Pahlawan dari KRYPTON, Luka dari PALESTINA
Dia datang dari luar angkasa, dibesarkan oleh manusia, dan tumbuh menjadi simbol harapan. Superman, sosok yang selama puluhan tahun dijadikan lambang kebaikan universal, kini tampil dalam wajah yang berbeda.
Di tangan sutradara James Gunn, ia bukan sekadar penyelamat kota dari monster atau alien lain, melainkan penyaksi dan penengah dalam konflik antarmanusia, konflik yang terlalu mirip dengan kenyataan di Timur Tengah.
Dalam film terbarunya, Superman, Gunn membawa kita ke dunia yang tampaknya fiktif, namun terasa menyakitkan dalam kedekatannya dengan realita. Seorang bocah berdiri kaku di balik pagar logam yang memisahkan tanah kelahirannya dari dunia yang ingin mengusirnya.
Di tangannya, bendera Superman berkibar pelan, simbol harapan yang mungkin terlalu tinggi untuk dijangkau. Dari kejauhan, suara sepatu tentara menghantam tanah. Di belakangnya, perempuan-perempuan berkerudung menggandeng anak-anak mereka, berlari, mencari perlindungan di tanah yang tak lagi ramah.
Itu bukan cuplikan berita dari Gaza. Itu salah satu adegan dalam film Superman. Tapi bagi banyak orang yang menontonnya, batas antara fiksi dan kenyataan terasa semakin kabur. Sebab gambar-gambar yang disuguhkan terlalu mirip dengan luka yang nyata.
Sejak awal ditayangkan secara terbatas, film ini langsung menjadi pembicaraan panas. Di Letterboxd, ulasan berbintang lima menyebutnya sangat anti-Israel dan disambut hampir sembilan juta tayangan.
Di platform X, klaim bahwa film ini secara eksplisit mengkritik Israel telah dilihat lebih dari sebelas juta kali. Tak butuh waktu lama, Superman versi James Gunn menjelma menjadi bahan diskusi geopolitik.
Konflik dalam film ini terjadi di antara dua negara fiktif, Boravia dan Jarhanpur. Boravia adalah negara maju, berkulit putih, dengan kekuatan militer canggih hasil dukungan Amerika.
Jarhanpur adalah negeri miskin, terpinggirkan, dengan penduduk berkulit gelap dan hampir tak punya perlindungan. Tiga minggu sebelum cerita dimulai, Superman telah menghentikan invasi Boravia ke Jarhanpur. Tapi seperti biasa, menyelamatkan dunia bukan berarti menyenangkan semua pihak.
Lois Lane, sang jurnalis pemberani, mewawancarai Superman dan bertanya tentang keputusannya yang kontroversial. “Sekretaris pertahanan akan menyelidiki tindakanmu,” katanya. Superman hanya menjawab singkat, “Tindakanku? Aku menghentikan perang.”
Tapi apa yang terlihat sederhana bagi Superman tidak pernah sesederhana itu di dunia manusia.
Sepanjang film, Boravia digambarkan tidak hanya sebagai kekuatan militer, tapi juga sebagai kekuatan ideologis. Mereka membangun pemukiman di wilayah Jarhanpur, menggusur penduduk lokal. Mereka menembak dari balik pagar. Mereka mencurigai semua yang berasal dari tanah di seberangnya.
Wajah pemimpin Boravia, Vasil Glarkos, diperankan Zlatko Buric, menyisakan siluet yang mengingatkan pada Benjamin Netanyahu. Ia bersekutu dengan Lex Luthor, musuh bebuyutan Superman yang dalam sejarah DC Comics sering digambarkan sebagai bayangan Donald Trump. Mereka membentuk kombinasi kekuasaan dan hasrat perluasan wilayah yang nyaris tak terbendung.
