Tragik Sarwo Edhie, Pekik Aidit



TERCENUNG seusai membaca liputan Tempo tentang Sarwo Edhie dan Aidit. Keduanya sama-sama punya visi tentang bangsa ini. Keduanya sama-sama punya mimpi untuk bangsa yang lebih baik, bangsa tanpa penindasan. Tapi sejarah mencatat mereka dengan cara berbeda. Satu pahlawan dan satu pecundang.

Kini, puluhan tahun setelah tragedi itu berlalu, apakah gerangan yang telah terjadi? Apakah Sarwo Edhie berhasil menggapai semua kemegahan yang diperoleh para pemenang? Dan apakah Dipa Nusantara Aidit dan seluruh keluarganya benar-benar terbenam dalam sumur tua, yang dahulu menjadi saksi saat lelaki itu ditembak mati dan terkubur di situ?

***

LELAKI itu Sarwo Edhie Wibowo. Pada tahun 1965, ia memimpin Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) serta pasukan khusus yang menggelar operasi untuk menyingkiran semua orang yang berhaluan komunis. Ia menyisir desa-desa, menggalang aliansi dengan berbagai gerakan pemuda, lalu memimpin operasi yang mengeksekusi siapapun yang pernah bersentuhan dengan organisasi komunisme.

Terhadap semua eksekusi pada kaum komunis, yang disebut sejarawan Robert Cribb sebagai peristiwa pembunuhan massal terbesar, ia menganggapnya sebagai tugas negara. Ia berpikir bahwa tindakan penyisiran dan operasi itu dilakukan sebagai bentuk kecintaan pada nusa dan bangsa, sekaligus pelampiasan kesal atas kematian sahabat seperjuangannya Jenderal Ahmad Yani, yang pernah menyodorkan namanya untuk menjadi Komandan Kopassus.

Tak dihiraukannya berbagai kisah pilu tentang mereka-mereka yang kehilangan hak hidup, serta keluarga yang hendak bertahan hidup di tengah stigma negatif yang dilabel negara. Negara, yang dibelanya mati-matian itu, tak peduli dengan nasib keluarga korban yang dinistakan oleh dunia sosial. Keluarga korban itu serupa kerakap yang berusaha tumbuh di tengah batu.

Setelah tragedi itu berlalu. Soeharto, tuan besar yang dilayani Sarwo Edhie, telah duduk di singgasana kekuasaan. Sarwo Edhie sedikit banyak berharap bisa menuai buah manis dari apa yang pernah ditanamnya. Sayang, ia dianggap bisa mengancam eksistensi penguasa tunggal itu. Sarwo Edhie perlahan-lahan menerima takdir sebagai orang kalah. Ia dicopot dari posisi Komandan RPKAD. Ia lalu ‘dibuang’ ke Medan lalu ke tanah Papua untuk memegang jabatan tertentu. Setelah itu, ia kembali ‘disingkirkan’ ke Korea Selatan sebagai duta besar. Terakhir, ia ‘diparkir’ dalam jabatan tidak penting di pemerintahan. Ia disingkirkan dari tatap mata Soeharto.

Gerakannya dikunci agar tidak bisa menggalang kekuatan, sesuatu yang merupakan keahliannya. Sarwo Edhie memang sukses dalam berbagai operasi. Tapi ia sempat mengecewakan Soeharto, yang mengetahui rahasianya ketika diam-diam menemui Soekarno saat peristiwa G.30S meletus. Tindakan itu dianggap sebagai pembangkangan diam-diam yang di masa depan bisa mengancam Soeharto. Setelah oeprasi yang dipimpin Sarwo sukses, Soeharto menuduhnya hendak melakukan makar. Ia disingkirkan dari arena keprajuritan, arena yang sangat dicintainya.

Apakah ia seorang pemenang?

