Orang Bugis, Bule Seksi, dan Senja Temaram di Gili Trawangan


seorang bule memotret di Gili Trawangan

MATAHARI mulai beranjak naik saat perahu yang saya tumpangi mulai bergerak menuju Gili Trawangan. Dari Lombok, saya menggunakan perahu bermotor yang ditumpangi sekitar 25 orang dalam posisi saling berhadapan. Lebih separuh adalah turis asing yang datang dengan ransel besar. Laut biru yang jernih, langit biru serta buih ombak yang memecah di tepian perahu menjadi pemandangan yang membahagiakan. 

Entah kenapa, setiap kali hendak berkunjung pada pulau-pulau destinasi wisata andalan, saya selalu berdebar-debar. Saya membayangkan daftar tempat wisata yang akan segera dicentang. Dari sekian banyak pulau wisata di tanah air, saya pernah berkunjung ke Pulau Derawan (Berau, Kaltim), Raja Ampat (Papua Barat), Wakatobi (Sultra), dan juga Bunaken (Manado, Sulut).

BACA: Mencari Perawan di Pulau Derawan

Di hadapan saya, seorang turis perempuan cantik menatap takjub ke lautan biru itu. Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, saya mengambil gambarnya. Dia tersenyum manis. Dia bercerita datang jauh dari Kanada. Di negerinya, laut biru yang menawan serta karang-karang indah menjadi imajinasi bagi banyak orang. Untuk mendapat pemandangan indah ala pulau tropis itu, dia harus mengeluarkan biaya besar.

Di perahu itu, ada beberapa orang ibu yang tak henti berbincang dalam bahasa lokal. Ahyar, sahabat asal Lombok yang tampan dan menemani perjalanan itu, tidak mengenali bahasa lokal yang digunakan. Ia hanya mengenali beberapa kosa kata dalam bahasa Sasak. Sekilas, saya juga bisa menangkap beberapa kosa kata dalam bahasa Bugis. Dugaan saya, mereka adalah orang Bugis yang telah lama bermigrasi sehingga menyatu dengan warga lokal. Bahasa mereka pun sering bercampur.

Jejak orang Bugis di Gili Trawangan diperkirakan telah berlangsung lama. Seorang kawan di Lombok menuturkan penghuni pertama pulau itu adalah beberapa tahanan yang dibuang dari Pulau Lombok. Setelah itu datang sejumlah pelaut Bugis yang membawa keluarganya untuk menetap. Para pelaut Bugis ini dikenal sebagai pelaut paling berani di Nusantara. Mereka mengarungi samudera, menantang badai, demi untuk berumah di pulau kecil, lalu menjalani kehidupan yang selalu meniti buih.

saat tiba di Gili Trawangan

Jejak orang Bugis itu bisa ditemukan di hampir semua pulau-pulau yang kemudian jadi tempat wisata di Indonesia. Salah satu karakter mereka yang selalu saya temukan adalah mereka tetap menjaga identitasnya, meskipun telah melebur dengan warga lokal. Mereka tetap Bugis, meskipun mereka telah kawin-mawin dengan warga setempat. Mereka tidak ingin menanggalkan identitasnya di mana pun mereka berada.

BACA: Syair Lelaki Bugis di Pulau Penyengat

Saya teringat buku The Bugis yang ditulis Christian Pelras. Katanya, perpindahan atau diaspora massif orang Bugis itu diperkirakan sejak takluknya Makassar pada VOC tahun 1669. Orang Bugis Makassar yang tak ingin dipimpin Belanda lalu berkelana ke banyak titik di Nusantara.

Mereka lebih suka membangkang, memilih jadi perompak lautan dan serdadu bayaran, lalu menjadi penguasa di kerajaan-kerajaan lain di Nusantara hingga Malaysia.

Kata sejarawan Bernard Vlekke, armada perompak Bugis Makassar menguasai perairan Kalimantan. Mereka membawa teror dan ketakutan. Makanya, mereka dijuluki Macassar Zee Rovers, bajak laut Makassar. Mereka menjejak Kalimantan, Jawa, hingga daerah-daerah lain. Keturunan mereka tersebar di mana-mana hingga tak lagi mengenali nenek moyangnya.

