Orang boleh pandai setinggi
langit, tapi selama ia tidak menulis,
ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah..”
- Pramoedya Ananta Toer
DI tanah air kita, terdapat ribuan
perguruan tinggi, terdapat jutaan sarjana yang dilahirkan setiap tahun, tapi
mengapa tak banyak lahir buku-buku yang meramaikan dunia literasi? Di tanah air
kita terdapat begitu banyak para pengamat yang wara-wiri di televisi, mengapa
mereka tak melahirkan banyak petikan pemikiran yang dijerat dalam aksara, yang bisa
tersimpan abadi dan kelak bisa diakses publik di masa kini dan masa depan?
Berikut, sepuluh persoalan yang sering
dihadapi oleh orang-orang yang tak kunjung menghasilkan satu karya.
Pertama, adanya hasrat untuk melahirkan
karya-karya hebat.
Saya sering menemukan alasan ini pada
beberapa sahabat. Ternyata banyak yang berkeinginan kalau setiap karya harus
punya kualifikasi hebat dan kelak akan dibicarakan banyak orang. Seorang
sahabat peneliti selalu bermimpi untuk melahirkan karya selevel yang dibuat
akademisi James Scott ataupun Benedict Anderson. Ia tak kunjung bisa melahirkan
karya tulis, sebab selalu menganggap karyanya buruk dan tidak setara dengan
karya James Scott. Ia minder dengan apa yang ditulisnya sendiri.
Harusnya kita memosisikan setiap karya sebagai cara bertutur ataupun medium untuk
menyampaikan sesuatu. Peneliti sekelas James Scott pun memiliki proses yang
cukup panjang untuk bisa melahirkan karya-karya besarnya. Lagian, setiap orang
tidak dilahirkan untuk serupa yang lain. Kita tak terlahir dengan misi untuk
melahirkan hal-hal hebat dalam sejarah. Boleh jadi, kita hanya melahirkan
hal-hal yang dianggap biasa, namun hal itu justru menjadi berlian bagi siapapun
yang ingin memahami satu hal secara mendalam. Setiap karya punya takdir
masing-masing, tergantung posisi yang membaca karya itu.
Kedua, ketidaksiapan menghadapi sikap nyinyir orang lain.
Amat sering saya temukan
ketakutan-ketakutan dalam diri terhadap sikap nyinyir orang lain. Masyarakat
kita tak terbiasa mengapresiasi apapun yang dihasilkan orang lain. Yang
seringkali muncul adalah sikap sinis, atau malah mencaci orang lain yang
melahirkan sesuatu.
Sejak dulu, saya beranggapan bahwa mereka
yang suka mencaci atau sinis pada karya orang lain bukanlah penulis sejati. Saya
malah menduga kalau pencaci itu tak pernah melahirkan apapun. Mengapa? Sebab
seorang penulis pasti paham bahwa setiap karya lahir dari proses yang tidak
mudah. Ada proses belajar, merumuskan topik penting, lalu melahirkan karya
tulis. Prosesnya seringkali panjang dan boleh jadi ‘berdarah-darah.’ Tak ada guna untuk nyinyir atas satu karya, jauh lebih penting mengapresiasi proses yang
dilalui seseorang, setelah itu menyerap hal-hal baik yang dilahirkan orang
tersebut.
Ketiga,
ketidaksiapan menghadapi debat atau kritik dari banyak orang.
Ada saja yang tak sabar menghadapi kritik
ataupun debat atas karya itu. Sering saya temukan di internet, komentar tentang
satu karya yang dianggap buruk dan gagal paham atas persoalan yang dibahas.
Yang sering terjadi bukanlah satu debat publik yang mencerdaskan serta
memberikan catatan-catatan untuk perbaikan karya. Yang muncul adalah kritik
pedas yang serupa pedang lalu menebas-nebas semua hal baik yang ditulis
seseorang. Kritik seringkali dilandasi oleh tendensi emosional.
Apapun itu, para penulis selalu melangkah
lebih maju dari para pendebat. Para penulis memiliki nyali untuk menampilkan
karyanya di hadapan publik untuk kemudian dilihat dari berbagai perspektif.
Mereka lebih punya nyali dibandingkan para pendebat, yang seringkali tak pernah
melahirkan apapun. Bagi penulis yang berjiwa besar, semua kritikan itu akan
menjadi nutrisi yang semakin menyuburkan kemampuan menulisnya. Ia akan menyerap
energi kritik di sekitarnya demi melahirkan satu karya yang jauh lebih baik di
masa depan. Ia terus menyempurna.
Keempat, terlampau banyak ekspektasi
(pengharapan) atas setiap karya tulis.
Para penulis pemula selalu ingin membuat
karya yang berkategori best seller. Selalu saja menginginkan karyanya dihargai
tinggi oleh publik. Ketika publik menilai karya itu biasa saja, semangat
langsung down. Tak ada lagi niat melahirkan satu karya. Padahal, ketinggian
satu karya tidak pernah bergantung pada penilaian publik. Malah, publik sering
menyandung karya-karya dengan kualitas biasa saja. Selera publik mudah dibentuk
oleh iklan, atau barangkali gaya kepenulisan tertentu.