***

LELAKI itu Dipa Nusantara Aidit. Ia menjadi pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) pada usia 31 tahun. Partainya itu menjadi salah satu partai komunis ketiga terbesar di dunia dengan anggota 3,5 juta orang. Ia memimpikan adanya revolusi sosial untuk membangitkan kaum miskin. Ia ingin melihat Indonesia tanpa kelas. Ia menginginkan ‘jalan baru yang harus ditempuh untuk memenangkan revolusi.’ Ia ingin Indonesia jadi negara komunis, negara tanpa kelas, negara yang warga kaya menyubsidi warga miskin, negara tanpa penindasan pada kaum miskin, negara para petani, negara kaum proletar.

Sayang, prahara telah menghempaskan dirinya. Partai yang dipimpinnya dituduh hendak melakukan kudeta. Ada dendam yang memenuhi langit udara. Aidit dituduh bertanggungjawab pada satu peristiwa besar yakni pembunuhan tujuh perwira tinggi militer. Atas dasar itu, ribuan pendukung Aidit lalu dibunuh juga secara keji, ribuan lainnya ditahan, ribuan orang juga dinistakan hidupnya.

Di Boyolali, Aidit ditangkap, lalu dibawa ke sumur tua. Saat ditanya tentang keinginan terakhirnya, ia memilih untuk berpidato dan mengeluarkan pekik tentang Indonesia tanpa penindasan. Dor! Senjata menyalak. Aidit dibuang di sumur tua itu, tanpa pernah didengarkan penjelasannya. Andaikan ia disidang dan diadili, pastilah ada banyak kesaksian mengejutkan tentang versi lain peristiwa besar itu.

Negara, yang dibangun dari cita-cita kemerdekaan itu, lantas menanam dendam. Keluarga Aidit berpencaran. Istrinya, dokter akupuntur pertama di Indonesia, dijebloskan ke dalam tahanan selama beasan tahun. Adik serta keluarganya banyak yang bertebaran di luar negeri dan kehilangan kewarganegaraan. Betapa tak mudahnya menyandang hidup sebagai seorang yang dituduh keji. Betapa beratnya dituduh sebagai pemberintak dan pengkhianat yang lalu dinistakan. Tapi ajaibnya, mereka bertahan hidup dengan segala masalah yang mendera.

***

Sarwo Edhie dan Aidit berdiri di kutub yang berbeda. Yang satu adalah pemenang, yang satu lagi adalah pecundang. Tapi bagaimanakah kita mendefinisikan siapa pemenang dan pecundang? Faktanya, setelah peristiwa itu, Sarwo Edhie tak pernah bisa masuk ke jantung kekuasaan. Ia juga disingkirkan Soeharto, yang tak ingin ada matahari kembar di republik ini. Kariernya tak pernah beranjak naik.

Pada akhirnya, kemenangan itu serupa rasa haus yang diatasi oleh air laut. Haus itu tak akan pernah teratasi. Tuduhan makar yang disematkan Sarwo Edhie pada banyak pihak itu akhirnya tersemat pada dirinya. Kecemerlangan operasinya menjadi kisah yang hanya heroik dikisahkan pada orang buta sejarah, namun tak bernilai di mata jenderal besar yang dilayani Sarwo. Konon, jenderal besar itu mendapat wahyu keprabon bahwa Sarwo Edhie akan menjadi pemimpin berikutnya. Ternyata wahyu itu justru jatuh ke trah Sarwo yakni menantunya.

Yang bisa dikenang dari peristiwa 1965 adalah konspirasi politik tingkat tinggi yang kemudian dampaknya dirasakan jutaan orang. Telah banyak sejarawan menilai bahwa peristiwa itu sesungguhnya bermula dari hasrat sedikit orang yang ingin menggenggam ‘tanah air pusaka abadi nan jaya.’ Demi hasrat itu, stigma disematkan, dendam dibalaskan secara keji, lalu banyak orang dihilangkan hak-hak hidupnya demi memuluskan hasrat dan pesanan dari sosok yang penuh hasrat itu.

