Soekarno, Kontroversi, dan Lapis Realitas


Hanung Bramantyo saat konferensi pers film Soekarno

DI tengah massa yang berteriak dengan gegap gempita, di tengah barisan spanduk yang berisikan kecaman pada imperialisme, lelaki berkopiah itu berdiri di depan sebuah podium. Ia menatap ke arah semua orang lalu mulai berpidato dengan kalimat yang setajam pedang hingga semua orang gemuruh dalam satu samudera gagasan. Lelaki itu adalah Soekarno.

Saya menyaksikan film Soekarno di salah satu bioskop di Makassar. Di bandingkan semua film lain yang berkisah tentang Soekarno, film ini adalah yang terbaik sebab menyajikan gambaran tentang Soekarno seorang manusia biasa. Saya menyukai bagian-bagian ketika Soekarno tampil di hadapan massa yang membawa spanduk berisikan kecaman atas ketidakdilan.

Keluar dari bioskop, saya menyaksikan sebuah media yang menayangkan berita tentang protes atas film itu. Di media sosial, ada banyak kecaman dan protes atas film ini. Di Jakarta banyak suara-suara protes atas film ini degan membawa spanduk-spanduk berisikan kecaman. Selain dari putri Soekarno, protes pun dilancarkan oleh Front Pembela Islam (FPI).

Selasa silam, anggota FPI memprotes film Soekarno yang disebut telah melenceng dari sejarah. Mereka menyebut film itu sebagai virus yang merusak generasi muda. Mereka mendesak agar film itu dihentikan penayangannya. Ketua FPI Jakarta, Habib Selon menyatakan, FPI menerima laporan dari masyarakat yang merasakan ada perbedaan dalam Islam di film tersebut.

"Kami dapat laporan dari masyarakat yang menonton film Soekarno, ada pandangan masyarakat dan umat Islam yang berbeda, seolah-olah film tersebut menolak poligami dan agak liberal. Kami tolak agar disensor yang benar," kata Habib Selon.

FPI menganggap bahwa film ini berbeda pandangan dengan Islam. Padahal, kata FPI, Soekarno merupakan sosok yang religius karena berjuang dengan para alim ulama untuk merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan Jepang. Namun, kesan religius Soekarno dianggap FPI tidak muncul di film ini. Benarkah? Kita akan lihat nanti.

Demonstrasi ini bukanlah yang pertama. Di beberapa tempat, demonstrasi juga dilakukan. Sebelumnya, ada pula keberatan dari Rachmawati Soekarnoputri atas beberapa adegan dalam film. Entah kenapa, banyak kelompok yang tiba-tiba saja kebakaran jenggot dan menuduh film ini tidak sesuai dengan apa yang mereka ingin saksikan dari kisah tentang sang proklamator bangsa.

Lapis-Lapis Sosial

Saya mencatat banyak hal menarik dari aksi mengecam film ini. Bagi saya, ini menunjukkan lapis-lapis realitas sosial yang menarik untuk sama-sama didiskusikan. Marilah kita sama-sama membedahnya.

Pertama, banyak di antara pemprotes adalah mereka yang belum pernah menyaksikan filmnya. Kritik yang baik atas film harus lahir dari hasil dialog dengan teks film, Jika tak pernah menyaksikan filmnya, mustahil untuk bisa menyajikan satu opini yang berimbang tentang film tersebut. Bagi saya, Rachmawati jelas tidak pernah menyaksikan film ini. Buktinya, ia mempermasalahkan dua adegan yang ternyata tidak ada dalam film itu. Demikian pula dengan pemrotes lainnya.

Film ini merekam dengan baik tentang perjalanan Soekarno. Mulai dari masa kecil di Jawa Timur, masa sekolah di rumah Tjokroaminoto, masa-masa ditahan di penjara Sukamiskin, saat-saat menyusun pleidoi Indonesia Menggugat yang ditulis di atas pispot tempatnya kecing, hingga saat menjalani pengasingan di Bengkulu. Bagian terbaik adalah saat pidato perumusan Pancasila, serta menyiapkan naskah kemerdekaan Indonesia di rumah Laksamana Maeda.