***

PERAHU yang saya tumpangi tiba di pesisir Gili Trawangan. Semua orang bersiap-siap turun. Saya membuka sepatu sebab kaki harus menjejak di perairan dangkal. Pemandangan yang saya saksikan mengingatkan pada Phi Phi Island di Phuket Thailand. Di mana-mana terlihat penginapan, kafe, serta bule yang berjubel laksana pasar.

Gili Trawangan kini menjadi destinasi wisata dunia. Di bandingkan Derawan. Raja Ampat, dan Wakatobi, Gili Trawangan adalah tempat paling ramai dengan turis asing. Tempat ini hanya bisa disaingi Pantai Kuta di Bali. Padahal, sajian keindahan alam dan wisata di sini jelas jauh lebih kaya dibandingkan Kuta, Bali.




Pulau ini berdekatan dengan Gili Meno dan Gili Air. Ketiganya menjadi destinasi wisata favorit para pelancong. Di pulau sekecil ini, berbagai bangsa datang dengan tujuan sama yakni berwisata, menikmati keindahan alam, juga menikmati hari-hari penuh petualangan. Dahulu, Gili Trawangan belum menjadi tempat wisata. Pamornya kalah jauh dari Bali. 

Suatu hari, beberapa turis datang dan menyelam di sini. Mereka menemukan keindahan yang tak ditemukan di Bali. Mulailah mereka bercerita ke mana-mana, hingga akhirnya pulau kecil ini menjadi magnet wisata dunia. Kebanyakan wisatawan hendak menyelam. 

BACA: Jejak Makassar di Thailand

Di beberapa titik di tiga gili ini terdapat tempat penangkaran hewan laut. Contohnya, Gili Trawangan yang memiliki tempat penangkaran hiu dan penyu, Gili Meno yang memiliki tempat penangkaran penyu dan ikan lain.

Sementara, Gili Air menjadi daya tarik penyelam karena keberadaan palung laut yang cukup dalam. Tak heran, bila gili-gili ini menjadi populer di kalangan wisman penyelam. Selain masih cukup sepi, alam bawah lautnya juga indah.

Saya lalu berkeliling pulau. Yang menarik, tak ada kendaraan bermotor di pulau ini. Hanya ada dua alat transportasi di sini. 

Pertama, cidomo, yang merupakan singkatan dari cikar, dokar, dan motor. Disebut cikar karena ditarik kuda. Dokar berwujud pada pedati yang berbahan kayu. Sedangkan motor adalah dua ban karet yang digunakan. Tujuan akhir cidomo adalah sebuah dermaga kapal yang menjadi pelabuhan kapal yang datang dan pergi ke tiga pulau  yang berjejer di sebelah barat laut pulau lombok. 

Cidomo alias Cikar, Dokar, dan Motor

Kedua, sepeda yang banyak disewakan di pulau itu. Di sepanjang pesisir pulau, terdapat banyak penyewaan sepeda. Saya melihat banyak turis asing yang memilih bersepeda demi mengitari pulau seluas 340 hektar ini. Jalan-jalan di pulau ini tak diaspal. Pemandangan yang terlihat adalah turis yang berjalan, serta suara kaki kuda pada cidomo yang menyusuri jalanan. 

Tempat ini benar-benar ramah lingkungan.

***

SUARA azan menggema dari masjid besar di tengah pulau. Beberapa orang bergegas menuju Masjid Baiturrahman yang terletak di tengah pulau. Pemandangannya kontras sebab di tepi pantai dan di jalan-jalan, para bule berjalan hanya dengan mengenakan bikini, sementara mereka yang ke masjid tetap saja berjalan, tanpa merasa terganggu. 

Benar juga kata seorang kawan, penduduk asli etnik Bugis akan memenuhi masjid. Saya bisa melihat beberapa orang memakai songkok tobone, songkok khas yang dahulu dipakai bangsawan di tanah Bugis.

Biarpun mereka tak lagi menjadi nelayan dan pelaut sebab telah kaya-raya di bisnis pariwisata, mereka tetap orang Bugis yang taat dengan ajaran agama. Bahkan di pulau itu, mereka tetap menggelar ritual dan adat Bugis. 

