalaman, yang bisa menjadikan chakra sebagai kekuatan sejati. AI, seperti chakra, hanyalah energi potensial. AI baru berarti ketika dipadukan dengan latihan dan kedalaman manusia.
Seperti halnya dua pelukis yang memegang kuas dan cat yang sama, lukisan mereka tetaplah berbeda. Bukan karena alatnya yang istimewa, tetapi karena tangan yang menggenggam kuas itu dipandu oleh pengalaman, emosi, dan bayangan imajinasi yang unik.
Begitu pula dalam menulis dengan bantuan AI: mesin bisa menyusun kalimat, tetapi manusialah yang menaruh makna.
Seseorang bisa menggunakan AI hanya untuk menyusun ulang informasi. Yang lain menggunakannya sebagai rekan berpikir, pembuka pintu refleksi, atau batu loncatan untuk melompat lebih dalam ke wilayah gagasan yang belum terjamah.
Yang satu menghasilkan tulisan yang rapi, yang lain melahirkan tulisan yang bernyawa. Perbedaannya terletak pada niat, pada cara bertanya, pada kepekaan menyunting, dan pada kemauan untuk menyisipkan diri ke dalam tiap kata.
AI bisa memberi saran diksi, membuat kerangka, bahkan meniru gaya bahasa tertentu. Tapi yang tak bisa ia lakukan adalah: mengalami hidup sebagaimana manusia mengalaminya.
AI tak pernah menatap mata seorang ibu yang cemas menunggu hasil diagnosis anaknya. Ia tak tahu rasanya duduk sendirian menulis di kafe kecil sembari mendengarkan gerimis di luar jendela. Ia tak bisa menyulam emosi menjadi bahasa, sebagaimana manusia melakukannya.
Maka dua orang yang menggunakan AI, sekalipun menulis tema yang sama, tetap akan melahirkan tulisan yang berbeda. Sebab perbedaan itu bukan soal teknis, melainkan soal ruh. Ruh yang tak bisa diketikkan, hanya bisa dihidupkan.
Karena itu, orisinalitas di era AI bukan lagi semata perkara tidak menyalin, tapi sejauh mana kita menaruh diri dalam karya. Bukan sekadar menulis dengan mesin, tapi menulis dengan hati, dengan kegelisahan yang riil, dengan pikiran yang mengendap, dan dengan keberanian untuk jujur pada pengalaman kita sendiri.
Di dunia yang semakin seragam karena algoritma, mungkin justru yang paling berharga adalah keberanian untuk berbeda. Dan itu, tak bisa diplagiasi.
Saya tutup tulisan ini dengan satu kutipan dari komik Naruto: Chakura to wa, chikara sono mono dewa nai. Sore o dō tsukau ka ga subete da. Chakra bukanlah kekuatan itu sendiri. Yang terpenting adalah bagaimana kau menggunakannya.