Jurnalis 1980, Jurnalis 2040



Kerja jurnalistik bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah misi—sebuah tanggung jawab untuk menyampaikan yang nyata di tengah kabut kepalsuan. Dalam setiap peristiwa sejarah, tak terlihat tapi hadir, ada sosok jurnalis yang mencatat detik demi detik dengan mata terbuka dan hati terbakar.

Dari era cetak hingga era algoritma, jurnalisme telah berubah rupa berkali-kali. Namun tak pernah berubah fungsinya: menjadi penjaga memori kolektif dan penegas bahwa dunia harus tetap tahu.

Hari ini, saya tergoda untuk membandingkan kerja jurnalis di tahun 1980-an, dan jurnalis tahun 2040. Apa yang beda? Bagaimana ritme kerja mereka?

Jurnalis Era 1980-an

Bayangkan pagi yang lembab di kota tahun 1980-an. Seorang jurnalis bangun dari tidur dengan tubuh pegal setelah semalam lembur menyusun berita. 

Meja kerja jurnalis tahun 1980-an

Radio menyala di sudut kamar, menyuarakan berita pagi dengan denting suara penyiar dan musik latar. Ia menyambar jaket kulit tua yang tergantung di paku tembok, meraih tas kain berisi buku catatan, kamera SLR analog, dan alat perekam kaset kecil.

Di luar rumah, motornya—sebuah Honda CB klasik—sudah menunggu. Mesin meraung kasar ketika dinyalakan. Ia melaju melewati jalanan kota yang masih lengang, menyusuri gang sempit, pasar yang baru buka, atau kantor pemerintahan yang belum ramai. 

Jika ia meliput kecelakaan, ia turun dan memotret dari berbagai sudut dengan hati-hati, tahu betul bahwa ia hanya punya 36 jepretan dalam gulungan filmnya. Tak boleh ada kesalahan.

Ia mendekati narasumber dengan sopan, mencatat pernyataan sambil berdiri di pinggir jalan. Kadang ia hanya punya waktu lima menit untuk merekam suara seorang pejabat sebelum digiring ajudan. 

Setelah itu, ia kembali ke kantor redaksi. Bau kertas dan asap rokok menyambutnya. Suasana kantor penuh dengan suara mesin ketik beradu cepat, dan dengung diskusi antarwartawan.

Pertama-tama ia menuju meja gelap tempat fotografer memproses negatif film. Ia menyerahkan gulungan film dengan harapan hasilnya tajam dan tidak buram. Lalu, ia duduk di depan mesin ketik—Olympia tua dengan tuts keras yang meninggalkan bekas di ujung jari. Ia mulai mengetik dengan penuh konsentrasi. 

Tak ada fitur "undo", tak ada "autocorrect". Setiap kata harus dipilih dengan teliti. Jika ada data yang belum lengkap, ia berdiri dan berjalan ke ujung ruangan, ke arah telepon kabel hitam, lalu memutar nomor narasumber sambil berharap tidak salah sambung.

Itulah ritme hariannya: bergerak, mencatat, menulis, mengulang. Ia tidak dibantu mesin pintar, tapi ditopang oleh ketajaman insting dan komitmen pada kebenaran.

Jurnalis Era 2040

Kini bayangkan pagi di tahun 2040. Tak ada lagi jam weker yang berdering nyaring. Seorang jurnalis terbangun oleh cahaya biru lembut dari panel dinding kamar yang menyala otomatis. Suara AI personalnya memanggil pelan, menyampaikan headline global dari 500 media dunia yang telah dikurasi algoritma. 

Meja Kerja Jurnalis tahun 2040

Di udara, tampak proyeksi hologram menampilkan tren media sosial, grafik sentimen publik, dan prakiraan peristiwa penting hari itu—semuanya bersumber dari jaringan big data dan AI prediktif.

Ia bangkit tanpa perlu mengenakan sepatu atau jaket. Di ruang kerja minimalisnya, tak ada kertas, tak ada buku catatan. Hanya layar melayang dan perangkat sentuh seukuran kartu nama. Ia membuka peta kota real-time yang terhubung ke sistem pengawasan publik. 

Ribuan kamera CCTV tersebar di simpul-simpul jalan, taman, gedung pemerintah, hingga sudut tersembunyi pasar. Semua bisa dipantau tanpa bergerak sejengkal pun.

Saat muncul tanda-tanda kerusuhan kecil di sebuah simpang kota, ia cukup memberi perintah pada drone otomatis. Kamera terbang itu meluncur diam-diam, merekam dengan presisi tinggi, mengirim gambar secara langsung ke layar jurnalis. 

Tak perlu lagi berebut tempat atau mendekat ke pusat konflik. Drone bisa lebih dekat daripada manusia.

Wawancara dilakukan lewat jaringan video ultra-jernih. Jika narasumber enggan menunjukkan wajah, AI bisa membuat avatar berdasarkan ekspresi suara dan preferensi tampilannya. Transkrip wawancara muncul otomatis, lengkap dengan analisis nada suara dan potensi kontroversi. Draft berita disusun oleh sistem pendamping, tinggal disunting dan diberi sentuhan personal.

Di tengah semua kecepatan dan efisiensi itu, ruang kerja jurnalis terasa sunyi. Tak ada suara mesin ketik, tak ada langkah tergesa. Hanya bunyi lembut notifikasi dari sistem. Dunia terasa terkendali, tapi juga jauh. Semua bisa diakses, tapi pengalaman terasa steril. 

Di situlah tantangannya: bagaimana tetap menjaga empati dan intuisi di tengah dunia yang nyaris sepenuhnya digital.

Di Antara Dua Zaman, Jiwa yang Sama

Apa pun bentuknya—debu jalanan atau drone terbang, mesin ketik atau layar hologram—seorang jurnalis tetap memikul beban yang sama: menjadi saksi, mencatat, dan menyampaikan. Ia adalah penjaga ingatan, penggali suara yang tertindas, dan penerang jalan bagi publik.

Zaman bisa berubah. Alat bisa berkembang. Tapi selama masih ada jurnalis yang menulis dengan hati, bukan hanya demi klik atau algoritma, maka harapan masih ada. Karena kebenaran tak pernah usang. Dan selalu, akan ada satu orang di ujung hari, yang memilih untuk menuliskannya.