Dahlan Iskan dan Luka yang Tak Ditulis Sejarah


Di usia 74 tahun, Dahlan Iskan seharusnya telah sampai pada fase hidup yang damai. Duduk tenang di beranda rumah, menyeduh teh hangat, menulis catatan inspiratif setiap pagi, dan menjadi saksi atas pertumbuhan cucu-cucunya yang mulai mengukir masa depan.

Ia punya cukup cerita untuk dibagi, cukup luka untuk dikenang, dan cukup api untuk terus menghangatkan generasi baru.

Tapi hidup ternyata masih menyisakan satu babak getir yang belum selesai.

Alih-alih menjadi penutur kisah, Dahlan justru kembali menjadi tokoh utama dalam drama hukum yang tak pernah ia duga. Ia harus bolak-balik memberikan keterangan ke polisi atas laporan seorang direksi Jawa Pos, perusahaan yang dulu ia bangun dari nol, ia besarkan dengan darah dan tenaga. Bahkan dia harus ganti hati demi bisa terus bekerja.

Bukan perkara korupsi besar, bukan pula skandal kekuasaan. Tapi soal kepemilikan saham di Tabloid Nyata, salah satu produk media di bawah jaringan Jawa Pos yang ia kembangkan bertahun-tahun silam.

Dahlan mengaku, perkara ini terjadi sekitar 25 tahun lalu. Saat itu, ia tengah fokus membesarkan Jawa Pos, membangun jaringan media hingga ke kota-kota kecil di Indonesia, dan kemudian sempat mundur dari jabatan Direktur Utama karena dipercaya memimpin salah satu BUMN. Sejak 2009, ia pun benar-benar melepaskan diri dari manajemen.

“Sungguh tidak saya sangka persoalan itu diadukan ke polisi,” tulisnya dalam unggahan Instagram. Ia menyebut bahwa Nyata memang bukan sepenuhnya milik Jawa Pos, dan ada sejarah panjang yang menjelaskan struktur kepemilikannya.

Namun direksi saat ini, yang menurutnya tidak mengetahui sejarah, menganggap Nyata bagian dari Jawa Pos. Maka jadilah sengketa. “Saya tegaskan: ini sengketa saham di Nyata. Bukan di Jawa Pos. Perdata,” tulisnya lagi.

Namun sebelum perkara ini rampung di pengadilan, berita bahwa Dahlan telah menjadi tersangka lebih dulu menyebar. Padahal ia masih diperiksa sebagai saksi, dan proses hukum perdata masih berlangsung di Pengadilan Negeri Surabaya. 

Yang paling menyayat bukan hanya soal hukum, tapi soal siapa yang memulai laporan: perusahaan yang dulu ia bela ketika semua orang angkat tangan. Ketika Jawa Pos nyaris bangkrut, saat banyak yang meragukan masa depannya, Dahlan justru memeluk perusahaan itu erat-erat.

Ia bertaruh segalanya. Bertaruh waktu, tenaga, bahkan kesehatannya, untuk menyelamatkan koran yang semula nyaris mati itu.

Dalam ingatan banyak orang di dunia media, Dahlan bukan hanya memimpin Jawa Pos, ia menjadi jiwanya. Ia membawa napas baru, memperkenalkan kecepatan dalam kerja jurnalistik, memperluas jaringan hingga puluhan kota, dan menjadikan media lokal sebagai kekuatan yang tak lagi bisa dipandang sebelah mata.

Ia tidak hanya mengatur redaksi, tetapi turun langsung menulis, menyunting, mencetak, bahkan mengantarkan koran ke lapak jika diperlukan. Ia tak segan tidur di kantor, makan sekadarnya, dan memacu timnya dalam semangat kerja yang nyaris militan.

Dalam berbagai wawancara, banyak yang menyebut Dahlan seperti “mesin gila” yang tak pernah lelah. Ia rela muntah darah, sampai akhirnya harus menjalani transplantasi hati di Tiongkok, karena tubuhnya menolak gaya hidup yang terlalu ekstrem, terlalu penuh dedikasi.