Dalam satu adegan, penduduk Jarhanpur mendekat ke pagar perbatasan. Mereka hanya membawa tongkat, batu, dan keberanian yang rapuh. Di sisi lain, tentara Boravia sudah bersiaga. Anak-anak kecil melambaikan bendera Superman, seakan berkata, jika bukan kamu, siapa lagi?
Gambaran ini mengingatkan pada aksi Great March of Return di Gaza. Pada anak-anak yang dibunuh ketika membawa batu. Pada tubuh-tubuh kecil yang tak sempat tumbuh besar.
James Gunn memang tidak pernah menyatakan bahwa film ini tentang Israel dan Palestina. Namun dalam wawancaranya dengan The Times, ia mengatakan Superman adalah film tentang politik dan moralitas.
Ia juga menyebutnya sebagai cerita tentang imigran, sebuah frasa yang cukup untuk memantik amarah para pendukung kebijakan anti-imigrasi Donald Trump.
Proses penulisan film ini berlangsung pada saat dunia sedang terbakar oleh berita dari Timur Tengah. Pada Oktober 2023, serangan Hamas ke Israel membuka bab baru dalam sejarah kelam Gaza.
James Gunn menyelesaikan naskahnya pada Desember. Film mulai syuting Februari 2024 dan rampung pada Juli. Dalam waktu sesingkat itu, dunia nyata dan dunia fiksi seperti bertaut satu sama lain.
Di tengah cerita, ada perdebatan yang tidak kalah menarik, apakah Superman seharusnya turun tangan. Lois Lane, dengan sikap skeptisnya, menanyakan apakah Jarhanpur juga berpotensi menjadi ancaman jika dibiarkan. Itu adalah suara yang sering terdengar dalam debat tentang Hamas.
Tapi Superman, pahlawan yang tak berpihak pada negara mana pun, menjawab dengan keyakinan yang tenang, “Aku tak berpihak. Aku hanya ingin menyelamatkan mereka.”
Dan mungkin di situlah film ini mengambil sikap. Bukan tentang siapa yang benar atau siapa yang salah, tapi tentang siapa yang paling rentan, dan siapa yang layak diselamatkan.
Dalam sebuah dunia fiksi, film ini menjadi cermin untuk kenyataan yang jauh lebih kompleks. Bahwa bahkan seorang alien yang datang dari planet lain pun bisa melihat bahwa ada sesuatu yang tidak beres di bumi ini.
Superman dalam versi James Gunn bukan hanya lambang kekuatan super, tapi juga etika dan empati. Ia menolak tunduk pada narasi resmi. Ia hadir untuk mereka yang terinjak.
Ketika bocah itu mengangkat bendera bergambar dirinya, Superman datang. Bukan sebagai dewa, bukan sebagai tentara, bukan pula sebagai wakil dari negara mana pun. Ia datang sebagai satu-satunya yang masih percaya bahwa hidup anak-anak di sisi pagar itu tetap layak dipertahankan.
Mungkin bagi dunia nyata, adegan itu terlalu indah, terlalu mustahil. Tapi dalam gelapnya bioskop, ketika gambar demi gambar bergerak di layar, kita diingatkan akan satu hal sederhana yang kerap kita lupakan.
Bahwa keberanian terbesar bukanlah mengalahkan musuh, melainkan membela mereka yang nyaris tak punya siapa-siapa.
Di dunia yang dipenuhi propaganda dan pembenaran, keputusan itu adalah bentuk keberanian yang paling langka. Bukan karena ia punya kekuatan, tapi karena ia masih punya hati.
“Aku tidak menghentikan perang,” kata Superman, dengan suara yang nyaris lirih. “Aku hanya menyelamatkan anak-anak.”
Dan di balik kalimat itu, tersimpan doa diam-diam kita semua. Bahwa mungkin, suatu hari nanti, dunia tidak lagi membutuhkan Superman untuk tahu bahwa yang paling layak dilindungi adalah yang paling lemah. Bukan karena mereka berkuasa. Tapi karena mereka masih bermimpi.