Indahnya Natal di Desa Kecil Amerika

 
suasana di desa Milford

DI tanah air, aku tak pernah ikut melihat perayaan natal. Dikarenakan aku lahir dan besar di masyarakat Muslim, natal tak terlalu istimewa. Aku hanya mengenalinya sebagai ritual bagi umat Kristen untuk memperingati lahirnya Kristus. Namun dua hari lalu, aku menyaksikan bagaimana Natal dirayakan di desa kecil Milford, yang terletak di Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat. Suasananya demikian hangat, akrab, serta semua orang saling menebar cinta dan kebahagiaan. Mataku berkaca-kaca. Inikah spirit Natal?

Dua hari silam, seorang sahabat mengajakku untuk ke rumahnya di Milford. Ia juga mengajak serta istri serta anakku yang baru berusia setahun. Ikut pula, pasangan asal Indonesia lainnya. Kami sama-sama berniat untuk berjalan-jalan demi mengisi waktu liburan di musim dingin (winter break). Kami sama-sama dipenuhi hasrat untuk mengetahui bagaimana denyut kehidupan di desa-desa kecil di Amerika.

Ajakan ini kusambut dengan antusias. Aku teringat penulis Paolo Coelho. Dalam bukunya yang berjudul Like the Flowing River, ia mengatakan bahwa untuk mengetahui denyut nadi suatu masyarakat, Anda tak perlu mengunjungi museum atau bangunan bersejarah. Anda mesti bergaul dan hidup bersama masyarakat itu, mengikuti kebiasaan mereka, berdialog berbagai topik, dan -kalau perlu-tinggallah di rumah mereka demi mengetahui denyut nadi percakapan mereka.

Sebagai Muslim, awalnya aku ragu. Namun, kupikir bukankah akan sangat menarik jika aku melihat langsung bagaimana masyarakat memandang peristiwa religius itu, bagaimana mereka menggelar ritual lalu memaknainya secara bersama-sama? Bukankah ini akan menjadi pengalaman hebat yang akan mengayakan perjalanan spiritual yang kutempuh? Aku sedang belajar bahwa semua manusia sedang bergerak untuk menggapai kesempurnaan. Dan agama adalah salah satu jalan terang menuju kesempurnaan itu.

Dengan pikiran positif, kami lalu bergegas menuju Milford. Wilayah ini terletak di perbatasan antara negara bagian Ohio dan Kentucky. Dahulu, Milford hanyalah hutan lebat. Namun sejak kedatangan para imigran asal Jerman dan Irlandia, wilayah ini menjadi ramai. Rumah-rumah rimbun di tengah hutan belukar. Sebagai desa kecil, hampir semua warga Milford saling mengenal. Mereka hidup dalam satu ikatan kekeluargaan yang cukup kuat.

Di malam Natal, keluarga yang kudatangi itu menggelar acara makan-makan. Aku melihat puluhan orang berkumpul di rumah seorang nenek bernama Mary Shue Villardo. Meskipun usianya adalah 75 tahun, namun ia sangat energik. Ternyata, seluruh tetangga dan keluarganya akan selalu berkumpul di setiap malam Natal.Momen ini menjadi momen untuk saling mengenal serta meng-update kembali ikatan kekerabatan di antara mereka.

pohon natal di Cincinnati
pohon natal di satu rumah

Ketika rombonganku datang, kami disambut dengan meriah. Tanpa bertanya tentang siapa dan latar belakang kami, semua orang memeluk kami dengan hangat. Mereka langsung menganggap kami sebagai keluarga. Anakku dipeluk banyak orang di situ. Mereka ikut gelisah ketika anakku menangis. Mereka bertanya, apa yang kubutuhkan. Bahkan mereka menyiapkan satu kamar sebagai tempatku untuk beristirahat. Benar-benar sebuah keramahan yang mengagumkan.

Aku melihat seorang pemuda yang mengalami keterbelakangan mental dan ikut bergabung. Yang menakjubkan, semua orang mendengarkan kisahnya dengan antusias, tanpa sekalipun menginterupsinya. Orang-orang memberikan apresiasi, memposisikannya sama dengan orang lain, lalu di akhir acara, semua saling berpelukan hangat dan saling mendoakan. Betapa bedanya dengan perlakuan beberapa orang dari masyarakat kita yag sering mengabaikan orang lain hanya karena dianggap tdak pintar atau tidak kaya.

Ketika ikut dalam perbincangan mereka, pikiranku seakan dibasahi oleh kearifan-kearifan baru. Masyarakat Amerika yang sedang kutemui dan berbincang ini amat berbeda dengan gambaran yang muncul dalam berbagai film Hollywood. Mereka yang kutemui ini adalah mereka yang melihat sesuatu dengan pandangan optimis, menghargai yang lain, serta tak henti-hentinya memberikan motivasi.

