Jet Tempur Berseliweran di Langit Indonesia: Arah Baru, Risiko Baru
Sebuah unggahan di media sosial mengawali semuanya. Pada 28 Mei 2025, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsuddin membagikan beberapa foto pertemuannya dengan Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat Tiongkok, H.E. Djauhari Oratmangun.
Dalam unggahan itu, ia menuliskan bahwa mereka membahas berbagai agenda strategis nasional, mulai dari ketahanan pangan hingga modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Namun ada satu kalimat yang membuat para analis, media, dan publik terpaku: pengiriman pilot TNI AU ke Tiongkok untuk pelatihan pesawat tempur J-10C, serta rencana fasilitasi produksi alutsista bersama Beijing.
Tak butuh waktu lama, kabar itu menyebar luas—lebih cepat dari laju jet itu sendiri. Tapi yang membuat isu ini semakin membingungkan adalah kenyataan bahwa tak lama kemudian, unggahan itu dihapus. Seolah ada penyesalan, atau setidaknya, keinginan untuk meredam kegaduhan.
Namun semuanya sudah terlanjur. Jagat diplomasi dan pertahanan regional terlanjur bergolak. Indonesia, negara nonblok yang selama ini memainkan kartu keseimbangan di antara kekuatan besar, kini tampak melangkah lebih dalam ke orbit Beijing—dan itu mengusik banyak pihak.
Keputusan pembelian 42 unit jet tempur J-10C, yang disebut-sebut sebagai jet bekas namun tetap berspesifikasi tinggi, bukan hanya soal kelengkapan arsenal. Ia merupakan sinyal politik yang terbaca jelas dari udara.
Selama beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengambil langkah besar dalam memperkuat kekuatan udaranya, termasuk kontrak pengadaan 42 unit jet Rafale dari Prancis. Kini, dengan dua armada besar—Rafale dari Eropa dan J-10C dari Tiongkok—Indonesia membentuk wajah baru pertahanan udaranya.
Tapi pemilihan J-10C—dengan asal negara yang terlibat sengketa diam-diam dengan Indonesia di Laut Natuna Utara—menyisakan pertanyaan: apakah ini langkah cerdas untuk memperkuat diplomasi militer multipihak, atau justru awal dari ketergantungan strategis baru?
Kekhawatiran Berbagai Bangsa
Tak bisa dihindari, keputusan ini memicu kekhawatiran. Di Washington, langkah Indonesia mengadopsi sistem persenjataan dari Beijing dibaca sebagai pertanda samar pergeseran orientasi geopolitik.
Di Canberra, yang beberapa tahun terakhir memperkuat aliansi trilateral AUKUS dengan Washington dan London, sinyal ini juga ditangkap sebagai potensi ancaman terhadap struktur keamanan kawasan.
Australia, yang kerap menjadi ujung tombak proyek pengawasan maritim dan udara di Pasifik Selatan, melihat langkah Indonesia bisa mengganggu dinamika koalisi strategis yang sedang dibangun.
Lebih jauh ke utara, di Hanoi dan Manila, dua ibu kota yang menghadapi tekanan langsung dari Tiongkok dalam konflik Laut Cina Selatan, kegelisahan muncul dari arah yang berbeda.
Pembelian J-10C, jet tempur produksi negara yang kerap menekan perairan Natuna Utara, menciptakan kesan ambigu: apakah Indonesia masih bisa diandalkan sebagai penyeimbang kawasan?
Apakah keputusan ini menandakan adanya kompromi politik terhadap klaim Tiongkok, atau setidaknya penurunan tensi resistensi yang selama ini membuat posisi Jakarta unik?
Bukan Sekadar Dagang
Kekhawatiran ini makin kuat karena pembelian pesawat tempur bukan transaksi biasa. Ia melibatkan pelatihan, perawatan, pengiriman data, bahkan potensi integrasi sistem tempur.
Hubungan militer adalah bentuk diplomasi paling intim antarnegara—dan begitu ia terjalin, sulit untuk memisahkan efek militernya dari dampak politik jangka panjangnya. Itulah sebabnya, keputusan Indonesia mengadopsi alutsista dari Tiongkok tak hanya mengubah isi gudang senjata, tapi juga mengubah cara negara-negara tetangga membaca niat dan posisi Indonesia dalam konfigurasi kekuatan di Asia-Pasifik.
Namun semua itu baru prolog dari sebuah babak baru. Sebab jika seluruh pengadaan pesawat ini rampung—42 Rafale dari Prancis, 42 J-10C dari Tiongkok, dan kolaborasi strategis dengan Korea Selatan dalam pengembangan jet generasi 4.5+ KFX Boramae.
Indonesia tak hanya memperkuat armada udaranya. Ia tengah membentuk arsitektur pertahanan yang bisa mengubah peta kekuatan regional Asia Tenggara.
Rafale dikenal sebagai jet tempur multirole dengan teknologi sensor fusion, sistem peperangan elektronik Spectra, dan kemampuan jelajah jauh. J-10C, meskipun bukan jet generasi kelima, sudah mengusung radar AESA dan mampu membawa rudal PL-15 dengan jangkauan lebih dari 200 km.
