The Voyage to Marege dan Lupa Kita pada Laut


Di sebuah senja, angin meniup layar yang lelah. Sebuah phinisi melintas pelan di lepas pantai Darwin, menyusuri perairan yang pernah disapa oleh para pelaut dari Makassar ratusan tahun silam.

Tak ada meriam, tak ada teriakan takluk. Hanya suara laut yang tua dan perjalanan yang panjang. Di buritan, waktu seolah memutar ulang: tentang musim angin barat, tentang trepang, dan tentang Marege’.

Saya membaca kembali buku terjemahan itu, The Voyage to Marege’, yang diterbitkan Inninawa. Campbell Macknight menulisnya pada 1976, dengan ketekunan seorang yang tidak sekadar memandang sejarah sebagai urutan tanggal dan kejadian.

Ia mengamati, menyigi, menggali jejak-jejak yang terbenam dalam pasir dan ingatan. Ia mencatat bahwa pelaut dari Sulawesi Selatan telah tiba lebih dahulu di Australia utara, sebelum Cook, sebelum kolonialisme menancap peta di benua itu.

Sebelum nama-nama seperti New South Wales atau Northern Territory dicetak dalam atlas Eropa, para pelaut dari Makassar sudah lebih dahulu membaca angin dan rasi bintang, mengarungi Laut Timor dengan pengetahuan purba yang diwariskan secara lisan.

Mereka tahu kapan musim angin barat datang, kapan arus laut bersahabat, dan di mana terumbu karang menyimpan harta yang dicari: trepang, hewan laut yang dianggap berkhasiat dan bernilai tinggi di pasar Tiongkok.

Para pelaut itu datang bukan sekali dua kali. Mereka datang setiap tahun, membangun kamp musiman di pesisir Arnhem Land, mendirikan dapur pengeringan teripang, menjalin interaksi dengan masyarakat Aborigin. Tidak ada upacara penaklukan, tidak ada pengibaran panji kerajaan.

Yang ada hanyalah kesepakatan tak tertulis, tukar-menukar hasil laut dan barang bawaan dari Sulawesi, dan kadang, kisah yang tertinggal dalam bentuk lukisan gua atau nyanyian rakyat setempat.

Di antara bukti-bukti sejarah, Macknight menemukan jejak keteraturan: sistem perizinan antar-suku, pembagian wilayah pengumpulan teripang, bahkan kata-kata Makassar yang diserap dalam bahasa Yolngu.

Apa yang dicatat Macknight membalik urutan sejarah yang sering kita pelajari. Bahwa Australia bukanlah benua yang "ditemukan" oleh Cook pada abad ke-18. Ia bukan tanah kosong (terra nullius) yang menanti untuk diisi peradaban. Ia telah disentuh oleh peradaban bahari dari Nusantara.

Dan jejak itu bukan mitos. Ia hidup dalam arsip pelabuhan, dalam lukisan tua, dalam catatan kapten Belanda yang heran melihat orang-orang berwajah Asia tinggal di pesisir Australia, jauh sebelum kapal Inggris pertama menurunkan jangkar.

Dengan mencatat itu semua, Macknight tidak sekadar memberi kita fakta baru. Ia menegaskan bahwa sejarah Asia Tenggara tidaklah inferior dalam percaturan global. Bahwa para pelaut Bugis dan Makassar bukan hanya subjek pasif kolonialisme, tetapi aktor yang aktif membentuk dunia sekitarnya, melalui layar, tali-temali, dan naluri yang diasah oleh generasi demi generasi.

Mereka adalah bagian dari sejarah Australia, sebagaimana mereka adalah bagian dari sejarah kita. Sebuah sejarah yang saling menyilang sebelum politik membelahnya menjadi "asing" dan "domestik", "milik kita" dan "milik mereka".

Sejarah, tampaknya, punya bias yang aneh. Ia memilih apa yang ingin ia ingat. Ia lebih menyukai catatan resmi, segel kekuasaan, laporan kolonial. Padahal di pesisir Arnhem Land, orang-orang tua di Yolngu masih mengenang wujud para pendatang itu, dengan perahu bersayap, dengan wajah legam, dengan tangan-tangan cekatan yang mengolah laut menjadi penghidupan.

Di titik ini, Macknight melakukan sesuatu yang melampaui sejarawan biasa. Ia tidak hanya menyusun kronologi; ia menulis kisah. Dalam narasinya, pelaut Makassar bukan angka statistik.

