Kopi Sumatra, Kopi Termahal di Amerika


kopi Sumatra di Amerika

SORE itu, saya tengah duduk Kafe Donkey, yang terletak di jantung kota Athens, Ohio, Amerika Serikat (AS), sambil menyelesaikan beberapa tugas. Tiba-tiba, seorang wanita dengan rambut pirang datang memesan kopi. Dengan bahasa Inggris, ia berkata kepada pelayan kafe. “Apakah saya bisa memesan kopi Sumatra?” Saya yang duduk tak jauh dari kasir langsung tersentak. What? Kopi Sumatra?

Saya lalu menemui pelayan kafe dan mengajaknya berbincang. Ia bercerita tentang kopi Sumatra sebagai salah satu kopi paling laris di Athens. Ketika saya tanya, apakah ia tahu di mana letak Sumatra? Pelayan itu langsung mengatakan Indonesia. Ia lalu bercerita bahwa kafe itu mendatangkan kopi organik dari beberapa komunitas petani di Aceh. Mantap.

Kopi Sumatra memang telah lama menjadi salah satu komoditas paling laris di Amerika yang dikenal sebagai negera dengan tingkat konsumsi kopi terbesar. Anda bisa bayangkan, satu dari tiga warga Amerika adalah peminum kopi. Dikarenakan kopi hanya bisa tumbuh dari negara-negara yang terletak di sekitar khatulistiwa, maka hampir setiap tahun, pihak pengusaha AS mengimpor kopi dari beberapa negara-negara yang terletak di sekitar khatulistiwa. Urutan terbesar kopi didatangkan dari Brazil, Colombia, selanjutnya Vietnam, Meksiko, Guatemala, dan Indonesia.

Lantas, apa yang membedakan kopi Sumatra dengan kopi negara lain? Ternyata kopi Sumatra adalah kopi termahal. The Guardian melaporkan kopi luwak asal Sumatra sebagai kopi termahal di dunia. Mereka juga melaporkan perbandingan harga kopi Sumatra dengan kopi asal Brazil. Ternyata, harga kopi Sumatra masih lebih mahal. Pantas saja jika kopi ini menjadi favorit bagi warga Athens Ohio.

Tadinya saya tidak percaya dengan fakta-fakta ini. Namun saat menelusuri beberapa kafe di kota kecil ini, saya menyaksikan selalu ada informasi tentang kopi Sumatra. Di Kafe Whits yang terletak tak jauh dari Donkey, saya menyaksikan label tentang kopi Sumatra yang dicampur dengan kopi Kolombia. Saat singgah di Starbucks, informasi tentang kopi Sumatra juga dipajang demi untuk menjaring pelanggan. Bahkan di beberapa pusat perbelanjaan, seperti Walmart, kopi Sumatra juga menjadi komoditas yang laris.

kopi Sumatra di Kafe Whit's
kemasan kopi Sumatra di Walmart

Menurut beberapa warga Amerika yang saya tanyai, kopi Sumatra menjadi favorit karena memiliki cita rasa yang berbeda. Kopi-kopi asal Indonesia seperti kopi Sumatra, kopi Jawa, atau kopi Toraja dikenal berharga mahal serta identik dengan cita rasa berkelas.

Nasib Petani

Mulanya, saya sangat bangga ketika mendengar popularitas kopi asal Indonesia di Amerika. Namun, saya juga miris saat membayangkan nasib para petani kopi di tanah air. Nasib para petani amat kontras dengan nasib kopi yang ditanaminya, dan kemudian mejadi komoditas paling mahal di negara lain.

Dua tahun silam, saya beberapa kali bertemu petani kopi di Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang bercerita tentang harga kopi yang terus jatuh di tanah air. Kata mereka, harga kopi di tingkat petani hanya berkisar sekitar Rp 3.500 hingga Rp 4.000 per kilogram. Padahal di Amerika, secangkir kopi bisa dihargai hingga lima dollar atau sekitar Rp 45.000 (dengan asumsi 1 dollar sama dengan Rp 9.000). Anda bisa bayangkan, jika satu kilogram kopi bisa diolah hingga berpuluh cangkir, maka berapakah keuntungan yang didapat para pengusaha kopi di kedai Starbuck?

Saya merasa penasaran mengapa harga kopi demikian rendah di kalangan petani. Belakangan, saya menyadari bahwa sebelum tiba di Amerika, kopi telah menempuh perjalanan panjang dan berpindah-pindah. Petani menjualnya ke para kolektor, kemudian kopi berpindah ke pedagang kecil, setelah itu berpindah ke pihak ketiga, kemudian dijual lagi ke pedagang besar, yang selanjutnya diekspor ke perusahaan multi-nasional. Jika pindah ke banyak tangan, pantas saja jika kopi itu jadi sangat mahal.