Idealnya, setiap penulis menerima setiap
tulisan apa adanya. Ia mesti memahami bahwa setiap tulisan memiliki takdir
sendiri-sendiri. Tugas setiap tulisan adalah mengalirkan gagasan, sekaligus
menjadi cara untuk menyampaikan pesan ke hadapan publik. Apakah pesan itu
sampai diapresiasi publik atau tidak, itu soal lain. Tugas seseorang adalah
melahirkannya dnegan susah payah, lalu membesarkan gagasan itu secara terus-menerus
untuk memperkaya pengetahuan serta menginspirasi orang lain.
Kelima, adanya hasrat ingin kaya dan
terkenal melalui tulisan.
Ada saja orang yang beranggapan melalui
tulisan maka dia akan sekaya dan seterkenal Andrea Hirata. Padahal,
kenyataannya tidak selalu demikian. Di tanah air kita, sangat jarang ditemukan
seorang penulis yang kaya-raya berkat buku-bukunya. Sebagaimana dicatat
sastrawan Korrie Layun Rampan di satu media, nasib para penulis adalah nasib
para penyepi yang setidak segemerlap karyanya. Mereka seringkali tidak menerima
banyak pemasukan, meskipun bukunya laris. Mengapa? sebab honor itu terkait
banyak hal, mulai dari perjanjian dengan penerbit, biaya distribusi, hingga
pemasukan toko buku.
Tapi yakinlah, ada banyak keuntungan lain
yang didapatkan dari menulis. Meskipun keuntungan dari penjualan tak seberapa,
seseorang bisa menguatkan personal branding-nya sehingga dianggap menguasai
satu kecakapan tertentu. Ia akan dikenal banyak orang, dan seringkali mendapatkan berkah
tak terduga. Ia akan dianggap punya banyak kelebihan dibandingkan mereka yang
tak menulis. Pada titik ini, setiap karya ibarat etalase pengetahuan yang lalu
dilihat banyak orang. Percayalah, ada banyak hal baik yang didapatkan melalui
menulis. Mulai dari jaringan pertemanan yang tetap terjaga, banyaknya sahabat
dan pembaca yang berinteraksi di berbagai kanal social media, serta perubahan
sosial yang dipicu oleh tulisan kita.
Keenam, merasa tidak punya waktu untuk
menulis.
Yang sering saya temukan, alasan tidak
punya waktu ini seringkali tak berdasar. Coba refleksi pengalaman sehari-hari.
Berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk bekerja, bergosip, atau melakukan
hal-hal yang tidak penting. Di luar negeri, masyarakat terbiasa fokus bekerja,
namun setelah itu bisa fokus untuk rehat. Menulis bisa dilakukan di sela-sela
itu. Tanyalah diri masing-masing. Berapa lama waktu kita yang terbuang untuk
sekadar obrolan ngalor-ngidul atau sekadar hangout bareng teman-teman. Memang
itu, penting juga, tapi kalau diarahkan untuk menulis, banyak hal hebat yang
bisa dilahirkan.
Menulis tak membutuhkan waktu khusus. Dia
bisa dilakukan saat sedang marah, santai, senang, atau saat lagi bahagia. Bisa
pula dilakukan saat sedang menonton tivi. Jadikan aktivitas menulis itu semudah
membuat status di facebook. Yang terpenting adalah meluangkan waktu sejenak
untuk mengetik kata demi kata, lalu diteruskan hingga menjadi kalimat dan
paragraf, lalu berlembar-lembar. Prosesnya sederhana. Dimulai dari menyempatkan
waktu sejenak.
Ketujuh, menganggap kegiatan menulis hanya
untuk para doktor.
Banyak yang beranggapan bahwa menulis itu
membutuhkan “teknik tingkat tinggi.” Hanya para doktor dan akademisi yang bisa
mencapai level itu. Ditambah lagi anggapan kalau menulis itu membutuhkan
kualifikasi akademik tertentu. Seolah-olah, hanya kelompok tertentu yang bisa
menulis lalu melahirkan karya-karya besar yang lalu dibaca banyak orang.
Padahal, menulis telah lama menjadi
kegiatan yang bisa dilakukan siapa saja. Tahukah anda bahwa kebanyakan blogger di
Indonesia adalah ibu rumah tangga? Mereka menulis di sela-sela kegiatan di
rumah dnegan kualitas yang seringkali lebih baik dari orang yang berumah di
perguruan tinggi. Siapapun anda, selagi anda mau menulis, maka pastilah akan
bisa. Anda hanya membutuhkan motivasi bahwa anda sanggup melakukannya. Itu
saja.
Kedelapan, kesulitan memulai kalimat.
Pernah, saya menyaksikan, seorang sahabat terus-menerus
menghembuskan asap rokok sambil menatap layar komputer saat hendak menulis.
