Sosok Cantik di Kafe Dinasty


ilustrasi
“Apakah aku ini cantik?”

Perempuan itu bertanya lalu menghembuskan asap rokok ke wajahku. Aku terbatuk sesaat. Aku tak tahu hendak menjawab apa. Ia memang cantik, namun aku malu untuk mengatakannya secara langsung. Ia lalu menatap lurus ke depan, ke arah layar besar yang tengah menayangkan sebuah lagu dangdut. Di sudut sana, seorang pria gemuk menyanyi dengan suara berat. Tapi di sebelahnya, seorang gadis seksi menggelendot manja di lengannya.

Di Kafe Dinasty, yang terletak di tepi kota Baubau, perempuan seksi itu duduk pula di sebelahku. Tempat ini memang dikhususkan untuk karaoke. Setiap tamu akan ditemani seorang lady yang berbaju minim. Semuanya cantik. Semuanya datang dari ujung utara Pulau Sulawesi. Dan semuanya menyediakan tubuhnya untuk sekadar dijalari oleh mereka yang hendak melakukan ‘kerajinan tangan.’ Yah, maklumlah. Di situ, lampu memang redup.

Aku justru berbahagia dengan lampu redup itu. Bukan karena ada kesempatan berbuat lebih. Lampu itu telah menyelamatkan rasa kikuk yang menjalari tubuhku. Lampu redup juga menghalangi pemandangan kontras diriku dan dengannya. Diriku yang legam, dan dirinya yang berkulit putih. Kontras.

Kota kecil Baubau laksana sebuah cahaya yang didatangi para laron di berbagai penjuru. Entah apakah ada banyak duit di pulau ini, puluhan gadis belia dan berkulit bersih dari berbagai daerah di Indonesia datang berbondong-bondong ke sini demi mencari sesuap nasi. Mereka menjadi gadis karaoke berbaju seksi yang siap menemani siapapun yang hendak melepas sepi.

Dan aku adalah satu dari sekian orang yang sepi itu. Aku adalah bagian dari para lelaki bangsat yang memenuhi kafe ini hanya untuk menjamah para perempuan itu.

Tadinya, kupikir gadis-gadis itu hanya dari ibukota provinsi. Ternyata ada pula dari tempat-tempat jauh. Jumlah kafe karaoke tumbuh bak cendawan di musim hujan. Jika prinsip ekonomi bekerja, kita bisa berkesimpulan bahwa jumlah kafe yang menjamur itu disebabkan oleh banyaknya permintaan dari pasar. Bisakah kita berkesimpulan bahwa ada begitu banyak lelaki sepi yang butuh hiburan di kota ini? Entah.

“Mengapa kamu kerja seperti ini?”

Kali ini aku yang bertanya. Perempuan itu yang terdiam. Tapi sepuluh menit berikutnya, mulailah ia bercerita. Keluarganya adalah keluarga broken home. Ia tak tahu siapa ayahnya. Di ujung utara Pulau Sulawesi itu, tak ada pekerjaan yang tersisa selain mejadi buruh kopra. Nyiur melambai di sepanjang Minahasa dan Kepulauan Sangir Talaud seakan kontras dengan kehidupan warganya yang lama bergubang daam kemiskinan.

Maka perempuan-perempuan muda yang molek itu tak punya pekerjaan. Mereka lalu terjerat oleh para mucikari yang datang ke desa-desa demi membawa mereka untuk ke kota-kota besar. Tak ada hukum dan perlindungan buat mereka. Hukum hanya memayungi mereka yang kaya dan berpunya. Sementara perenpuan di sampingku ini tak punya pilihan selain dari melepaskan keperawanannya pada pria tua bangka yang membayar mahal untuk itu.

Aku sedih mendengarnya. Ia terdiam sesaat sambil beberapa kali menghembuskan napas. Kehidupan bukanlah sebuah jalan aspal yang mulus baginya. Kehidupan adalah sirkuit roller coaster ang berliku-liku dan menukik ke arah jalanan curam. Ibunya memaksanya menjadi kupu-kupu. Bahkan ia pernah ‘dijual’ pada lelaki Jakarta yang datang ke kampungnya. Ia lalu memasuki babakan baru sebagai pengelana berbaju seksi di beberapa karaoke di banyak kota. Hingga akhirnya terdampar di kota kecil ini.

Aku lalu mengenggam tangannya yang sedingin es. Setelah itu aku lalu memeluk bahunya dengan erat. Aku hendak memberinya kekuatan agar dirinya tak seberapa terguncang. Tak kuduga, ia menoleh lalu mengecup pipiku. Aku tak memintanya. Jika itu akan mengurai kesedihannya, aku ikhlas saja dengan apa yang dilakukannya. Lakukanlah, sepanjang itu membuatmu nyaman.