Ario Bayu yang berperan sebagai Soekarno

Kedua, banyak orang yang ingin melihat Soekarno sebagai sosok yang dibayangkannya. Orang-orang ingin melihatnya sebagaimana seorang hero atau pahlawan yang serba sempurna. Banyak yang tak membaca sejarah, atau hanya membaca sekeping sejarah, kemudian beranggapan bahwa sang tokoh persis seperti gambaran yang ada di kepalanya. Mereka tak siap dengan celah-celah yag menunjukkan bahwa sosok itu seorang manusia biasa, yang bisa terjebak dengan persoalan pribadi, yang harus memikirkan masalah keluarga di tengah pergolakan kebangsaan.

Padahal, adegan-adegan yang menunjukkan bahwa Bung Karno adalah seorang womanizer justru penting untuk menunjukkan sisi-sisi lain dari tokoh besar ini. Bahwa ia kemudian menjadi nasionalis terbesar dalam sejarah Indonesia tidak lantas menghilangkan sisi manusiawi tentang dirinya yang bergelut dengan berbagai hal-hal yang dihadapi seorang manusia biasa.

Lagian, bung besar ini adalah seorang pengagum wanita. Dalam buku Soekarno, An Autobiography as told to Cindy Adams, proklamator ini berkisah blak-blakkan tentang dirinya sendiri. Ia bercerita tentang gadis-gadis Belanda yang ditaksirnya semasa bersekolah, hingga perempuan-perempuan yang kemudian jadi istrinya. Dalam berbagai catatan jurnalis seperti Rosihan Anwar, sang proklamator ini memang senang memperhatikan wanita cantik. Pesonanya juga kuat sehingga dirinya menikah sebanyak sembilan kali. Adegan yang menampilkan dirinya seorang pemerhati perempuan jelas tak keliru.

Ketiga, aksi-aksi protes itu menunjukkan ketidakmampuan kita untuk mengelola perbedaan pendapat menjadi kekuatan yang mencerahkan pandangan kita atas sesuatu. Publik terlampau banyak memberikan beban bagi film ini. Padahal, film ini bukanlah dokumenter. Ini film komersial yang mesti dibuat dengan mempertimbangkan aspek estetika dan segmentasi semua anggota masyarakat. Dalam sebuah film komersial, seorang sutradara bisa memilih adegan-adegan tertentu yang dianggapnya bisa menjaga bangunan cerita sehingga kelak penonton tidak terkantuk-kantuk dalam bioskop. Tanpa drama dan pergolakan, sebuah film akan terasa seperti sayur tanpa garam.

Kita tak bisa belajar dari rakyat Iran yang mengeritik film Argo dengan cara membuat film baru demi menyampaikan kebenaran sejarah pada versi yang mereka yakini. Kita juga tak belajar pada perdebatan antara Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Meskipun pada satu titik mereka bisa sangat berbeda pendapat dan saling berbicara kasar, namun pada sisi lain, mereka saling menghargai sebagaimana layaknya seorang saudara.

Kalaupun ada perbedaan interpretasi sejarah, maka seyogyanya itu diletakkan dalam satu diskursus yang akan memperkaya pemahaman kita tentang sosok ini. Jika FPI beranggapan bahwa Soekarno seorang yang sangat religius dan terus berpihak pada kaum Islam, akan sangat baik jika ada argumentasi dan bukti sejarah yang menunjukkan hal tersebut.

Bagi saya, argumen yang disampaikan pihak FPI itu tak tepat benar. Sejak awal sudah diperlihatkan bahwa keluarga Bung Karno adalah penganut kejawen. Ayahnya menggelar selamatan untuk mengganti namanya akibat sakit-sakitan. Jika membaca tulisan-tulisannya, sangat terang ia selalu meletakkan posisi ideologi besar seperti Marxisme, Komunisme, dan Islam dalam posisi yang sejajar, yang saling memperkaya khasanah pemikiran bangsa Indonesia.

Keempat, para pemrotes itu tak paham bahwa sejarah memang bukan sesuatu yang tunggal. Semua orang bisa memiliki titik pandang yang berbeda tentang sejarah. Perbedaan itu seharusnya didialogkan, bukannya dipaksakan menjadi satu. Para Soekarnois bisa saja berpandangan bahwa Soekarno yang punya gagasan orisinil atas segala hal. Namun, sejarawan bisa saja mengemukakan posisi Hatta, Sjahrir, atau Tan Malaka yang juga tak kecil dalam perumusan kemerdekaan.

