Mengapa Pejabat Suka Mengulang-Ulang Masa Lalunya yang Miskin?
Di sebuah aula pemerintahan yang penuh baliho dan lampu sorot, seorang pejabat kabupaten berdiri angkuh di podium. Wajahnya tersenyum, tangannya mengepal di dada. “Saya ini dulu anak miskim,” katanya, dengan jeda dramatis. “Jalan kaki ke sekolah lima kilometer, baju sobek, makan nasi garam. Tapi lihat saya sekarang, jadi kepala dinas!”
Di barisan depan, ASN muda bertepuk tangan. Tapi sebagian lainnya saling melirik. Mereka sudah pernah mendengarnya. Bahkan berkali-kali. Di pelatihan kepegawaian, saat upacara hari jadi daerah, bahkan ketika membuka lomba memasak antar kecamatan. Ceritanya tidak pernah berubah. Ia selalu membuka dengan penderitaan dan menutup dengan kejayaan.
Apa yang membuat seseorang terus menerus kembali ke masa lalunya yang pahit, meski hari ini ia telah hidup dalam segala kecukupan? Apakah itu hanya gaya retoris? Atau ada luka psikologis yang belum sembuh?
Dalam literatur psikologi, perilaku seperti ini bisa dijelaskan melalui konsep redemptive narrative. Dan P McAdams dalam The Redemptive Self menyebutnya sebagai upaya individu membangun identitas melalui alur cerita yang mengandung penderitaan awal, transformasi, dan kemenangan.
Kisah seperti ini memberi makna pada hidup. Tapi ketika ia terus diulang dan menjadi satu-satunya cerita yang diceritakan, bisa jadi itu bukan kemenangan yang dirayakan melainkan luka yang belum selesai.
McAdams menulis, “Redemptive stories often conceal as much as they reveal. They promise moral triumph but may cover up unresolved grief.” Cerita sukses, dengan kata lain, bisa menjadi cara menyembunyikan rasa sakit yang tak pernah hilang. Bukan untuk menginspirasi, tapi untuk melindungi diri dari perasaan bahwa ia pernah hina.
Cerita masa kecil penuh nestapa menjadi semacam aset emosional. Ia digunakan untuk membangun legitimasi, agar kekuasaan hari ini terasa layak. Bahkan kadang dipakai untuk menghakimi. “Saya saja bisa keluar dari kemiskinan, masa kalian tidak?” Sebuah kalimat yang terdengar memotivasi, tapi sering kali memaksa.
Di titik inilah kisah perjuangan berubah menjadi narasi hegemonik. Ia meniadakan kompleksitas struktur sosial. Ia menyederhanakan sukses seolah hanya urusan kemauan. Padahal, seperti ditulis Malcolm Gladwell dalam Outliers, keberhasilan seseorang tidak pernah berdiri sendiri. “It is grounded in a web of advantage, timing, access, and culture.”
Tidak semua anak desa punya guru yang mendukung. Tidak semua anak miskin punya kakak yang bisa membayarkan uang pendaftaran. Tidak semua orang dapat keberuntungan pada momen yang tepat. Maka ketika kisah sukses terus menerus diceritakan tanpa kesadaran akan kompleksitas itu, ia berubah menjadi cermin kesombongan terselubung.
Dalam konteks trauma, masa lalu bisa menjadi hantu yang hidup dalam tubuh kita. Bessel van der Kolk dalam The Body Keeps the Score menjelaskan bagaimana trauma masa lalu terutama yang berkaitan dengan rasa malu, lapar, atau penolakan tidak lenyap begitu saja saat keadaan ekonomi berubah. Ia menetap dalam tubuh. Dalam bahasa. Dalam cara seseorang berdiri dan dalam caranya bercerita.
“Orang bisa kaya, tapi tetap hidup dalam rasa takut menjadi miskin,” tulis van der Kolk. Dan rasa takut itu membuat mereka terus mengulang kisahnya, bukan untuk pamer, tapi untuk mengingatkan diri bahwa mereka pernah nyaris hancur dan harus selalu waspada.
Cerita itu menjadi benteng. Dinding pertahanan dari rasa rendah diri yang tak pernah benar-benar hilang. Setiap kalimat “Saya ini dulu anak gembala…” bukan sekadar nostalgia, tapi mantra untuk menenangkan diri bahwa dunia belum mengkhianatinya lagi.
Di masyarakat yang memuliakan kisah dari nol, cerita seperti itu mudah mendapat tempat. Media menyukainya. Publik mengidolakannya. Tapi di balik itu, kita jarang menanyakan apakah orang itu benar-benar sembuh dari rasa kurangnya. Atau justru hidup dalam kepanikan terselubung bahwa kejayaannya rapuh.
Pejabat itu kini menjabat dua periode. Gajinya tinggi, mobilnya mewah, namanya terpasang di baliho peresmian proyek. Tapi tiap kali naik panggung, ia tetap membuka dengan kalimat yang sama, “Saya ini dulu anak miskin…”
Ia mengulangnya bukan karena orang lain lupa. Tapi karena ia sendiri belum bisa melepaskan diri dari versi dirinya yang dulu. Luka itu tidak berdarah, tapi membentuk dirinya setiap hari. Dan kita pun bertanya dalam hati, berapa banyak pemimpin yang sesungguhnya belum selesai dengan masa kecilnya?