Ingatan-Ingatan yang Hendak Dihapus Seusai Proklamasi


Istana Merdeka, 17 Agustus 2025. Angin pagi berembus pelan, menyibak kain merah putih yang baru saja diturunkan dari tiang. Presiden Prabowo, dengan khidmat, mencium bendera itu. 

Sebelum diserahkan kepada Pasukan Pengibar Bendera Pusaka, ia menundukkan wajah, seolah ada doa yang diselipkan di sela serat kainnya. Di halaman istana, hadirin berdiri khusyuk. Sebuah prosesi yang selalu membuat kita merinding: sebuah bangsa memuliakan simbolnya sendiri.

Setiap tahun, upacara itu meneguhkan keyakinan bahwa Proklamasi adalah puncak heroisme. Sebuah peristiwa sejarah yang menggetarkan, ketika Sukarno membacakan teks singkat yang mengubah arah republik. Tapi, di balik kemegahan simbol itu, ada sisi lain yang sering kita abaikan: gelombang kekerasan yang menyapu negeri segera setelah pekik merdeka menggema. Kita lupa pada banyak kengerian yang mekar di udara.

Robert Cribb, sejarawan Australia, menulis dalam Gangsters and Revolutionaries (1991) tentang laskar-laskar liar yang muncul segera setelah Proklamasi. Mereka mengenakan sorban, membawa bambu runcing atau senjata rampasan Jepang, menyebut diri tentara. 

Ada yang mengatasnamakan agama, ada yang mengaku jihad. Namun, di balik jubah dan pekik mereka, tersimpan wajah bandit. Mereka menjarah kantor, merampok gudang, membunuh pegawai yang sebagian besar juga orang Indonesia sendiri.

Kesaksian Cribb tentang Klender mencekam: sumur-sumur tersumbat mayat orang Cina. Di Tangerang, tanah-tanah dan perkebunan Cina disapu dengan darah. Di Karawang, seorang jagoan menduduki kantor bupati dan memproklamasikan dirinya sebagai penguasa. Kemerdekaan, bagi mereka, bukan cita-cita luhur, melainkan kesempatan.

Anthony Reid dalam The Blood of the People (1979) memberi perspektif lain: Revolusi Indonesia adalah ledakan sosial ganda. Di satu sisi, revolusi politik—bangsa Indonesia memutus rantai kolonialisme. 

Di sisi lain, terpantik revolusi sosial. Rakyat bawah yang lama dipinggirkan menuntut balas pada bangsawan, tuan tanah, dan pejabat lokal yang dianggap bagian dari penindasan lama. Reid menyebutnya “the blood and fire of revolution.” Api revolusi bukan hanya melawan Belanda, tetapi juga membakar tatanan feodal dan dendam kelas yang terpendam.

Di Sumatra Timur, para buruh perkebunan menyerang mandor dan mengeksekusi tuan tanah. Perkebunan besar dirampas atas nama rakyat. Ada dimensi “redistribusi kekuasaan dan harta” yang mengalir deras dalam darah revolusi. 

Tapi, bagi Reid, ironi itu jelas: revolusi yang diniatkan untuk membebaskan, justru memakan korban sesama bangsa sendiri. Bangsawan tradisional, penjaga identitas kultural masyarakat, dihabisi atas nama kebaruan. Proklamasi, yang lahir sebagai sumpah kemerdekaan, di banyak daerah justru menjelma menjadi “masa teror rakyat.”

Sejarawan lain Benedict Anderson menulis dengan nada getir yang sama. Dalam Java in a Time of Revolution (1972), dia mencatat bahwa euforia kemerdekaan melahirkan “politik jalanan” yang liar. 

Pemuda-pemuda, banyak di antaranya bekas Heiho, PETA, atau barisan pemuda bentukan Jepang, mendadak berada di ruang kosong kekuasaan. Jepang menyerah, Belanda belum kembali, republik masih rapuh. Senjata rampasan Jepang mereka genggam erat, dan dengan itu mereka merasa berdaulat atas jalanan.

Di mata Anderson, pemuda-pemuda itu bukan hanya aktor tambahan. Mereka adalah motor yang memaksa republik lahir lebih cepat. Mereka mendesak Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan. Mereka merebut stasiun, menduduki kantor pos, menguasai gudang senjata. Tapi karena tak ada garis komando, energi yang sama juga berubah menjadi anarki. 

Bagi mereka, revolusi bukan sekadar teks Proklamasi, melainkan tindakan nyata di jalan-jalan kota. Kekerasan, bagi mereka, adalah bahasa yang sah: cara untuk menunjukkan keberanian, menegaskan otoritas, dan mendirikan republik versi mereka sendiri.

Sartono Kartodirdjo, dalam Revolusi Indonesia (1975), menulis tentang sisi lain dari energi itu. Ia menyebutnya “gejolak bawah.” Suara rakyat desa yang lama ditekan feodalisme, menemukan jalan untuk meledak. Lurah, kepala desa, birokrat, bahkan bangsawan pribumi yang dianggap kaki tangan kolonial, menjadi sasaran. Ironinya, banyak korban justru sebangsa sendiri. Revolusi, yang seharusnya membebaskan, juga menjadi saluran dendam.

Sartono melihat revolusi bukan hanya peristiwa politik elite, tapi juga sebuah letupan sosial. Desa-desa yang lama sunyi dalam ketertekanan akhirnya punya kesempatan untuk membalikkan keadaan. Kekerasan yang muncul sering kali lebih berupa pelampiasan ketidakadilan lama daripada perhitungan strategi militer. Maka Proklamasi, yang kita anggap sebagai awal kebebasan, di banyak tempat justru membuka pintu keberingasan.

***

Inilah paradoks revolusi 1945: di satu sisi ia menyalakan obor kemerdekaan, di sisi lain ia juga membebaskan energi liar yang tak terbendung. Republik lahir, tapi bersama itu juga lahir ketakutan baru.

Kita terbiasa mengenang 17 Agustus sebagai puncak haru. Sukarno di podium, Hatta di sampingnya, teks Proklamasi dibacakan dengan lantang. Tetapi sejarah juga menyimpan catatan lain: Tan Malaka yang dibunuh oleh laskar republik, sumur-sumur yang dipenuhi mayat, keluarga-keluarga yang terenggut atas nama “kemerdekaan.”

Refleksi itu penting. Karena merdeka, seperti pernah disebut Sukarno, adalah jembatan emas. Tapi di bawah jembatan itu, air yang keruh juga pernah mengalir. Mengabaikan sisi kelam berarti kita hanya merayakan separuh sejarah, separuh yang indah, separuh yang aman untuk diceritakan.

Nelson Mandela pernah berkata: musuh kita bukanlah orang kulit putih, melainkan penindasan dan keserakahan, sesuatu yang bisa hadir di tangan siapa saja. Kata-kata itu seakan menggema untuk kita: bahwa kekerasan, betapapun dibungkus jargon revolusi, tetaplah bentuk lain dari penindasan.

Kini, tujuh dekade lebih setelah Proklamasi, kita merayakannya dengan gegap gempita. Bendera dikibarkan, lagu dinyanyikan, ingatan dipilih yang manis-manis. Tapi barangkali, di sela nyanyian itu, kita perlu berhenti sejenak. Mengingat bahwa kemerdekaan tak lahir dari satu warna. Ada cahaya, ada juga bayang. Ada pekik merdeka, ada juga jerit tak terdengar.

Karena hanya dengan menatap kedua-duanya, kita benar-benar mengerti arti Proklamasi.