Orang Buton dan Haroa yang Membentang Harapan


seorang lebe sedang membaca doa

SEMALAM adalah Nifsyu Sya’ban. Entah sejak kapan dimulai, keluarga kami selalu mengadakan haroa untuk memperingati malam itu. Seluruh anggota keluarga dan tetangga akan diundang untuk duduk bersama demi membaca surah Yasin, seta beberapa doa keselamatan. Melalui haroa, kami merayakan hari besar Islam, kemudian makan bersama.

Haroa adalah jantung dari segala ritual orang Buton. Pada setiap hari besar Islam, pada setiap kegembiraan dan kesedihan, pada setiap menyatakan syukur, dan pada saat membutuhkan kekuatan atas kemalangan, orang-orang Buton akan menggelar haroa. Mereka akan duduk bersama, menyediakan makanan sebagai pelengkap ritual, serta ada seoang lebe (pembaca doa) yang akan merapalkan beberapa ayat Al Quran.

Saya akrab benar dengan tradisi ini sebab tidak hanya dilakukan saat hari besar Islam. Dulu, ketika saya sakit, keluarga selalu menggelar haroa. Ketika saya sembuh, keluarga juga menggelar haroa. Ketika saya lulus ujian, haroa juga gelar. Bahkan ketika saya hendak merantau ke negeri Paman Sam, keluarga juga menggelar haroa. Itu baru saya. Semua anggota keluarga lain mengalami hal yang sama. Hitung saja, berapa kali haroa dilakukan.

Melalui haroa, ada semacam pembaruan identitas yang dilakukan secara terus-menerus. Saya menyadari identitas sebagai orang Buton melalui haroa. Saya disadarkan setiap saat bahwa pada setiap momen apapun, doa harus tetap dilepaskan ke langit demi mendapatkan berkah serta payung awan saat menghadapi segala persoalan. Bagi saya, haroa selalu membawa kebaikan bagi yang melakukannya.

Anehnya, saat membuka jejaring sosial, ada saja pendapat berbeda. Ada saja yang mengatakan tradisi ini bid’ah. Malah, ada yang mengemukakan dalil tentang tak perlunya haroa. Bahkan ketika kami berdoa untuk menyambut nifsyu sya’ban, ada saja yang protes dan mengemukakan berbagai hadis-hadis tentang tak perlunya hari itu dirayakan.

isi talang haroa

Meskipun saya tahu bahwa dalil-dalil agama itu penting, saya ingin melihatnya dari sisi lain. Saya melihat makna sosial serta psikologis dari haroa. Bukankah duduk bersama lalu berdoa kemudian makan-makan adalah sesuatu yang amat bermakna dari sisi sosial dan psikologis? Bukankah berdoa adalah aktivitas positif yang bisa dilakukan kapan saja demi sesuatu yang menyejukkan jiwa? Lantas, kenapa pula hendak melarang seseorang atau satu keluarga yang hendak duduk bersama lalu berdoa?

Saya percaya bahwa penguasa langit tak sepicik manusia yang sibuk memperdebatkan ritual serta cara memulai ibadah. Saya percaya bahwa Yang Kuasa akan selalu memperhitungkan setiap tetes dari keringat mereka yang berusaha mengingat-Nya, dan setiap kata yang terpancar dari bibir mereka yang hendak megingat-Nya. Bahwa pada setiap aktivitas yang positif dan menguatkan harapan, langit akan selalu melapangkan jalan untuk kebaikan tersebut.

Di luar dari debat tentang dalil itu, saya menangkap sebuah makna. Bahwa tradisi adalah sebuah kekuatan yang menjaga buhul atau ikatan sebuah komunitas. Lewat tradisi itu, sebuah komunitas senantiasa menjaga jaringan, menguatkan identitas kelompok, sekaligus membangun optimisme bersama bahwa setiap tindakan akan selalu membawa pengaruh bagi kosmos. Ketika melakukan sesuatu dengan penuh harapan dan optimisme, maka jalan terang akan senantiasa hadir di hadapan kita. Dan haroa adalah ritual yang selalu membentangkan harapan tersebut.

Pada titik ini, saya bangga menjadi seorang Buton.


Baubau, 24 Juni 2013


BACA JUGA:






2 komentar:

Lispa Lui mengatakan...

Saya sangat setuju nih dengan isi paragraf kedua dari bawah, "bahwa penguasa langit tak sepicik manusia..." (bold, underline)

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih Lispa. sy juga senang dengan kalimat itu.

Posting Komentar