Yang bisa dikenang dari masa itu adalah kesedihan yang menikam-nikam diri saat menyadari bahwa banyak anak bangsa dibunuh karena memiliki posisi politik berbeda. Padahal, kesemuanya sama-sama punya gagasan besar tentang bangsa ini. Andaikan semua perbedaan itu diwadahi dalam satu arena pertukaran gagasan yang indah, maka bangsa ini akan lebih tinggi melesat. Bangsa ini tak harus memulai sesuatu dari nol.

Pada akhirnya, kemenangan itu menjadi semu. Yang dikalahkan dari peristiwa itu bukanlah bangsa lain atau para imperialis yang hendak mencengkeram negeri. Yang dikalahkan adalah anak-anak bangsa yang seharusnya memiliki andil besar untuk bangsa kita. Yang dihilangkan hak hidupnya adalah mereka yang harusnya bisa menjadi ujung tombak untuk melejitkan bangsa ini hingga posisi yang ‘selalu di dipuja-puja bangsa.’

Yang mengharukan saya adalah keluarga Aidit justru bisa bertahan. Kerasnya prahara itu tak membuat mereka kehilangan daya-daya adaptasi atas kehidupan. Mereka malah sukses di berbagai lapangan kehidupan, padahal begitu kuatnya tekanan dan hinaan yang mereka terima. Kini, beberapa dari mereka mulai mengeluarkan testimoni tentang peristiwa itu demi mengungkapkan suara sang ayah yang dibungkam oleh tentara.

Politik memang kejam. Kekuasaan bisa menjadi amat keji pada para pesaing. Kebenaran bisa lenyap oleh suara besar rezim serta hasrat kuat untuk berkuasa. Melalui laci sejarah, kita bisa melihat ulang berbagai peristiwa lalu menelaahnya kembali. Melalui sejarah, mata akan menjadi lebih terang untuk melihat sejauh mana satu peristiwa bisa direkayasa, disembunyikan, lalu dijadikan dalih untuk membenarkan satu ide. Sejarah adalah arena untuk memenangkan satu ide lalu mengubur ide yang lain. 

Di penghujung sejarah itu, kita mendengar pekik Aidit yang selama puluhan tahun ditenggelamkan oleh versi sejarah yang penuh puja-puji dan sanjungan pada penguasa.


Bogor, 26 September 2015
  
BACA JUGA:





3 komentar:

Anggarda Normalita mengatakan...

Sebelum peristiwa 1965 kan ada peristiwa pemberontakan pki di blitar, madiun, blora dll. Coba baca sejarah dr awal jangan hanya bertolak pada tahun 65 saja. Banyak anak bangsa yg dibunuh oleh pki karena perbedaan ideologi. Dibunuh seperti binatang. Bahkan keluarga saya pun ada yg dibunuh, kepala dan badannya dibuang secara terpisah oleh komunis. Sehingga keluarga kami harus mencari agar bisa kami satukan dan kami kuburkan secara manusiawi tidak seperti hewan seperti yg dilakukan oleh pki. Saya tidak tau anda lebih condong ke pki atau bahkan netral. Tapi saya hanya ingin meluruskan, Kalau anda bertolak ukur hanya pada tahun 65-66 saja, saya harap anda tidak buta sejarah. Terimakasih

Sabdaalam mengatakan...

justru tolak ukur anda apa??? mana yang di bunuh laksana hewan???? Anda mau bilang bahwa PKI pernah BERONTAK di MAdiun???? Anda pernah baca KESAKSIAN SOEHARTO ngga? di otobiografinya dia bertemu walikota madiun dan Musso yang mengatakan TIDAK ADA PEMBERONTAKAN... peristiwa madiun itu PROVOKASI agar kaum oposisi musnah, sebab pemerintah memerlukan KEBULATAN suara, Oposisi hanya di kehendaki saat merdeka

Unknown mengatakan...

yang jelas tercatat dalam sejarah bahwa pki , aidit adalah pecundang di negeri kita..... apalagi di mata agama , aidit sdh menghadap malaikat siksa kubur dasar ateis

Posting Komentar