Maudy Kusnaedi dan Ario Bayu saat gala premiere film Soekarno

Banyak yang tak setuju dengan sikap Soekarno yang membangun kolaborasi dengan Jepang. Bahkan pengamat film Salim Said justru memprotes adegan Soekarno yang mengarahkan para pekerja romusha. Padahal, banyak sejarawan justru memberikan pengakuan bahwa dosa terbesar Soekarno adalah menjadi propaganda Jepang serta mendukung romusha. Bahkan sejarawan William Frederick di kampus Ohio, Amerika Serikat, juga mengatakan hal yang sama. Hanya saja kata Frederick, Soekarno membalas dosa sejarah itu dengan memberikan persembahan berharga bagi bangsa Indonesia yakni kemerdekaan, sesuatu yang diidam-idamkan banyak orang.

Kelima, protes atas film ini menunjukkan pandangan para Soekarnois yang ambigu. Pertanyaannya, mengapa hanya film Hanung yang dikritik dan dicerca? Mengapa tak menggunakan energi kritik itu untuk juga mempreteli sejumlah film pada masa Orde Baru yang justru menggambarkan Soekarno dengan sangat negatif. Lihat saja Soekarno dalam film Pengkhianatan G.30S/PKI, atau dalam film propaganda lainnya. Di mana pula posisi Rachma saat banyak buku sejarah Orde Baru, yang digagas Nugroho Nutosusanto, hendak menghapus peran Soekarno dalam sejarah kemerdekaan?

Jika memang mencintai proses pelurusan sejarah, maka para Sukarnois sebaiknya membuat pemetaan bagaimana posisi Sukarno dalam berbagai buku sejarah, sastra, ataupun dalam film yang dibuat pada masa Orde Baru. Mereka mesti melakukan proyek kritik demi pelurusan sejarah, sebagaimana yang mereka harapkan. Tentu saja, upaya ini harus dilakukan dnegan argumentasi serta bukti-bukti sejarah yang kuat. Tanpa upaya secara serius, maka hal itu akan seperti menggarami lautan.

Keenam, protes dan permintaan agar film itu ditarik semakin menunjukkan watak masyarakat kita yang merupakan warisan rezim Orde Baru. Pada diri kita, ada watak untuk selalu menyeragamkan sesuatu. Kita selalu ingin menarik sesuatu yang tak bersesuaian dengan pendapat kita. Kita ingin memberangus hal-hal yang tak kita sepakati, tanpa meletakkannya pada posisi proporsional untuk didialogkan, lalu menyerapnya sebagai kekuatan yang memperkaya pemahaman kita. Kita sering bertindak sebagai fasis yang ingin memaksa orang lain sesuai dnegan apa yang kita pikirkan.

Saya tak menampik fakta bahwa film ini punya beberapa kekurangan, misalnya gambaran tentang kelompok Islam yang hanya satu warna yakni Islam garis keras. Padahal, pada masa itu ada Kiai Wahid Hasyim yang justru tidak mendukung syariat, namun mendukung Pancasila. Kemudian, adanya keanehan saat melihat banyak pedagang asongan saat proklamasi, padahal saat itu sedang bulan puasa. Kemudian gambaran Sukarni yang seperti pemuda serba tanggung, atau tak adanya sosok Tan Malaka. Lalu, hilangnya sosok Soekarno sebagai penulis hebat, serta sosoknya yang suka bercanda. Di film itu, ia terlalu serius dan terkesan galau.

Meski banyak kekurangan, saya tetap melihat film itu sebagai satu khasanah berharga yang sukses untuk mengajak banyak orang agar mengenali sosok-sosok penting dalam perumusan kemerdekaan. Film ini sukses membuat saya beberapa kali menyeka air mata karena terharu. Adegan yang paling saya sukai adalah adegan ketika Fatmawati membentangkan bendera merah putih yang telah dijahitnya, kemudian tampak massa yang gegap gempita dan bersorak-sorai saat mendengar suara Soekarno yang menggelegar, kemudian ada satu suara lirih, “Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata!”


Makassar, 19 Desember 2013

2 komentar:

Dimas mengatakan...

Sangat menarik membaca tulisan Anda.. Analisisnya begitu dalam, namun mudah untuk dicerna pikiran (utk saya khususnya)...

Semoga para pengkritik bisa membaca tulisan ini, dan mau berpikiran lebih terbuka...

Saya mau lanjutkan membaca tulisan Anda yg lain :-D
hehe..

Salam.

ardinakartika mengatakan...

Suka banget dgn tulisannya mas.. Salam kenal...

Posting Komentar