Beranda
/ Kisah HABIBIE di meja DON FLOURNOY
Kisah HABIBIE di meja DON FLOURNOY
![]() |
Prof Don Flournoy |
RUANGAN itu nampak sama dengan ruangan
para profesor yang mengajar di program Media Studies. Namun ada sesuatu yang
beda di ruangan itu. Saya melihat ada prasasti nama yang ditulis di atas ukiran
khas Bali. Saya lalu singgah ke ruangan itu dan melihat nama yang tertulis
adalah DON FLOURNOY. Tiba-tiba saja, pintu berderit. Seorang pria tua memasuki
ruangan itu dan tersenyum.
Saya tahu kalau dirinya adalah Prof Don
Flournoy. Beberapa hari sebelumnya, saya menghadiri kelas perdana International
Comparative of Media System yang diasuhnya. Ketika saya menyebut Indonesia pada
sesi perkenalan, matanya berbinar-binar. Hingga akhirnya ia mengundang saya
datang ke ruangannya.
“Indonesia
adalah rumah kedua saya. Saya punya banyak kenangan di negeri itu,” katanya sambil tersenyum. Ketika ia tahu
bahwa saya adalah alumnus satu perguruan tinggi di Makassar, ia lalu bercerita
tentang kunjungannya ke Makassar saat hendak membuat film dokumenter. Ia datang
ke Tana Beru, Bulukumba di akhir tahun 1980-an demi membuat dokumenter tentang
pembuatan perahu phinisi.
“Waktu
itu, saya datang untuk melakukan riset dan dokumenter tentang aplikasi kearifan
lokal pada pengembangan teknologi. Riset saya yang kemudian menjadi rekomendasi
bagi Prof Habibie untuk membikin PT PAL di Surabaya,” katanya.
Selanjutnya, kami berbincang hal yang
ringan-ringan, demi menjalin keakraban. Ia memperlihatkan sebuah majalah
bergambar artis cantik Indonesia yang berperan dalam film Matahari-Matahari. Ia lalu bertanya, “Apakah kamu mengenalnya?” Saya lalu mengangguk. “Dia salah satu mahasiswa saya,” katanya
sambil tersenyum.
Saat berbincang dengannya, saya merasakan
semangat muda yang menggelegak. Padahal, usianya sudah tidak muda lagi. Tahun
ini, ia berusia 76 tahun. Ia juga telah menempati banyak posisi, sebelum
akhirnya menjadi profesor paling senior serta berpengalaman di School of Media
Art and Studies.
Saya sangat terkesan saat melihat CV-nya yang
terdiri atas 27 halaman. Di situ tertulis daftar riset yang impresif, tulisan
jurnal yang sangat banyak, serta delapan buah buku karyanya, sebagaimana
dipajang di etalase kaca di RTV Building, tempat perkuliahan mahasiswa Media
Studies. Ia adalah profesor yang paling banyak mempublikasikan catatan jurnal. Menurut
asistennya Victor Sherrick, ia juga pandai mencari funding dan mendatangkan banyak uang ke program. Wajar saja jika
kemudian ia tetap dipertahankan meskipun usianya sepuh.
Mary Flournoy dan suaminya Don Flournoy |
Apakah ia populer di kalangan mahasiswa?
Ternyata malah tidak. Banyak mahasiswa, khususnya mahasiswa Amerika, yang tidak
tertarik belajar teknologi komunikasi. Spesialisasi Prof Don Flournoy memang
banyak berkaitan dengan teknologi informasi, seperti penggunaan satelit, energi
surya, energi terbarukan, serta optimalisasi internet untuk mengatasi kemiskinan
dan keterbelakangan. Mungkin karena dikontrak oleh NASA, ia juga mengajar
tema-tema space communication. Malah, ia menjadi pemimpin jurnal bergengsi
Online Space Journal of Communication.
Tema-tema ini tidak populer bagi mahasiswa
yang lebih suka topik seperti media dan dampak budaya. Ketika di kelas, saya
mengutip kata-kata Presiden Amerika Ronald Reagen tentang regim otoriter di
masa depan yang dikalahkan oleh kemajuan teknologi micro-chip yang memberikan
kebebasan pada masyarakat untuk berekspresi di dunia maya, ia langsung menjawab
dengan tersenyum, “Pada masa itu, Reagen tidak tahu dan tidak memprediksi seperti
apa perkembangan micro-chip.”