Usai berbincang dan makan-makan, sesi selanjutnya adalah saling memberikan hadiah. Semua yang datang lalu memberikan hadiah bagi nenek itu, lalu membisikkan kalimat-kalimat bahagia. Nenek itu beberapa kali mengucap syukur sambil berucap bahwa dirinya adalah orang paling bahagia sedunia. Setelah itu, ia pun memberikan hadiah kepada semua orang yang diterima dengan penuh kebahagiaan.

Keesokan harinya, mereka lalu bersama-sama pergi ke gereja. Di depan gereja, aku menyaksikan patung-patung yang mengisahkan kelahiran Yesus Kristus. Usai ibadah, semua orang akan saling menyapa, mengembangkan senyum, sambil berucap “Merry Christmas.” Aku tiba-tiba saja teringat dengan suasana Lebaran di kampungku, ketika semua orang memberikan tatapan hangat, lalu mengulurkan tangan demi meminta maaf.

anakku Ara menangis saat menerima hadiah
istriku ikut membuat salad di dapur
keakraban di meja makan

Selanjutnya, aku lalu diajak ke rumah seorang ibu bernama Emily Rich. Di sini, istriku Dwi ikut menyiapkan masakan bersama Emily. Selanjutnya, kami makan bersama. Aku menyenangi perbincangan di meja makan. Sebab di situ, semua orang saling menghargai dan mendengarkan cerita masing-masing. Di situ, aku banyak belajar dari cara-cara mereka yang memperlakukan selua orang sebagai bagian dari keluarga sendiri.

Usai makan, selanjutnya adalah pemberian hadiah. Kembali aku terkejut sebab pada malam hari, acara pemberian hadiah telah dilakukan. Ternyata, keluarga Emily telah menyiapkan hadiah khusus untuk kami. Bahkan anakku Ara pun mendapatkan hadiah boneka cantik yang disukainya.

Berbagi Kasih

Dua hari bersama keluarga Katolik di Cincinnati menjadi dua hari yang membuka mataku untuk melihat sesuatu dengan jernih. Aku menyukai ritual untuk saling memberikan hadiah. Bagiku, itu adalah momen untuk menunjukkan rasa perhatian sekaligus pernyataan bahwa semua orang adalah penting dan pantas mendapatkan hadiah.

Nilai materi hadiah itu mungkin tak seberapa. Namun keikhlasan, ketulusan, serta perhatan yang tertera di situ adalah sesuatu yang tak ternilai. Aku menyaksikan bahwa cinta pada sesama adalah nilai-nilai universal yang kemudian menjaga hati semua orang untuk selalu bertaut. Aku menyaksikan bahwa kasih sayang pada sesama adalah jantung dari sehatnya satu komunitas. Ketika anggota satu komunitas saling menyayangi, mereka akan menjadi satu kesatuan yang utuh. Mereka akan saling membantu, serta memperhatikan, demi menjaga satu sama lain.

foto bersama

Aku adalah seorang Muslim yang bahagia menyaksikan Natal. Aku bahagia menyaksikan spirit komunitas. Bagiku, seringkali kita terbatas oleh berbagai kategori -yang kita ciptakan sendiri- saat menilai orang lain. Dahulu kuanggap bahwa masyarakat Amerika adalah masyarakat yang angkuh dan kehilangan kehangatan keluarga. Ternyata, anggapan itu tak selalu benar. Mereka tetap berbagi cinta, dengan caranya sendiri-sendiri.

Mereka juga belajar padaku untuk melihat orang-orang Indonesia tidak sebagaimana berita yang mereka saksikan di media. Media di Amerika sering mencitrakan Indonesia sebagai negeri penuh konflik dan huru-hara. Mereka belajar bahwa Indonesia pun memiliki keramahan khas sebagaimana halnya mereka, keramahan dari negeri yang aroma rempah-rempahnya telah menyengat nenek moyang mereka.

Apakah makna Natal? Aku bukan seorang yang belajar teologi. Aku tak layak mendefinisikannya. Aku seorang pembelajar ilmu sosial yang melihat sesuatu secara bebas. Di Milford, aku melihat bahwa Natal menjadi sebuah momen, dari sekian banyak momen, untuk memelihara kasih, menebar benih-benih kasih sayang kepada sesama, lalu menguatkan kesadaran kemanusiaan untuk saling berbagi. Natal adalah pucuk-pucuk cemara bahagia yang di atasnya bersinar bagai bintang, lalu menerangi satu komunitas. Itu yang kusaksikan di Milford.


Athens, Ohio, 26 Desember 2012

BACA JUGA:














1 komentar:

Eko Marwanto mengatakan...

Tulisan yang sangat menarik dan menginspirasi. Boleh sesekali kita main agak jauh. Untuk melihat dunia, dunia yang sangatlah luas dengan berbagai fenomena dan keindahannya.

Posting Komentar