Mengenang Ospek dan Betapa Banyak Hal-Hal Baik yang Hilang
Dulu, menjelang ospek, kampus seperti dunia lain. Gedung-gedung seakan mengenakan topeng Halloween. Mahasiswa Fakultas Teknik memamerkan El Santa Muerte, sang dewa kematian bertudung hitam, memegang arit, dan menatap dengan mata kosong yang tak pernah berkedip.
Mahasiswa Kelautan memilih gelombang raksasa dan siluet orang yang hanyut. Perikanan menakut-nakuti lewat piranha bergigi seruncing sumpit. Peternakan memamerkan kerbau bengis bermata merah menyala, di punggungnya duduk tengkorak berpeci koboi. Kedokteran memilih zombie, Ekonomi jatuh hati pada vampir kurus berjas rapi, menggenggam dollar seperti bayi.
FISIP malah nyeleneh: seekor ayam berkostum Superman, lengkap dengan celana dalam merah dan logo “S” (singkatan Sospol) di dadanya, lalu tertera tulisan Moral Force in Struggle.
Mahasiswa Sastra lebih puitis. Di depan fakultas, ada baliho dengan kutipan puisi “Kita Kabarkan Sastra pada Segala yang Tak Jelas Berkata.”
Menjelang ospek, kampus tak cuma ramai baliho, tapi juga ramai “hantu masa lalu”. Mereka mahasiswa tua, bahkan yang sudah DO, tiba-tiba muncul. “Tanda-tanda ospek akan jadi,” bisik seorang kawan. Dan memang, ospek itu pesta. Tak ada undangan, tapi semua datang.
Namun pesta ini punya sisi lain. Malam hari, para mahasiswa bermalam. Ada miras. Ada senjata tajam. Ada mahasiswa mabuk yang malah biarkan. Kata pengurus lembaga kemahasiwaan, saat chaos, mereka bisa jadi “pendekar” siap tempur.
Suasananya seperti zona perbatasan Rusia–Ukraina. Tiap fakultas menjaga wilayahnya. Satu tatapan salah, satu kalimat nyolot: “Apa ko liat-liat? Apa ko t… co. Apa ko sun...a”. Respon kecil bisa jadi pemicu perkelahian.
Tapi tak semua adalah ancaman. Ada juga roman. Ada yang membayangkan ospek seperti film Ranjau-Ranjau Cinta yang dibintangi Rano Karno dan Paramitha Rusadhy.
Di sela bentakan senior, ada tatapan curi-curi pandang, ada kisah ditembak dan diterima. Jika diterima, ada bahagia bersemi. Jika ditolak, teman-teman akan berteriak, “Sembunyikan Baygon darinya.”
Di masa jadi pengurus lembaga, kami pernah merancang drama heroik: senior pura-pura mabuk, mengacungkan badik, membuat maba histeris. Lalu muncullah “pahlawan” yang melindungi. Sayangnya, saat hari-H semua ingin jadi pahlawan. Tak ada yang mau jadi penjahat. Lebih sial lagi, super senior datang, merebut peran utama. Skenario bubar jalan.
Ada pula kawan yang memanjangkan rambut dan membiarkannya kusut agar terlihat sangar. Ada yang tiba-tiba rajin membaca filsafat, bukan karena cinta ilmu, tapi demi momen berbicara di depan maba.
Saya masih ingat Agus, anak Hukum, yang hafal kutipan Antonio Gramsci dalam bahasa Italia. Dia membayangkan decak kagum. Tapi di podium, hafalannya hilang. Dalam panik, dia mengucapkan, “Safety matches polar bear,” tulisan di korek api, dengan logat yang entah bagaimana terdengar seperti orang Prancis bilang l’État, c’est moi.
Tentu, ospek bukan cuma panggung ego. Ada kreativitas yang mekar: merancang acara, membagi tugas, mengelola dana seadanya. Demi merancang gambar dan kata-kata baliho, butuh rapat berhari-hari. Tentunya, rapat di organisasi mahasiswa tidak serumit rapat perusahaan. Sebab saat rapat mahasiswa, datang Sandy yang memakai rok payung, datang Indri yang entah kenapa kok cantik sekali yaa.
Ospek juga menjadi panggung penuh kreasi. Saya masih ingat, mahasiswa Fakultas Sastra selalu membuka ospek dengan panggung sederhana yang terasa seperti showbiz: tata panggung seadanya, tapi magisnya nyata.
Di ajang Ospek, mahasiswa belajar leadership, memecahkan masalah, sampai bersiap menghadapi situasi yang berubah, bahkan krisis terparah pun sudah dipetakan. Saya ingat, di Fisip, kami punya prosedur evakuasi saat tawuran pecah.
Kami sudah hafal: jika ada batu beterbangan, maba dibawa ke FIS 3. Semua mahasiswa punya peran, semua tahu apa yang harus dilakukan. Ada yang melindungi maba, ada yang jadi pendekar di garis depan, dengan risiko berdarah kena batu, tapi akan terlihat cool dan jantan di depan mahasiswi.
Di situlah, kepemimpinan ditempa. Bukan di ruang seminar ber-AC, tapi di lapangan kampus yang akan dipakai untuk pembukaan Ospek, di dapur darurat saat Bina Akrab yang kompor minyaknya mogok di saat panitia kelaparan.
Mereka yang pernah mengatur logistik ospek, mulai menghitung nasi bungkus yang harus dibagi rata di antara seratus perut lapar, menawar harga galon air di warung dekat kampus, atau memutuskan siapa yang harus mengantar gitar pinjaman pulang, akan jauh lebih mudah mengatur proyek besar di dunia kerja.
Di meja rapat perusahaan, mereka mungkin mengenakan jas dan dasi, tapi otot koordinasinya sudah terbentuk saat memimpin barisan panitia yang mengantuk setelah begadang tiga malam. Mereka sudah paham seni mengelola berbagai kelompok, mulai pemabuk, para pendekar, para filsuf, hingga mahasiswa kebanyakan yang pernah berebut baju panitia Ospek.
Mereka yang pernah menenangkan maba di tengah kepungan batu, lalu membisikkan kalimat, “Jangan panik, ikut saya,” sambil menyeret mereka ke tempat aman, akan mampu menenangkan tim di tengah krisis perusahaan, bahkan saat deadline mepet dan server mendadak mati.
Ospek mengajarkan bahwa kepemimpinan bukan hanya soal memerintah, tapi soal merangkai ketenangan di tengah ribut, soal memutuskan langkah tercepat ketika semua orang bingung, soal memberi rasa aman bahkan ketika diri sendiri juga takut.
Ia adalah sekolah darurat yang menguji kemampuan mengambil keputusan tanpa panduan tebal manajemen. Dan anehnya, banyak pemimpin hebat lahir justru dari situasi yang awalnya hanya dianggap main-main mahasiswa.
Kini, semua itu tinggal kenangan yang menyelinap di sela obrolan warung kopi. Ospek mungkin punya sisi gelap, tapi juga menyisakan cahaya: kreativitas, solidaritas, dan pelajaran hidup.
Hilangnya ospek berarti hilangnya salah satu panggung tempat kita belajar jadi manusia yang tahan banting, meski kadang masih beraroma cat spanduk dan rambut penuh kutu.