Seni Mengecoh Oposisi: Dari Roy Suryo Hingga Slavoj Zizek
Amerika Serikat membutuhkan perang bernilai miliaran dolar di Timur Tengah dan Ukraina untuk meredam kritik terhadap ekonomi yang limbung. Tapi Indonesia tak perlu sejauh itu. Di sini, cukup melepas seorang Roy Suryo untuk mencuit, satu negeri bisa gaduh.
Cuitan itu menyambar ruang-ruang digital seperti petasan. Grup percakapan riuh. Semua orang mendadak jadi ahli digital forensik. Televisi berlomba-lomba memanggil komentator. Dan publik tersedot dalam pusaran perdebatan yang tak menyentuh akar.
Di saat yang sama, ekonomi nasional terseok. Angka PHK melonjak. Di pelosok, pemerintah daerah megap-megap karena anggaran mereka tersedot untuk program makan siang gratis. Dana desa dialihkan ke proyek-proyek populis bernama Koperasi Merah Putih dan Sekolah Rakyat. Di banyak tempat, suara petani dan guru honorer terkubur diam-diam oleh selebrasi ilusi.
Sementara itu, Roy Suryo tetap tersenyum. Ia tampil di layar kaca, melontarkan tuduhan atas nama keilmuan, padahal melabrak prosedur ilmiah. Mengaku aktivis, tapi sibuk membedah selembar gambar, bukan mendengarkan jerit rakyat.
Dan ketika semua mata tertuju pada kontroversinya, muncullah pertanyaan yang nyaris luput: bukankah ekonomi kita sedang tidak baik-baik saja?
Inilah yang oleh Slavoj Žižek, filsuf nyentrik dari Slovenia, disebut sebagai pseudo-activity—aktivitas palsu yang memberi ilusi perlawanan, padahal hanyalah pelarian dari kenyataan. Kita merasa sedang bergerak, padahal hanya sibuk memperdebatkan simbol, bukan substansi. Kita merasa sedang melawan, padahal tengah larut dalam distraksi massal.
Alih-alih mengurai ketimpangan, kita sibuk mempercakapkan ucapan yang lepas. Bukannya membedah struktur kekuasaan, kita malah terpukau oleh drama kecil yang tak menyentuh akar. Roy Suryo tak perlu benar. Ia hanya perlu menciptakan bunyi. Dan negeri ini, yang makin letih mencari makna, akan menyambutnya dengan gegap gempita.
Mungkin, jika Žižek melihat apa yang terjadi hari ini, ia akan tertawa getir. Bukan karena Roy Suryo adalah antagonis, melainkan karena ia adalah gejala zaman. Sebuah zaman yang lebih peduli pada gesture daripada struktur.
Yang lebih sibuk mengatur pencitraan daripada mengungkap kenyataan. Kita terperangkap dalam lingkaran pertunjukan yang tampak progresif, tapi miskin refleksi.
Roy Suryo tampil seolah penyelamat. Dr. Tifa dan Rismon datang membawa narasi moral. Tapi semakin panjang narasi itu dikumandangkan, semakin samar esensi yang hendak disuarakan: apakah ini bentuk oposisi yang sejati? Ataukah sekadar peran dalam sandiwara besar bernama demokrasi formal?
Oposisi yang sejati tidak terletak pada siapa yang paling keras bicara. Ia ada pada siapa yang paling jujur mendengar. Ia lahir bukan dari panggung konferensi pers, tapi dari lorong-lorong sunyi tempat ketidakadilan menjelma rutinitas. Oposisi bukan hanya soal retorika, tapi keberanian untuk menyelami kenyataan dan menggugatnya dengan tekun.
Di negeri ini, suara-suara penting justru tertimbun polemik. Nasib petani yang tergusur, suara buruh yang dirumahkan, anak-anak yang putus sekolah—semuanya terpinggirkan. Kritik berubah jadi konten. Perlawanan menjelma tontonan. Dan di balik segala keramaian itu, kejujuran perlahan menghilang.
Roy Suryo dan kawan-kawan bisa saja mengaku membela demokrasi. Tapi benarkah mereka sedang menggugat ketimpangan? Ataukah mereka hanya sedang menari di atas simbol yang mudah dijual, sembari menutup mata terhadap luka yang sesungguhnya?
Dan publik—mereka yang dulu menaruh harapan pada oposisi—pelan-pelan dilanda letih. Di balik layar ponsel, mereka bertanya dalam diam: untuk siapa semua ini? Apakah untuk rakyat? Ataukah hanya untuk membangun panggung?
Dalam keheningan pertanyaan itulah harapan berubah menjadi skeptisisme.
Maka, mari kita jeda sejenak dari sorak-sorai. Mari kita dengar suara lirih yang tak muncul di berita utama. Yang tak trending di media sosial. Di sanalah panggilan sejati oposisi bersemayam: bukan untuk tampil, tapi untuk bertanggung jawab. Bukan untuk menggugah emosi sesaat, tapi untuk membangun kesadaran yang teguh.
Karena bila seluruh perlawanan hanya untuk tampil di panggung, maka kita sedang tidak melawan. Kita sedang bermain peran. Dan itu bukan perjuangan. Itu seni mengecoh.
Perlawanan sejati lahir dari keberanian menolak jadi aktor dalam panggung kekuasaan yang palsu. Ia bukan pertunjukan yang menanti tepuk tangan. Ia adalah luka yang dibalut diam-diam, adalah langkah yang tetap berjalan meski tanpa sorotan.
Ketika oposisi lebih sibuk menyusun narasi ketimbang mendengar derita, ia telah berubah dari nurani menjadi noise. Ia telah lupa bahwa tugasnya bukan menambah keramaian, tapi menyuarakan kebenaran yang sering diabaikan.
Di tengah era algoritma, ketika setiap kata bisa dikapitalisasi dan setiap kontroversi bisa dijadikan komoditas, perjuangan berubah jadi teater. Para politisi, aktivis, bahkan sebagian akademisi, kerap lebih memikirkan citra daripada substansi.
Mereka menciptakan konflik yang bisa dijual, bukan solusi yang bisa dirawat. Dan publik, seperti penonton setia, ikut terjebak dalam alur cerita yang berulang-ulang: gaduh, viral, lalu hilang.
Bila semua ini hanya soal penampilan, maka yang kita lihat bukan oposisi, tapi performansi. Kita tak sedang membongkar sistem, kita hanya memahat persona. Kita tak sedang bertarung demi keadilan, kita hanya sedang memburu perhatian.
Inilah ironi zaman ini: ketika yang tampak melawan, justru sedang memelihara sistem yang hendak digugatnya. Maka, jika kita tak waspada, kita semua—penonton, pelaku, bahkan korban—bisa jadi bagian dari drama panjang yang tak pernah usai.
Drama yang terus berjalan, bukan untuk perubahan, tapi demi kelangsungan panggung itu sendiri. Dan dalam seni semacam itu, yang kalah bukan hanya kebenaran—tapi juga harapan.