Bagaimana Dunia Bergemuruh Menyambut Zohran Mamdani
Kabar kemenangan Zohran Mamdani menggema jauh melampaui batas kota New York. Dalam hitungan jam, nama politisi muda keturunan Asia Selatan itu memenuhi linimasa media sosial dari Delhi, Istanbul, Dakar, Kampala, hingga Jakarta.
Dunia seolah menemukan cerminnya dalam sosok lelaki berusia 34 tahun itu: wali kota Muslim dan Asia Selatan pertama dalam sejarah New York.
Di India, anak-anak muda berkerumun di depan layar ponsel, menonton ulang potongan video Mamdani yang kerap menyelipkan humor Bollywood di tengah pidato politiknya. “Dia seperti kita,” tulis seorang pengguna X di New Delhi, berharap suatu hari wali kota itu datang berkunjung ke tanah leluhurnya.
Di Istanbul, para perempuan kelas menengah menatap akun Instagram Mamdani dan istrinya dengan kagum. Dalam pandangan mereka, pasangan itu memancarkan citra Muslim urban yang egaliter, lembut, dan modern.
“Mereka seperti potret masa depan yang ingin kami miliki,” tulis seorang warganet Turki, sebagaimana dicatat New York Times.
Sementara di Dakar, Senegal, seorang dosen muda menyiapkan kuliah baru bertema The Enduring American Dream. Di hadapan mahasiswanya, ia berkata: “Inilah bukti bahwa mimpi Amerika belum mati, bahwa seorang anak imigran bisa berdiri di puncak kota terbesar di dunia.”
Kemenangan Mamdani mungkin tak segegap gempita kemenangan Barack Obama pada 2008. Namun bagi banyak aktivis di Global South, ia menjadi simbol baru: anak muda yang muak terhadap korupsi, ketimpangan, dan politik lama, tetapi tetap yakin bahwa dunia bisa dibangun kembali lewat keadilan.
“Mereka melihat dirinya dalam sosok Mamdani,” ujar William Shoki, penulis asal Afrika Selatan.
Lahir di Uganda dari keluarga akademisi Muslim, Mamdani menghabiskan masa kecilnya di Afrika sebelum pindah ke New York. Ia baru menjadi warga negara Amerika pada 2018 dan masih memegang kewarganegaraan ganda Uganda. Kampanyenya nyaris tanpa sentuhan politik identitas.
Fokusnya jelas: perumahan yang terjangkau, transportasi publik, dan biaya hidup yang wajar. Namun ironisnya, justru identitasnya yang menggema ke seluruh dunia.
Sosialis Muslim di Jantung Kapitalisme
Di India, politisi kanan Hindu menuduhnya “anti-Hindu” setelah ia mengkritik keras Perdana Menteri Narendra Modi. Di Israel, seorang diplomat bahkan menyebutnya “ancaman bagi komunitas Yahudi di New York.”
Namun dalam pidato kemenangannya, Mamdani menegaskan bahwa pemerintahannya akan “berdiri teguh bersama warga Yahudi New York dalam memerangi antisemitisme.”
Sebaliknya, di Eropa Barat, media progresif menulisnya sebagai lambang politik baru. Di Berlin, jurnalis menilai pandangan sosialismenya tentang kontrol harga sewa dan transportasi publik gratis sebagai gagasan yang lazim di Eropa.
Di Italia, media terperangah: seorang sosialis Muslim terpilih di jantung Wall Street. Sementara di Prancis, kubu kiri menyambutnya dengan sorak, dan kanan menganggapnya pertanda “bangkitnya kiri Islamis dan kaum woke.”
Bagi Utsav Guhathakurta, musisi muda di Kolkata, kemenangan Mamdani terasa personal. Ia mengenalnya lewat unggahan Instagram tentang harga nasi ayam dan kambing dari gerobak halal di New York.
“Dia bicara tentang hal yang sederhana, tapi menyentuh semua orang muda di kota besar,” katanya. “Sebagai milenial perkotaan, saya merasa dia mengerti.”
Di Nepal, pemimpin gerakan Gen Z, Sunil Phuyal, menyebut kemenangannya sebagai “berkah bagi Amerika.” Sementara di Kampala, Uganda, tempat Mamdani dilahirkan, anak-anak muda berharap kemenangan itu menginspirasi pemimpin mereka sendiri. “Kalau Amerika bisa melahirkan politisi muda yang peduli generasinya, kenapa tidak di sini?” ujar Gerald Katongole.
Pantulan di Jakarta
Di Jakarta, anak-anak muda yang aktif di komunitas sosial dan gerakan urban memandang kemenangan Mamdani sebagai angin segar.
“Dia membuktikan bahwa politisi bisa muda, cerdas, dan punya idealisme tanpa kehilangan kedekatan dengan rakyat,” kata Fikri, arsitek sosial berusia 28 tahun yang aktif di komunitas kota berkelanjutan.

Zohran Mamdani
Bagi mereka, Mamdani bukan hanya figur inspiratif dari jauh, tapi cermin dari kemungkinan baru bahwa anak muda di kota besar juga bisa menantang politik lama yang penuh kompromi.
Gaya Mamdani yang sederhana, berbicara tentang harga makanan jalanan, transportasi publik, dan perumahan rakyat, dirasa lebih jujur daripada retorika pembangunan yang sering mengawang-awang.
“Kita butuh politik yang sesederhana itu,” ujar Nabila, aktivis perempuan di Jakarta Selatan. “Politik yang mengerti bahwa hak atas tempat tinggal dan mobilitas adalah bentuk keadilan sosial.”
Percakapan di kafe, ruang komunitas, dan media sosial di Jakarta pun ikut berdenyut. Kemenangan Mamdani dipandang sebagai sinyal bahwa generasi muda global kini berbicara dalam bahasa yang sama: keadilan, kesetaraan, dan keberpihakan pada warga biasa.
Politik yang Dinamis
Dunia mungkin tak lagi terpukau seperti saat Obama terpilih, tetapi kemenangan Mamdani tetap menyalakan bara harapan global bahwa politik masih bisa menjadi ruang perubahan, bukan sekadar arena perebutan kuasa.
Di banyak negara, terutama di dunia selatan, politik telah lama terperangkap dalam siklus yang sama, elite berganti tetapi sistem tetap.
Namun kemunculan sosok seperti Mamdani memberi kesan lain, bahwa politik bisa kembali menjadi alat pembebasan sosial, wadah untuk memperjuangkan kesejahteraan warga biasa.
Ia menunjukkan bahwa idealisme belum mati di tengah arus pragmatisme. Di tengah populisme dan polarisasi, masih ada ruang bagi politik yang berpihak kepada rakyat kecil, politik yang membela hak hidup, bukan sekadar memenangkan suara.
Dari New York, gaung itu menjalar ke Jakarta, Delhi, Nairobi, hingga Buenos Aires. Anak-anak muda di berbagai penjuru dunia melihat Mamdani sebagai bukti bahwa sistem bisa diguncang dari dalam.
“Mamdani membuktikan bahwa politik bukan hanya milik mereka yang lahir dengan privilese,” tulis seorang jurnalis muda di Nairobi. “Ia mewakili politik yang lahir dari pengalaman hidup, bukan dari pewarisan kekuasaan.”
Kemenangan Mamdani bukan hanya kisah tentang seorang imigran yang menembus tembok politik Amerika.
Ia adalah kisah tentang dunia yang kembali belajar percaya bahwa di antara keletihan dan kekecewaan global, masih ada secercah keyakinan bahwa politik dapat menjadi alat untuk memperbaiki kehidupan bersama.