Dan kini, ketika tubuhnya tak lagi segesit dulu, ketika rambut telah memutih dan langkah mulai pelan, ketika ia seharusnya dihormati sebagai tokoh pers dan inspirator nasional yang sudah menyalakan lilin-lilin pengetahuan di banyak daerah, ia justru harus duduk di ruang penyidikan.

Ia harus menjawab pertanyaan tentang urusan administratif dua dekade silam. Bukan sebagai tokoh yang dikenang, tapi sebagai saksi yang dicurigai.

Lebih menyakitkan lagi: laporan itu datang dari dalam rumah sendiri. Dari tangan manajemen baru yang disebutnya tak pernah melihat peluh yang menetes, tak pernah tahu malam-malam panjang yang ia habiskan untuk menyelamatkan perusahaan dari krisis, dan tak pernah ikut dalam masa-masa ketika Jawa Pos adalah kapal yang nyaris karam.

Ironi ini seperti ditusuk dari belakang, oleh seseorang yang menikmati rumah yang telah berdiri, tapi lupa siapa yang mengangkat batu pertamanya.

Filsuf Friedrich Nietzsche pernah menulis, “No one is so much a liar as the indignant man.” Tak ada yang lebih sering memutarbalikkan kenyataan daripada orang yang merasa paling benar. 

Dalam logika kekuasaan dan kepemilikan yang terus bergeser, sering kali orang yang datang belakangan merasa berhak menilai dan menghukum masa lalu yang tidak mereka pahami. Dan itu yang sedang dialami Dahlan hari ini: vonis moral dari orang yang tak tahu sejarah, tapi berani mengadili.

Kisah Dahlan mengingatkan kita pada drama-drama Yunani klasik, di mana pahlawan besar yang membangun dunia dengan darah dan pengorbanan, justru dijatuhkan oleh kekuasaan yang lahir dari lupa.

Seperti Oedipus yang akhirnya dibutakan oleh kebenaran masa lalu, atau Agamemnon yang pulang dari perang dan dibunuh oleh keluarganya sendiri, tragedi tidak lahir dari kejahatan, tapi dari ironi sejarah dan nasib yang tak bisa ditawar.

Dahlan, dalam kisah ini, adalah tokoh yang dikhianati oleh rumah yang ia bangun sendiri, dan dalam diam, ia sedang menjalani takdir yang terlalu akrab dengan kata luka.

Dahlan tak pernah meminta imbalan. Tapi barangkali, seperti yang sering ia tulis dalam catatan harian, ia hanya berharap sejarah bersikap adil. Bahwa kerja keras yang tak pernah ditulis dalam laporan keuangan, dedikasi yang tak bisa diukur dengan presentase saham, dan cinta yang tak dicatat dalam akta notaris, semuanya tetap punya tempat di benak orang-orang yang jujur.

Sebab jika tidak, kita tak hanya kehilangan sosok seperti Dahlan, kita juga kehilangan nilai paling mendasar dalam membangun peradaban: penghargaan atas pengorbanan.

Dan barangkali, meski api itu kini tengah ditiup angin fitnah dan sengketa, kita tahu: nyala Dahlan Iskan tak akan padam semudah itu. Sebab ada ribuan orang di penjuru negeri yang pernah menerima cahayanya, baik dalam bentuk media yang tercerahkan, etos kerja yang menular, atau keberanian untuk bermimpi melampaui batas.

Namun kisah ini bukan hanya tentang Dahlan. Ini adalah cermin tentang bagaimana bangsa ini memperlakukan mereka yang pernah berkorban. Tentang bagaimana kita mudah lupa pada peluh yang tak tercatat, dan cepat menghukum atas sesuatu yang tak kita pahami sepenuhnya.

Di sinilah tragedi itu menjelma: bukan pada jatuhnya seorang tokoh, tapi pada rapuhnya ingatan kolektif kita sebagai masyarakat.

Selebihnya, biarlah waktu dan sejarah yang menilai. Sebab sebagaimana yang ditulis Sophocles dalam Antigone, “There is no pain so great as being forgotten by the country you once died for.” Tidak ada luka yang lebih pedih daripada dilupakan oleh negeri yang pernah kau bela dengan seluruh hidupmu.

Bukan cuma negeri, tapi juga perusahaan.


*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat,