Jokowi Versus Paloh, Bisakah Nasdem Bertahan?

Babak baru pertarungan Jokowi versus Surya Paloh kian seru. Rumor telah berhembus kalau dua menteri dari Nasdem akan segera di-reshuffle. Pemerintah seakan hendak memutus aliran darah sejumlah elite Nasdem, khususnya yang bermain bisnis tambang dan komoditas.

Nasdem kian dikucilkan dari pemerintahan Tentunya, dari sisi politik, kebijakan ini bisa membawa berkah dari Nasdem. Partai tidak lagi abu-abu. Tidak lagi mencla-mencle. Partai akan lebih tegas untuk memilih jalur oposisi, senada dengan kebijakan mencalonkan Anies Baswedan sebagai calon presiden.

Jika Anies terpilih sebagai presiden, Nasdem akan leluasa menjadi pengendali distribusi kuasa ke elite-elite politik yang lain. Nasdem akan mendapatkan “kue” paling besar, serta menghidupkan banyak kartu bisnis dan kartel. Elite Nasdem akan jadi “ketua Kelas” yang mengatur dan mendistribusi aliran bisnis.

Namun jika Anies tidak terpilih, partai itu akan siap-siap memasuki era baru yang menjauh dari rezim politik. Partai itu akan siap “puasa” dan hanya menjadi penyaksi dari hiruk-pikuk di lingkaran rezim. Bisakah Nasdem bertahan?

Reshuffle akan menjadi ujian serius bagi partai. Bagaimanapun juga, DNA partai itu bukanlah oposisi. Elite Nasdem banyak yang jadi oligarki, yang menurut Aristoteles bermakna, “kekuasaan oleh segelintir kaum kaya.”

Nasdem tidak punya pengalaman seperti PDIP yang selama sekian tahun mengalami represi rezim Orde Baru sehingga mengalami apa yang disebut Tan Malaka sebagai “terbentur, terbentur, terbentur, dan terbentuk.”

Nasdem belum tentu setangguh PKS yang memilih di luar rezim pemerintahan di era Jokowi, sembari tetap menjaga elan vital sebagai partai kader.

Mereka yang mendirikan Nasdem adalah mereka yang lama berkecimpung di Partai Golkar dan sekian tahun melekat dengan kekuasaan. Mereka tahu bagaimana memaksimalkan posisi di pemerintahan demi mendapatkan “pork barrel project”, yang disebut Edward Aspinall sebagai proyek-proyek pemerintah yang kemudian dibagikan ke semua elite partai dan relawan.

Di lapangan bisnis, para pengusaha di Nasdem bukanlah mereka yang terbiasa berdarah-darah dan mulai semuanya dari nol. Mereka adalah kalangan yang mengandalkan afiliasi atau kedekatan dengan pemerintah. Tanpa proyek APBN dan APBD, mereka bisa kehilangan darah segar untuk berkompetisi di arena bisnis.

Sejumlah kalangan Nasdem masih belum yakin dengan langkah yang dihimpun partai. Banyak yang menilai langkah mendorong capres terkesan buru-buru. Partai seakan tidak sabar untuk segera memegang tampuk kekuasaan. Padahal, banyak hal yang perlu ditimbang dengan baik sebelum tiba pada keputusan itu.

Banyak yang berharap agar partai membangun basis dan pengkaderan yang kuat sehingga bisa tumbuh kokoh. Apalagi, basis Nasdem kebanyakan di daerah yang populasi non-Muslim cukup besar. Merawat dan menyirami basis secara perlahan jauh lebih penting ketimbang mengambil langkah strategis untuk menggenggam kekuasaan.

Namun, Surya Paloh telah mengambil keputusan. Langkah untuk mengumumkan capres dianggap langkah strategis untuk segera mengamankan Anies, serta menggenggam pemerintahan.

Jalur oposisi akan menjadi pertaruhan terbesar bagi Surya Paloh. Selama ini dia selalu pandai memainkan bidak di percaturan politik. Di masa Orde Baru berkuasa, dia dekat Cendana. Menjelang Orde Baru runtuh, dia ikut barisan yang menentang pemerintah. Dia pun ikut Golkar, partai yang diisi politisi senior dan selalu menang di semua rezim.

Setelah itu, Paloh berlabuh ke Jokowi dan nyaman selama dua periode di pemerintahan. Saat gebetan baru hadir dan dianggap berpotensi menang, dia pun pindah haluan. Berkaca pada sejarah, intuisi Paloh sering benar. Dia punya naluri pengusaha yang membawanya selalu jadi pemenang di semua rezim.

Nasdem ingin mengulang langkah Partai Demokrat, yang begitu memenangkan SBY langsung melejit sebagai partai pemenang pemilu dan meraih kursi terbanyak di parlemen. Langkah by pass diambil untuk mendapatkan manfaat lebih besar. Kalaupun ada hambatan, maka itu bisa dianggap sebagai “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.”

Yang harus dipikirkan dengan matang adalah tidak ada satu rumus tunggal yang berlaku dalam dunia politik Indonesia. Pelajaran dari keterpilihan semua presiden adalah konteks sosial dan politik yang tidak sama.

SBY naik karena banyak yang tidak setuju dipimpin perempuan, kemudian butuh figur antitesis. Jokowi naik karena saat itu ada ketidakpuasan pada pemerintahan SBY, yang di masa akhir-akhir periodenya, muncul banyak kasus korupsi di Partai Demokrat.

Saat ini, kepuasan pada pemerintah masih cukup tinggi, sebagaimana bisa dilihat pada hasil survei banyak lembaga. Jokowi masih keliling Indonesia untuk meresmikan berbagai proyek infrastruktur.

Namun, dalam politik, segala hal bisa terjadi, sepanjang dirancang dengan baik dan dikelola dengan benar. Jika memilih jalur oposisi, Nasdem akan lebih tegas dalam bersinergi dengan capres Anies untuk menurunkan kartu yang bikin gerah pemerintah.

Saatnya mengeser isu pada agenda-agenda perubahan. Pengalaman selama di pemerintahan akan menjadi amunisi berharga dalam merumuskan apa saja titik lemah di pemerintahan, yang harus dibenahi ke depan.

Nah, bisakah Nasdem mengusung arus perubahan dengan para elite yang terbiasa nyaman di pemerintahan?

Bahkan untuk mengendalikan Demokrat dan PKS untuk pengumuman koalisi bersama, Nasdem gagal. Dari sisi politik, Demokrat tentunya tak ingin dalam kendali Nasdem, mengingat mereka punya sumber daya politik dan perolehan suara lebih besar. Sementara PKS bisa jumawa sebab menilai diri lebih matang di jalur oposisi.

Di sisi lain, sumber daya Nasdem jelas tak berdaya menghadapi semua sumberdaya yang saat ini digenggam Jokowi. Saat ini, kendali kuasa politik dan ekonomi masih di tangan Jokowi. Jemari Jokowi masih bisa mengendalikan para pengusaha, konglomerat, kartel, dan semua barisan pemain politik.

Bisakah Nasdem menang hanya dengan mengandalkan kader yang ideologinya rapuh, selalu melihat celah untuk menang, dan siap jadi kutu loncat saat partai ditinggalkan?

Mengutip Otto van Bismarck, “Politics is the art of the possible, the attainable — the art of the next best.” Politik adalah seni dari kemungkinan, sesuatu yang dapat dicapai –seni dari pilihan terbaik berikutnya.

Di jenggot Surya Paloh, publik Nasdem menggantungkan harapan untuk masa depan partai yang lebih baik.



0 komentar:

Posting Komentar