Saya juga melihat bahwa permainan harga itu banyak disebabkan oleh perusahaan multinasional seperti Starbucks, Kraft, Nestle, Sara Lee, serta Procter & Gamble. Mereka datang ke petani, lalu membeli dengan harga murah, kemudian menjualnya ke manca negara. Beberapa perusahaan multi-nasional mengejar untung berlipat-lipat dengan cara mendatangi langsung para petani. Mereka juga yang mengatur untuk harga beli kopi di kalangan petani.

Ironisnya, para petani tak pernah punya kuasa untuk menentukan harga. Harga kopi dunia ditentukan oleh organisasi International Coffee Agreement (ICA) yang bermarkas di New York dan London. Organisasi ini yang menentukan harga, mengatur kouta perdagangan, serta segala hal menyangkut kopi. Bukankah mata rantai perdagangan ini menjadi sangat kejam ketika nasib 50 juta petani kopi dunia hanya ditentukan oleh segelitir orang di New York dan London?

Harapan di Kafe Donkey

Di tengah fakta miris tentang nasib petani kopi itu, saya tiba-tiba menemukan rasa optimisme di kafe Donkey. Kafe ini didirikan oleh aktivis bernama Chris Pyle yang mengusung misi social justice. Saat berbincang dengannya, ia menjelaskan bahwa para aktivis di Amerika menyadari benar betapa kejamnya mata rantai perdagangan kopi bagi petani. Mereka lalu berjejaring, menyebarkan informasi, lalu membangun gerakan sosial dengan cara-cara sederhana.

Mereka menolak untuk membeli kopi dari para importir kakap. Mereka membangun jaringan dengan organisasi Dean’s Bean serta TransFair USA yang kemudian mendatangi langsung para petani lokal, memberikan harga tinggi bagi petani, kemudian kopi tersebut lalu disebarkan ke beberapa kafe yang mengusung misi yang sama, sebagaimana Donkey. Kata Chris, jangan pernah mau membeli kopi dengan harga murah, sebab petani bermandi peluh demi segelas kopi itu.

kafe Donkey di Athens, Ohio
kopi Sumatra di kafe Donkey

Misi kafe yang didirikannya adalah Caffeine with Conscience diterjemahkan dengan cara membeli mahal semua produk dari petani lokal, kemudian dijual di kafe itu, lalu ampas kopi akan dikembalikan kepada petani untuk menjadi pupuk organic. Sistem kerja jaringan seperti ini diharapkan bisa memutus alur perdagangan yang tak adil itu.

Chris membuka pintu-pintu kesadaran saya tentang apa yang sedang terjadi. Ketika mengingat sistem perdagangan internasional, saya merasa geram. Saya membayangkan sebuah gurita yang membelit para petani hingga tak berdaya. Akan tetapi, ketika mengetahui langkah-langkah kecil perlawanan dari mereka yang berdiam di kafe ini saya menjadi sangat optimis. Meski dampak mereka tak seberapa besar bagi petani secara keseluruhan, tapi langkah itu menunjukkan bahwa ada setetes embun di tengah kegersangaan berita tentang para petani kopi.

Di Kafe Donkey itu, mata saya membuka. Saya melihat lebih terang tentang satu hal yang tadinya tak terlintas di benak. Saya banyak belajar dari diskusi di kafe ini, yang kemudian menginspirasi saya untuk melakukan hal serupa.

Barangkali, perubahan tak akan pernah lahir dari pembicaraan yang dilakukan di hotel-hotel berbintang atau dari ruang-ruang akademik yang penuh target dan seremoni. Perubahan selalu dimulai dari langkah-langkah sederhana yang didasari hati bening serta pikiran jernih untuk menghadirkan senyum di wajah orang lain.  Dan itu yang saya temukan di kafe itu; Kafe Donkey.


Athens, 5 Mei 2013

BACA JUGA:














2 komentar:

Azia Azmi mengatakan...

Kopi Sumatra mantap! Tidak disangka menjadi kopi termahal dan banyak disukai di Amerika. Ironis memang kopi yg dinikmati dgn harga yg mahal di kafe2 tidak memberikan keuntungan yg layak buat petani2 kopi.

Salam kenal Bang Yusran, Saya suka sekali membaca tulisan-tulisan dari blog ini :)

Yusran Darmawan mengatakan...

hallo Azia. apa abar? sy tadi berkunjung ke blogmu. sy senang bisa baca banyak hal di situ.

Posting Komentar