Mengapa kamu sering ke sini?

Kembali ia bertanya. Seperti pertanyaan sebelumnya, responku adalah terdiam sambil menghembuskan asap Marlboro. Terus terang, aku memang kesepian. Istriku meninggalkanku demi untuk bersama pria keturunan Tionghoa itu. Pria itu memang kaya. Ayahnya adalah penguasaha bioskop di berbagai kota. Istriku memilih kenyamanan bersamanya. Ia tak sabar menanti saat-saat yang selalu kujanjikan demi untuk mendudukkannya di sebuah singgasana bahagia yang berlimpah emas. Aku tak sanggup menghadirkan kembang senyum di wajahnya.

Istriku tak pergi sendirian. Ia membawa serta anak semata wayang yang setiap kali melihat fotonya akan membuatku tersedu-sedu. Rasaya hati ini remuk ketika mendengar kalimat-kalimatnya yang ingin menemukan kenyamanan bersama lelaki itu. Dan tinggallah diriku seorang diri dan terdampar di kota ini. Aku hanya berteman sepi. Aku hanya berteman dengan bir, vodka, chivas, dan minuman cap tikus.

ilustrasi

Ini memang zaman di mana komitmen menjadi kertas usang yang mudah disobek-sobek. Barangkali komitmen hanya bisa ditemukan pada sebotol vodka. Minuman itu tak pernah berbohong, sebab setiap kali menenggaknya segelas, maka pastilah aku akan mabuk. Tapi aku selalu tak ingin larut. Ada sebuah kesadaran yang melingkar di benakku untuk tidak sampai jauh. Entahlah.

Sering kupikir bahwa minuman ini adalah jalan pembebasan. Setidaknya, ia mengeluarkan saya dari kesedihan yang tak terpermanai. Satu-satunya yang salah adalah perempuan yang memilih untuk bersama lelaki kaya itu. Aku membencinya. Ia bersembunyi di balik sejumlah argumen rasional yang sejatinya hanya menjadi permainan kata untuk bersamanya.

Hingga suatu malam aku tiba di kafe ini. Perempuan di sebelahku tak sekadar menjadi teman ngobrol. Ia juga membebaskanku untuk melakukan apapun pada tubuhnya. Tapi aku hanya ingin berbincang. Aku hanya ingin didengarkan. Selama beberapa bulan aku membutuhkan seseorang yang rela diajak bercerita dan mendengarkanku dengan segala antusiasme yang dimilikinya. Perempuan ini bersedia mendengarkan semua cerita usang yang selalu kuulang. Ia memulihkan rasa percaya diriku yang sempat remuk dihantam palu godam kesedihan.

“Kamu memang cantik. Sangat cantik.”

Akhirnya, pengakuan itu keluar dari bibirku. Aku memperhatikan wajahnya yang oval. Ia mengingatkanku pada artis Tamara Blezynsky. Bibirnya merekah bak kembang sepatu yang merona merah di pagi hari. Tubuhnya sintal dengan kulit yang bersih serta halus. Akan tetapi, bukan tubuh itu yang membuatku terikat dengannya.

Di atas tumpukan komitmen yang berserakan, kami telah dipertemukan oleh takdir. Kami memiliki kesedihan yang berbeda. Tapi lampu redup di kafe ini membawa kami menyelami rasa yang sama. Ia menggenggam tanganku. Telingaku mendengar ajakannya untuk beranjak dari kafe yang kian panas itu. Aku lalu menenggelamkan diri dalam pelukannya. Kucium wangi parfum dari tubuhnya.

Kali ini, aku memilih untuk mendayung malam bersamanya. Saat keluar dari kafe itu, aku sempat mendengar azan subuh berkumandang. Sayangnya, suara azan itu nyaris tenggelam oleh hingar-bingar musik serta desah napas mereka yang tengah berpelukan di tempat itu.


Baubau, 3 Juni 2013


BACA JUGA:









4 komentar:

Program Adaptasi Perubahan Iklim mengatakan...

Apakah yang saya terlalu mengagumimu kawan, hingga tak percaya bahwa cerita itu adalah tentangmu. Ataukah diriku yg belum faham makna sastrawi yang engkau rangkai pada tulisanmu itu.
Akhh....berikanlah aku jawaban, agar rasa penasaran ini tak menghakimimu!

Anonim mengatakan...

sci-fi

Unknown mengatakan...

Masih banyak kok pekerjaan yang halal. Saya berharap pemerinta daerah bisa menertibkan semua kafe yang tidak bermoral. Generasi semakin bobrok...

Suara Kepulauan Buton mengatakan...

Ada karyawan atas nama bela dikafe dinasty kota baubau sahabatnya uddin...minta dikirim alamat fb nya ya atau kontak alamt lain.mint tlg

Posting Komentar