Seorang anak muda bercerita biarpun Gili Trawangan sudah jadi kampung global yang kesemua warganya bisa bahasa Inggris, saat hendak menikah, maka semua akan membicarakan panai’ atau uang naik dalam pernikahan Bugis.

Saya menemukan sisi lain yang membuat pulau ini semakin menarik. Banyak pemilik homestay dan cottage datang ke masjid dengan memakai baju koko, saring, dan songkok haji berwarna putih. Bahkan beberapa anak muda yang jadi guide selam, ikut ke masjid setelah mengenakan sarung dan songkok yang tak muat di kepala karena rambut gimbal. Beberapa anak muda bertato juga datang ke masjid untuk salat. 

Pulau ini punya toleransi setingkat dewa yang memungkinkan mereka untuk tidak saling mengganggu. Pariwisata tetap jalan, sementara ibadah dan ritual juga berjalan di lokasi yang sama. Teman saya Ahyar bercerita dirinya pernah mendatangkan sejumlah Tuan Guru atau ulama tradisional Lombok ke pulau ini. Mereka mengitari pulau, melihat bule-bule berbikini, sambil mengucap astagfirullah. 

BACA: Senyum Getir Nelayan Raja Ampat

Biarpun jargon pariwisata halal dikampanyekan di seantero Nusa Tenggara Barat (NTB), tetap saja tidak mungkin mengubah model wisata di Gili Trawangan menjadi lebih syariah. Akan sulit melarang para bule berbikini dan menggelar pesta bir di sepanjang pantai.

Kalau pun itu hendak dilarang, bisa dibayangkan berapa ribu orang yang akan menjadi pengangguran sebab selama ini menggantungkan hidup pada industri wisata di situ. Banyak pengusaha wisata akan bangkrut dan menggulung tikar.

Sisi komersial dan sisi spiritual berjalan seiring di pulau ini. Pariwisata menjadi sektor yang menghela ekonomi warga, sementara sisi spiritual tetap mengisi ruang-ruang ruhani warga. Fathul, seorang kawan aktivis dan jurnalis di Lombok berkata, setiap tahun Gili Trawangan menyumbang jamaah haji yang cukup besar di NTB.

Ini menjadi hal yang cukup dilematis saat dibahas. Banyak di antara yang berhaji itu memiliki penghasilan besar dari penjualan bir. “Kalau bahas tentang apakah sah berhaji dari hasil penjualan bir, biasanya diskusi akan selesai. Mau pakai penjelasan syariat atau penjelasan sosiologis?” kata Fathul dengan terkekeh.

Di Gili Trawangan, saya merasakan adanya bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Banyak warga yang menjual tanahnya atau bekerja sama dengan investor asing untuk membangun hotel atau cottage, kemudian warga itu menjadi pembantu di situ. Kekhawatiran ini pernah pula saya temukan saat observasi di Bali. Pariwisata memang terlihat indah dan cantik di luar, tapi selalu punya sisi yang menggiriskan yakni nasib warga lokal yang setiap saat bisa tergusur.



Dalam beberapa publikasi saya temukan potensi konflik berupa kepemilikan lahan di sini. Pemerintah dan warga juga kerap ribut karena soal lahan. Pemerintah bisa berkolaborasi dengan sejumlah investor, lalu menyingkirkan warga. Di sisi lain, warga juga menolak menggusur.

Pemerintah menggunakan aparat bersenjata. Warga, yang kaya raya karena pariwisata, menyewa preman untuk menghadapi aparat. Konflik berlarut-larut.

Konflik juga terjadi karena tata ruang pulau. Pemerintah telah menetapkan tiga pulau itu sebagai kawasan konservasi perairan Gili Matra. Kawasan konservasi Gili Matra seluas 2.954 hektar dengan 665 hektar di antaranya wilayah darat.

Selebihnya perairan laut. Pemerintah juga telah menyusun zonasi pemanfaatan sumber daya. Zonasi itu menjadi panduan bagi para penyedia layanan menyelam (dive operator) ataupun pemandu snorkeling. 

BACA: Mencari Navigasi Bugis Hingga Amerika Serikat

Dalam praktik, masih banyak masalah. Hotel dan kafe yang melanggar tata ruang, pemilik kapal yang melempar jangkar sembarangan, hingga penataan kawasan wisata yang berantakan. Di beberapa tempat, ada bangunan permanen dibangun di atas pantai.

Pemerintah Dusun Gili Trawangan melakukan pendataan, saat ini ada sekitar 150 bangunan yang tidak memiliki izin di sepanjang pantai. Warga tak punya dasar hukum untuk menggunakan lahan pantai tersebut. Tapi, warga bisa saja berkolaborasi dengan investor bermodal dan mencaplok kawasan.

*** 

“Would u like to help me to take my picture?”

Seorang perempuan bule menyapa saya saat tiba di ujung pulau. Saya sedang memperhatikan ayunan yang posisinya di pasir putih. Dari ayunan itu terlihat laut biru dan pasir putih yang indah. Saya menoleh dan tersenyum saat melihat bule itu. Ia menyodorkan kamera jenis mirrorless.

Bule itu tampak cantik. Tubuhnya cukup semampai. Dia mengaku sebagai pelajar di Jerman yang bertualang seorang diri ke New Zealand, lanjut ke Bali, setelah itu Gili Trawangan, kemudian berakhir di Phuket, Thailand. Dalam usia semuda itu, dia berkelana untuk wisata seorang diri, jauh meninggalkan kampung halaman, kemudian menikmati bumi yang masih perawan.

Dengan senang hati, saya mengiyakan tawarannya. Saya lalu mengambil banyak posenya yang cantik. Biarpun masih amatir, saya cukup paham bagaimana mengambil gambar yang bagus dan artistik. Saat menyerahkan kamera, kami berbincang singkat. Dia tersenyum melihat foto-fotonya yang cantik. Padahal di mata saya, fotonya biasa saja. Dirinya yang cantik.

Tak hanya itu, dia pun mengambil gambar saya di ayunan, sebagaimana dirinya. Dia gembira saat saya menyukai hasil jepretannya. 


Di atas pasir dan cahaya matahari yang tepat di ubun-ubun, kami berbincang banyak. Dia datang untuk menyelam dan snorkeling. Dia menikmati sensasi saat berenang bersama penyu dan pari manta. Di matanya, Gili Trawangan adalah kepingan surga. Pantas saja kalau dirinya telah menghabiskan waktu selama empat minggu. Dia menikmati pulau kecil dan aktivitas di situ. 

Saya membayangkan banyak turis asing yang datang dengan modal besar, sebagaimana dirinya. Para turis itu lalu meramaikan ekosistem pulau, membaur dengan turis lain, serta warga lokal demi pesta. Turis yang datang ini terjebak rutinitas di negara asalnya sehingga butuh berwisata sebagai wahana melepas penat.

Saat itulah mereka bertemu pemuda lokal yang menjadi guide dan menemani mereka selama beberapa waktu. Turis ini terkesima menemukan keramahan dan perhatian, sesuatu yang langka ditemukan di negaranya sebab semua orang bergegas karena banyak urusan.

BACA: Hantu-Hantu Laut di Wakatobi

Tanpa mereka sadari, kerap ada benang cinta yang terajut di situ. Pantai di Gili Trawangan menjadi saksi bagaimana keramahan menjelma menjadi jalinan asmara. Saya mendengar banyak bule perempuan yang kepincut dengan keramahan guide lokal lalu memutuskan menikah dan tinggal di Australia. Bahkan, para guide lokal yang menikah dengan bule Australia itu membentuk komunitas yang secara berkala bertemu di satu negara bagian di Australia.

Kembali, saya memandang gadis ini. Saya tahu bahwa tak lama lagi senja akan segera hadir di pantai. Suasananya pasti akan sangat romantis. Saat memandang ufuk sana yang memerah, dia tiba-tiba bertanya, “Apakah kamu masih akan di sini saat senja? Bolehlah kita menikmati senja bersama,” katanya.

Saya menatap dirinya yang tersenyum manis. Malah teramat manis.



4 komentar:

suaratakterdengar mengatakan...

Kpn2 ke Labuan Bajo bang..

suaratakterdengar mengatakan...

Kpn2 main ke Labuan Bajo bang...

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih atas ajakannya. semoga bisa ke sana.

kokorobby mengatakan...

artikelnya sangat menarik dan menambah wawasan

terima kasih
salam literasi,
walisongo.ac.id

Posting Komentar