Bocah Cilik Perenang Koin di Pelabuhan Baubau

perenang koin di Pelabuhan Baubau


DI ujung Pelabuhan Murhum di Kota Baubau yang terletak di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, sejumlah anak kecil sedang berperahu. Mereka berusia sekitar enam tahun, sebuah usia yang masih cukup muda, namun sudah sedemikian berani mengemudikan perahu kecil. Mereka menuju ke dekat sebuah kapal Pelni yang merapat. Beberapa penumpang kapal milik pemerintah itu lalu melemparkan koin ke laut, tidak terlalu jauh dari perahu anak kecil tersebut. Hup! Tiba-tiba saja, beberapa anak kecil langsung menyelam. Beberapa menit kemudian, kepalanya menyembul dan tangannya mengacung, sambil memperlihatkan koin yang ditangkapnya. Semua bertepuk tangan.

Hampir semua warga Baubau sudah kenal dengan kiprah para perenang koin tersebut. Biasanya, mereka berusia antara enam hingga 12 tahun. Meski masih kecil, jangan pernah meragukan kemampuan renangnya. Mereka sanggup menyelam hingga kedalaman beberapa meter demi menemukan koin yang dilempar. Mereka juga mahir membawa jenis perahu kayu kecil seukuran kano, yang dalam bahasa Buton disebut koli-koli. Mereka berenang dan menyelam tanpa dibantu pelampung atau alat renang. Hebat khan?

Melihat kelihaian mereka, saya lalu merogoh kantong. Saya menemukan beberapa koin pecahan lima ratus rupiah. Mengikuti tingkah para penumpang kapal, saya langsung melemparkan beberapa keping koin itu ke laut. Ternyata, anak-anak itu dengan cekatan berlompatan. Yang menakjubkan, dari lima koin yang saya lemparkan, semuanya bisa ditemukan. Mereka lalu tersenyum-senyum sambil mengucapkan terimakasih. Meskipun sudah sering melihat mereka menyelam, saya tetap saja takjub. Entah kenapa, saya tiba-tiba saja ingin berbincang dengan mereka. Ketika beberapa anak naik ke atas dermaga, saya lalu menyempatkan diri untuk ngobrol.

Saya lalu berbincang dengan seorang anak bernama La Bio. Darinya saya mengorek beberapa informasi penting. Di antaranya adalah mereka bersekolah di pagi hari. Mereka menyelam tidak setiap hari. Biasanya, mereka menghapal jadwal kapal yang singgah, dan hanya datang pada saat itu. Sayateringat tayangan sebuah televise nasional tentang para perenang cilik tersebut. Mereka disebut sebagai ‘pengemis cilik di laut’, sebuah sebutan yang ternyata salah total. Sebabnya adalah para jusnalis terbiasa melihat dengan perspektif sebagaimana orang kota. Pikirnya anak-anak itu hidup dari kemampuan menyelam, sehingga mengemis uang di pelabuhan. 

perahu jenis koli-koli
Apakah benar mereka pengemis? La Bio hanya tertawa. Katanya, uang itu hanya dipakai untuk senang-senang. Malah, mereka lebih banyak tidak bawa uang, tapi tetap saja rutin datang ke pelabuhan. La Bio juga bercerita kalau dirinya terdaftar sebagai siswa sekolah dasar. Ia paling senang saat menceritakan ayahnya yang berprofesi sebagai pelaut dengan rute hingga Singapura.

Ternyata, mereka tinggal pada pulau kecil yang terletak tidak begitu jauh dari Pelabuhan Murhum. Dengan menumpang speedboat, kita bisa mencapai pulau itu dengan waktu tempuh sekitar sepuluh menit. Jika anak-anak itu menggunakan koli-koli, maka mereka bisa kembali ke pulau itu dalam waktu sekitar setengah jam. Bayangkan, dalam usia sekecil itu mereka sudah bisa mengayuh sampan hingga lebih setengah jam. Bisa dibayangkan betapa kuatnya fisik mereka.

Tak puas dengan jawaban itu, saya penasaran dengan perenang koin tersebut. Apalagi, saat bersamaan, saya punya satu urusan di pulau kecil tempat anak itu tinggal. Di saat sore menjelang, saya pun ikut bersama mereka mendayung menuju pulau itu. Mendayung bukanlah aktivitas yang mudah dilakukan. Mendayung membutuhkan skill tertentu, termasuk kemampuan menjaga keseimbangan di perahu, serta fisik prima untuk mendayung. Baru beberapa menit mendayung, saya mulai kelelahan.Tapi anak-anak itu seakan tak kehilangan energi. Mereka tetap mendayung dengan gembira dan seakan tidak pernah kelelahan. Sementara saya sendiri sudah kepayahan dan ingin istirahat. Apa boleh buat, saya harus mengakui ketangguhan para perenang cilik itu.

Setiba di pulau itu, kami lalu berpisah sebab saya harus menyelesaikan urusan di satu instansi pemerintah di pulau tersebut. Sejam kemudian, saya lalu singgah ke rumah yang sebelumnya sudah ditunjukkan La Bio. Barulah saya sadar bahwa anak-anak itu bukanlah para pengemis. Mereka memiliki rumah yang asri dan termasuk mewah untuk ukuran warga pulau. Rumahnya adalah rumah panggung yang cukup besar. Di kolong rumah, terdapat banyak jala yang berfungsi sebagai jarring untuk menangkap ikan. Terdapat pula beberapa perahu yang dipasang dalam keadaan telungkup.