Hingga dua jam, tak ada satu baris aksarapun yang dihasilkannya. Mengapa? Sebab
ia kesulitan hendak memulai tulisannya sendiri. Ia tidak tahu hendak mulai dari
mana dan bagaimana caranya menyusun kalimat, argumentasi, dan gagasan.
Yang harusnya dilakukan adalah menjadikan
tulisan itu sebagai kegiatan bertutur yang simpel. Anggap saja sedang berbicara
dengan seseorang. Mulailah dengan hal-hal yang sederhana, yang kira-kira akan
membuat orang-orang penasaran. Buat orang lain penasaran, lalu tanpa sadar
mengikuti gagasan anda hingga tuntas. Buatlah menulis itu jadi kegiatan yang
menyenangkan, serta membahagiakan. Percayalah, segalanya akan mudah.
Kesembilan, kesulitan menjaga konsentrasi
dan fokus.
Satu atau dua paragraf telah dituliskan.
Tapi, mood langsung berubah. Seseorang langsung didera rasa malas untuk
melanjutkan tulisan itu. Kelamaan menunda akhirnya, tulisan itu “berdebu”. Akhirnya,
tulisan itu tak pernah selesai. Problem yang sering menghantui para penulis
adalah hilangnya konsentrasi atau fokus dalam menulis.
Menulis itu ibarat mengikuti lomba lari
marathon. Jangan habiskan energi anda di awal-awal ketika mulai melesat. Atur
napas dan ritme. Yakinkan diri kamu bahwa jarak sejauh puluhan kilometer itu
akan bisa digapai. Untuk itu, fokus dan pengaturan energi menjadi penting bagi
setiap penulis. Bagaimana jika mood hilang? Banyak cara untuk mengembalikannya.
Tinggalkan kegiatan menulis, lalu lakukan hal lain. Baca buku, tonton film,
ataupun berbincang-bincang dengan orang lain. Dengan cara demikian, wawasan
akan semakin luas, perspektif semakin kaya, sehingga melihat satu hal dari
berbagai perspektif.
Kesepuluh, sikap merasa mapan dan tidak
mau berkembang.
Sikap merasa cepat mapan ini menghinggapi
banyak penulis. Makanya, tulisan mereka tak pernah berkembang, alias jalan di
tempat. Sikap merasa mapan ini biasanya ditandai sikap cepat puas atas hasil
karya, tanpa mau mengasah diri untuk membuat karya itu lebih baik. Jika ingin
terus berkembang, maka seseorang harus terus membuka diri pada berbagai
perkembangan baru sembari terus mengisi tulisannya dengan berbagai energi baru
yang diharapkan bisa membuat tulisan itu lebih bertenaga.
Menulis harus dilihat sebagai proses untuk
terus menyempurnakan diri. Makanya, segala masukan dan kritik ataupun apresiasi
harus diubah menjadi nutrisi yang membuat perjalanan kepenulisan seseorang
menyempurna. Niatkan tulisan sebagai cermin diri untuk terus berkembang, serupa
tunas yang lalu tumbuh dan menjadi pohon rindang. Pada titik tertentu, menulis
menjadi ajang pembelajaran yang paling mengasyikkan, hingga akhirnya seseorang
tiba-tiba saja berada di ketinggian, tanpa disadarinya.
Anda mengalami kesulitan dalam menulis?
Yuk, kita bisa belajar bersama.
Bogor, 4 Februari 2016
BACA JUGA:
12 komentar:
Dari kesepuluh alasan itu bisa dibalik menjadi sepuluh alasan untuk mau menulis. Makasih mas..
betul sekali. anda temukan tujuan dari tulisan ini.
Bermanfaat sekali. Terimakasih sharingnya mas.
sama-sama.
Yeiyyy, saya bisa baca dari awal sampe akhir.
Kalau saya karena tidak punya waktu mas. Terus gak fokus. Selalu berakhir menunda dan menunda.
Berharap sekali menulis langsung sempurna. Mengalir dan enak dibaca.
Mau bertanya mas. Sering kali saya mengalami hal-hal yang ada ditas tersebut, tetapi sudah cukup penjelasan dari tulisan diatas. Yang mau saya tanyakan adalah apakah penulis pemula butuh tandem untuk mereview hasi menulisnya? Terima kasih
biasanya sih, kalau suka membaca sesuatu, pasti akan mudah menulis. mungkin anda hanya butuh sering2 menulis. itu saja.
tergantung orangnya. kalau tandemnya bagus dan suka kasih masukan konstruktif, tentunya akan sangat bermanfaat. tapi kalau tandemnya malah sering ngasih kritik pedas yang bisa membuat down, mending tulis sendiri saja.
Saya baru membuat tulisan2 ringan, sy berharap kanda mw melihat tulisan2 sy...
Menarik dan menginspirasi. Thanks.
Duh, aku bukunya masih keroyokan bang :(
Impian punya kryatulis dlu d taon 2011.. Pupus krna tdk fokus dan tdk memahami 9 alasan lain.. Kini barasa sprti dkomporin lgi.. Smoga panasnya kali ini tdk sprti tai ayam.... ;)
Posting Komentar