Mereka adalah manusia yang bernapas, menyusun strategi, menyeberangi laut tanpa kompas, dan menjalin relasi yang, dalam beberapa hal, lebih manusiawi daripada ekspedisi resmi kerajaan mana pun.

Ia menyebut Marege’, nama yang diberikan para pelaut itu kepada tanah yang kini disebut Australia Utara. Bukan sekadar penamaan, tapi penjinakan atas yang asing.

Saya bayangkan, di antara teriakan camar dan desau angin, ada lagu Bugis yang lirih. Mungkin nyanyian tentang kampung halaman. Mungkin doa agar angin tidak marah. Atau sekadar bunyi untuk mengusir sepi.


Di Marege’, mereka tidak menaklukkan. Mereka berdagang. Mereka menghormati penduduk asli. Dan dalam beberapa kisah, bahkan menikahi perempuan setempat. Sejarah kecil yang tak tercantum dalam buku pelajaran.

Macknight menulis dengan sabar. Ia menyusuri peta tua, mewawancarai tetua kampung, meneliti sketsa-sketsa, membaca dokumen pelabuhan. Ia bukan orang Makassar. Tapi dalam risetnya, ia menyulam jejak pelaut Makassar lebih baik dari banyak orang Indonesia sendiri.

Ia membentangkan pada kita satu irisan sejarah yang membuat garis antara ‘kita’ dan ‘mereka’ tampak rapuh. Mungkin laut memang tidak pernah memisahkan. Ia hanya menunggu untuk dilintasi.

Yang paling menyentuh dari buku ini bukan deretan data, tapi kesadaran. Bahwa sejarah maritim kita tak hanya milik kerajaan besar, peta VOC, atau pelabuhan-pelabuhan resmi.

Tapi juga milik orang-orang kecil yang berlayar dari Paotere, dari Tanah Lemo, dari kampung-kampung nelayan yang namanya tak tercantum di atlas. Mereka yang dengan perahu kecil mengarungi samudra besar, dengan modal keyakinan bahwa laut bukan akhir, melainkan penghubung.

Laut, seperti juga sejarah, bisa menenggelamkan. Tapi juga bisa menyimpan. Dalam lipatan gelombang, tersimpan nama-nama yang tak disebut. Kisah yang tak dicatat. Dan The Voyage to Marege’ mencoba mengangkatnya kembali ke permukaan.



Hari ini, mungkin phinisi itu hanya objek wisata. Ia tidak lagi membawa teripang, tidak lagi menjejak pantai Australia seperti dulu. Ia hanya mengitari dermaga, membawa wisatawan berfoto sambil menyeruput kopi susu di geladak.

Di Pantai Losari, phinisi berlayar tanpa arah, hanya untuk memuaskan estetika. Layar tetap terbentang, tapi angin tak lagi ditantang. Gelombang tak lagi dilawan.

Dulu, phinisi dikendarai untuk menaklukkan angin dan menantang samudra. Ia adalah tubuh dari keberanian, jiwa dari kecerdasan navigasi, dan simbol dari pergaulan maritim yang melintasi batas benua. Kini, ia menjadi panggung bagi konser senja dan cahaya lampu hias.

Dulu, ia menghubungkan Makassar dengan Marege’. Kini, ia hanya memutari pelabuhan yang sama setiap sore, diiringi lagu dari pengeras suara.

Kita, tampaknya, semakin menjauh dari keperkasaan yang dulu ditunjukkan para pelaut Makassar. Mereka adalah bahariwan yang menaklukkan laut bukan dengan peta, tapi dengan hafalan angin dan nyanyian langit. 

Mereka pernah mengubah batas dunia dengan perahu kayu dan kepercayaan pada laut. Dan kita kini lebih sibuk memotret bayangannya di layar ponsel.

Ironi itu pahit, tapi nyata. Kita adalah keturunan pelaut yang pernah menyambung dunia, tapi lebih suka duduk nyaman di tepi dermaga. Kita berasal dari darah ombak, tapi lebih percaya pada riak buatan. Kita pernah menjadi kisah. 

Kini, kita hanya pembaca. Kadang bahkan lupa membaca. Maka, The Voyage to Marege’ bukan hanya buku. Ia adalah peringatan. Bahwa laut itu masih ada. Tapi mungkin, kita yang perlahan menghilang.

*Penulis adalah blogger, peneliti, dan Digital Strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.