Keluarganya sangat ramah. Dengan menggunakan bahasa Wolio, bahasa yang digunakan di sekitar Kota Baubau, mereka menyilahkan saya untuk amsuk. Saat memasuki rumah, saya bisa menyaksikan beberapa peralatan elektronik dipajang di beberapa ruangan. Saya akhirnya tahu kalau eluarga itu cukup berada. Ayah La Bio bekerja sebagai pedagang yang memiliki beberapakapal layar untuk mengangkut hasil bumi seperti teripang, lola, serta rumput laut. Biasanya, pedagang di Pulau Buton membawa dagangan ke Surabaya hingga Singapura. Ketika kembali dari Singapura, muatan kapal diisi dengan karung-karung berisi pakaian bekas pakai. Di Buton, kami menyebutnya RB alias rombengan.

Di lihat dari lautan, nampak bahwa daratan Buton bukanlah daratan yang subur. Daratan itu lebih nampak sebagai pulau karang yang tandus. Kemudian banyaknya kapal kayu di pesisir pantai menunjukkan bahwa penduduknya sejak dulu menjadikan laut sebagai medium untuk mencari nafkah. Kecakapan orang Buton menaklukan laut sudah ditegaskan dalam banyak kepustakaan. Bahkan, seorang anak kecil pun sudah dilatih untuk memiliki kecakapan menaklukan laut. 

Orang Buton, Orang Laut

usai menyelam demi koin
Pengalaman menyaksikan atraksi anak-anak di lautan adalah pengalaman yang bisa sedikit menyibak fakta bahwa orang Buton sejak dulu dekat dengan laut dan menjadikan lautan sebagai medium untuk beraktivitas. Mengacu pada sejumlah pustaka, sebagian besar penduduk Buton di masa silam menjadi nelayan-nelayan perkasa berkelana hingga ke banyak pantai di Nusantara dan menggantungkan hidupnya pada nasib yang menghampar di lautan. 

Ligtvoet (1800) mencatat, tradisi pelayaran orang Buton sudah tercatat dalam teks bangsa asing sejak ratusan tahun silam. Orang Buton sejak dulu telah menjadikan lautan ibarat kanvas yang kemudian dilukis dengan berbagai jejak dan penjelajahan. Seperti halnya  bangsa maritim lainnya, bangsa Buton meyakini kebenaran petuah bangsa Bajo bahwa lautan adalah suatu wilayah luas yang bisa disinggahi siapa saja. Bahwa di atas lautan, semua manusia berbaur menjadi satu dan saling belajar bagaimana menaklukan ombak demi menjaga keseimbangan perahu dan tidak tenggelam. Bahwa lautan bukan sekedar air yang tenang dan bergelombang, namun mengasah kecakapan dan tradisi maritim untuk mengembangkan layar kebudayaan sebagai bentuk adaptasi dan penaklukan manusia terhadap alam semesta yang membentang. Inilah cikal-bakal dari tradisi maritim sebagai khasanah kekayaan Bangsa Buton yang dikenal luas di manca negara.

Secara geografis, Pulau Buton diapit oleh lautan yaitu Laut Banda di sebelah utara dan timur, kemudian Laut Flores di sebelah selatannya, sedangkan di sebelah barat terdapat Selat Buton dan Teluk Bone. Di pulau ini, dulunya pernah berdiri sebuah kerajaan atau kesultanan yang bernama Buton atau Wolio yang beribukota di Bau-bau. Daerah kekuasaan Kesultanan Buton pernah meliputi, selain Pulau Buton, juga beberapa pulau di kawasan antara Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku.  Persentuhan dengan lautan tersebut, telah mengasah kecakapan orang Buton dalam menaklukan laut. Sampai-sampai, antropolog Christian Pelras menyebut hanya lima bangsa di Nusantara yang sejak dulu dikenal sebagai bangsa pelaut. Lima bangsa itu adalah Bajo, Makassar, Mandar, Buton, dan Using (Madura).  

Hari ini saya sangat beruntung karena bisa bertemu dengan anak kecil yang lihai bereang di laut. Terhadap tudingan sebagai pengemis cilik, salah seorang paman La Bio memberikan jawaban yang sangat menarik. Menurutnya, aktivitas berenang menangkap koin adalah aktivitas yang dulu juga dilakukannya. Ada semacam regenerasi di kalangan perenang koin. Aktivitas itu memang hanya dilakukan anak kecil. Bukan untuk mengumpulkan uang, atau digunakan untuk makan sehari-hari. Aktivitas itu bertujuan untuk melatih anak-anak kecil itu untuk mencintai laut, serta mengasah skill mereka saat berada di lautan.

“Suatu saat mereka akan bawa kapal sendiri ke laut. Makanya perlu latihan sejak kecil,” katanya. Saya membatin dan merenungi salah kaprah yang pernah dituliskan sebuah media yang bermarkas di Jakarta. Anak-anak itu adalah calon pelaut besar yang kelak akan menghadapi ganasnya gelombang samudera. Mereka adalah bahari yang mempertahankan tradisi emas para pelaut bangsa ini yang memahatkan jejak petualangan hingga ke negeri yang jauh seperti Australia, ataupun Singapura hingga ke Madagaskar. Anak-anak itu adalah calon pelaut besar yang kelak hidup meniti buih dari atas perahu, menjaga warisan kearifan trasidi sebagai bangsa pelaut, sekaligus menggedor kesadaran banyak orang tentang betapa kayanya lautan negeri ini.

Terimakasih La Bio.(*)

indahnya Pantai Nirwana di Baubau

1 komentar:

Yaser Ace mengatakan...

Tulisan yg menarik daeng. Kelak, d tangan anak2 inilah aset kmaritiman dkelola. Dikelola dg cinta.
Bu susi hrs mmbaca ini.

Posting Komentar