Sedangkan KFX Boramae, yang dikembangkan bersama Korea Selatan dan dijadwalkan masuk lini produksi Indonesia lewat PT Dirgantara Indonesia, membawa cita-cita kemandirian teknologi pertahanan. Ketiganya adalah representasi dari tiga kutub kekuatan teknologi militer global: NATO, Tiongkok, dan Asia Timur progresif.
Kekuatan Udara
Jika dikalkulasikan secara kasar, dengan total 126 jet tempur baru (belum termasuk F-16 yang telah di-upgrade dan Sukhoi Su-27/30), Indonesia berpotensi memiliki kekuatan udara paling besar di Asia Tenggara, melampaui Thailand, Malaysia, bahkan Singapura dari sisi kuantitas.
Namun dominasi udara bukan hanya soal angka. Yang jauh lebih menentukan adalah kemampuan integrasi, komando dan kontrol, kesiapan logistik, serta ekosistem pertahanan yang mendukung keunggulan tempur berkelanjutan.
Apakah ini akan menggetarkan negara lain? Sudah pasti. Di Filipina, sinyalemen semacam ini dibaca sebagai potensi pergeseran penyeimbang kawasan—terlebih jika hubungan militer Indonesia dan Tiongkok menjadi terlalu erat.
Di Singapura, yang selama ini dikenal paling unggul dalam hal kualitas peralatan dan pelatihan pilotnya, penambahan Rafale dan Boramae oleh Indonesia akan dilihat sebagai peningkatan level permainan.
Sementara di Vietnam, negara yang sangat waspada terhadap hegemoni Beijing, langkah Indonesia dibaca ambigu: membangun kekuatan, tapi juga membuka pintu baru yang rawan intervensi.
Dalam dunia pertahanan, ketakutan jarang diucapkan terang-terangan. Tapi ia hadir dalam peningkatan anggaran, penguatan radar, dan sinyal diplomatik. Maka, langkah Indonesia bukan hanya memperbesar otot militernya, tetapi juga memicu kalkulasi ulang banyak negara di kawasan.
Untuk pertama kalinya dalam dua dekade terakhir, Indonesia bukan sekadar negara dengan populasi terbesar dan garis pantai terpanjang di ASEAN—tapi juga calon pengendali langit regional.
Namun pertanyaan kunci tetap sama: apakah Indonesia siap menanggung bobot dari kekuatan yang sedang dibangunnya? Sebab kekuatan, dalam geopolitik, bukan hanya tentang punya—tetapi juga tentang dipersepsikan, direspons, dan digunakan dengan hati-hati.
Ketika semua mata tertuju ke langit kita, satu manuver salah bisa mengubah persepsi dari "penjaga stabilitas" menjadi "pemain berisiko tinggi".
Penghapusan unggahan Menhan bukanlah sekadar insiden media sosial. Ia menandakan sesuatu yang lebih dalam: bahwa di dalam pemerintahan sendiri, isu ini belum benar-benar solid.
Bisa jadi, sensitivitas informasi itu terlalu tinggi untuk diumumkan tanpa koordinasi lintas instansi. Atau mungkin, tekanan dari mitra strategis membuat unggahan itu harus ditarik demi menjaga relasi bilateral lainnya. Namun efeknya justru sebaliknya.
Di tengah era digital, jejak digital unggahan itu cepat tersimpan, dibagikan ulang, dianalisis. Diskusi publik berkembang—bukan hanya soal jet tempur, tapi tentang arah politik luar negeri Indonesia.
Media pertahanan global mulai memberitakan rencana pelatihan pilot Indonesia di Tiongkok. Bahkan pengamat regional menyebut ini sebagai salah satu langkah paling signifikan Indonesia sejak era Sukarno, saat negara ini bermain di antara blok Timur dan Barat.
Indonesia jelas ingin memperkuat postur militernya. Itu tak terbantahkan. Tapi memperkuat bukan berarti tunduk pada salah satu kekuatan dunia. Persenjataan adalah instrumen, bukan identitas.
Dan ketika instrumen itu datang dari negara yang juga sedang menguji batas kedaulatan kita di perairan utara, maka wajar jika muncul tanya: siapa yang sebenarnya sedang kita hadapi? Dan siapa yang sedang kita dekati?
Langit adalah ruang luas tanpa batas, tetapi di balik awan, ada garis tipis antara pertahanan dan penyerahan arah. Pengiriman pilot Indonesia ke Tiongkok untuk mempelajari J-10C mungkin adalah soal efisiensi militer. Tapi bagi dunia, itu adalah sinyal yang menggema jauh lebih keras.
Dan ketika sinyal itu sudah mengudara, menghapus unggahan tak akan membuatnya hilang.
Sebab langit, sekali disentuh oleh niat dan ambisi, akan menyimpan gema selama mungkin. Ia tak sekadar menyaksikan deru mesin dan bayang jet yang melintas, tapi juga memantulkan arah sebuah bangsa: apakah ia sedang terbang menjauh dari porosnya, atau tengah mencari orbit yang baru.
Di langit itu, tak ada yang benar-benar netral. Hanya ada jejak—dan pilihan—yang akan selalu dibaca, ditafsir, dan diingat.