Ketika mengambil kuliahnya, hari-hari saya
diisi dengan disiplin ala spartan. Ia mewajibkan mahasiswa menyusun lima
makalah serta lima kali melakukan presentasi. Setiap kali saya menyetor paper
sebanyak 20 halaman, ia akan banyak memberi koreksi atau catatan. Tak ada satu
kertas pun yang bersih dari coretannya. Ia membaca semua lembar koreksi,
memberi masukan dari sisi pengayaan bahasa, lalu memberikan catatan editorial.
Ketika membuat tugas akhir, saya agak sakit
hati ketika melihat paper saya penuh dengan coretannya. Bahkan ketika saya
sudah merevisinya, sebagaimana yang diinginkannya, ia tetap mengoreksi lagi
hingga empat kali. Sepertinya, ia tahu kekesalan yang saya rasakan. Ia datang
memeluk lalu berkata, “Jangan sakit hati.
Kamu sudah bekerja keras. Saya ingin menjadi bagian dari proses penguatan
intelektualmu.” Belakangan, saya sadar bahwa ia sengaja melakukan itu demi
mengajari saya. Ia adalah tipe pengajar yang hendak mengasah disiplin, serta
mental tahan banting demi pengayaan kualitas.
Kisah Habibie
Jelang keberangkatan ke tanah air, saya
menyempatkan waktu ke ruangannya. Dari sekian ribu buku yang dikoleksinya, ia
hanya menyimpan beberapa saja di raknya. Ia mengambil beberapa buku-buku yang
bergambar Habibie. Saya lalu membuka buku tersebut. Pada beberapa buku yang
ditulis Makmur Makka tersebut, ia telah memberikan terjemahan ke dalam bahasa Inggris.
Sayang sekali karena ia belum menerbitkan hasil terjemahannya.
Ia bercerita banyak tentang Habibie serta
obsesinya pada teknologi. Ia cukup beruntung karena beberapa kali bertemu dan
Habibie dan sama-sama membahas tentang teknologi dirgantara dan kelautan. Siapa
yang mempertemukannya dengan Habibie? Muridnya sendiri, Makmur Makka, lelaki
asal Parepare, Sulawesi Selatan, yang menjadi mahasiswa Ohio University pada
tahun 1981.
Ketika bercerita tentang Makmur Makka,
mantan pemred harian Republika, ia menjadi sangat serius. Di tas ransel kecil
yang selalu dibawanya, ia memperlihatkan beberapa foto. Ternyata, ia
membawa-bawa foto Makmur Makka dan keluarganya yang memakai pakaian Bugis. Ia
berkata bahwa Makmur bukan sekadar murid
baginya.
“Saya
menganggap Makmur sebagai keluarga saya. Dia yang membuka banyak pintu ketika
saya ke Indonesia. Salah seorang keluarganya datang belajar ke sini, kemudian
saya rekomendasikan untuk lanjut program doktor ke Texas, kampung halaman saya.
Di sana, ia bertemu ibu saya,” katanya.
Hari ini, saya belajar kembali tentang makna
hubungan seorang guru dan muridnya. Saya hanya bisa menebak-nebak sedekat apa
hubungan mereka. Ketika Makmur Makka datang ke Athens, ia berstatus sebagai
mahasiswa yang kemudian belajar pada seorang profesor. Namun siapa sangka jika
hubungan itu lalu bertransformasi menjadi hubungan kekeluargaan di mana keduanya
saling menjaga silaturahmi, saling mengirim kabar tentang keadaan diri dan
keluarga masing-masing.
![]() |
bersama Prof Don Flournoy |
Saya sangat tersanjung ketika Flornoy
selalu menembuskan imelnya ke Makmur Makka ke imel saya. Dalam salah satu
imelnya, ia berkata seolah ucapan seorang ayah kepada anaknya, “Kamu belum tua. Kamu masih muda. Saya
pernah jadi gurumu, dan saya merasa selalu muda.”
Ketika saya wisuda, Prof Flournoy datang
menemui saya. Kami saling mengambil gambar lalu berpelukan. Momen-momen seperti
ini sering jadi momen yang sangat emosional. Tapi, saya tidak pernah tahu apa
yang dirasakannya ketika kami bersama-sama dan saling berpelukan.
Suatu hari, di sela-sela mempersiapkan
perlengkapan untuk berangkat, saya mengecek imel. Di situ ada imel dari
Flournoy ke Makmur Makka. Tadinya saya pikir imel ini sama dengan imel-imel
lainnya. Saat saya mengeceknya, di situ ada foto kami berdua. Ia menulis dengan
kalimat yang membuat hati saya basah, “Saya
perkenalkan kamu dengan mahasiswa saya di Ohio. Ia bukan hanya mahasiswa. Ia
keluarga saya.”
Athens, 9 Mei 2013