DI kalangan aktivis organisasi, dia memilih jalan yang berbeda. Sahabat lain sibuk mencari jalan untuk ke Gedung Dewan atau sibuk mencari jalan pintas untuk kaya, dia memilih pulang kampung dan setia di jalur penyelamatan lingkungan.
Dia tak tergoda dengan kemewahan ibukota dan dunia yang glamour. Dia memilih jalan sunyi yang berkarib dengan suara-suara semesta. Dia memilih untuk mewujudkan satu demi satu mimpinya yang sederhana yakni menjadi sekeping puzzle yang melestarikan semesta.
Lelaki itu, Darmawan Denassa, hari ini, Kamis (14/10), menerima Kalpataru. Dari Borongtala, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, dia mendatangi Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta. Senyumnya terlihat sumringah. Dia menerima penghargaan tertinggi bagi mereka yang menyelamatkan lingkungan.
Saya mengenalnya sejak lebih sepuluh tahun silam. Kami tetangga fakultas di kampus Unhas. Dia Sastra, saya FISIP. Sering kami jumpa di koridor dan bercengkerama. Ketika dia menjadi ketua himpunan mahasiswa sastra Indonesia, juga aktif di himpunan mahasiswa asal Gowa, kami sering jumpa.
Di masa itu, dia suka berorganisasi. Dia suka menghadiri semua agenda-agenda diskusi di kampus. Dia pun seorang aktivis yang dahulu suka turun ke jalan demi memprotes rezim.
Saya mengenalnya sebagai figur yang murah senyum dan suka bercanda. Siapa pun yang sekilas berbincang dengannya, pasti merasakan kalau dia orang baik. Dia sangat ramah dengan siapa saja.
Tahun 2013, Ketika saya baru saja pulang dari kuliah di luar negeri, nasib kembali mempertemukan kami. Saya dan dia bersama penggiat komunitas lainnya diajak Ni Nyoman Anna, sahabat keren di Oxfam, untuk ke Kupang. Kami diajak menghadiri kegiatan yang diikuti banyak komunitas dari berbagai kota. Ikut pula banyak kawan-kawan komunitas di Makassar.
Di situlah saya melihat Darmawan Denassa yang berbeda. Dia melampaui para aktivis dan organisatoris yang ada di setiap kegiatan. Dia sudah bertransformasi menjadi figur baru yang memilih pulang kampung untuk misi-misi idealis. Dia tahu hendak melakukan apa, dengan cara apa. Dia punya visi kuat.
Dia mengelola Rumah Hijau Denassa yang menjadi wadah konservasi dan pengembangan literasi. Di sekitar rumahnya, dia mengoleksi banyak tumbuhan langka. Bahkan dia mengembalikan ekosistem hutan. Dia membangun tradisi literasi di pinggiran, bersama anak-anak sekitarnya. Dia mengumpul pustaka, lalu menggelarnya agar dibaca anak-anak.
suasana di Rumah Hijau Denassa |
Denassa in action |
Namun sekadar literasi saja tidak cukup. Literasi akan lebih maksimal jika berada di tengah ekosistem yang tepat. Dia tergerak untuk mengembalikan keasrian hutan, serta menghadirkan suara-suara alam secara alamiah.
Tumbuh dan besar di Borongtala, dia menjadi saksi dari modernisasi yang berlari cepat. Lingkungan yang dahulu penuh dengan hutan, serta di pagi hari dipenuhi suara-suara burung, perlahan-lahan punah. Hutan dikonversi menjadi sawah. Pohon-pohon perlahan ditebang satu demi satu. Rumah ekosistem perlahan hilang.
Anak-anak muda perlahan meninggalkan kampung. Semua ingin mencari penghidupan yang lebih baik di Makassar. Kota menjadi magnet untuk menarik semua orang ke sana. Kampung ditinggalkan, sementara ekosistem kian hancur akibat ketidakpedulian.
Langkah Denassa untuk kembali ke kampung adalah anomali bagi anak muda yang ramai ke kota. Dia tak sekadar kembali, Dia mulai mengumpulkan berbagai jenis tanaman, lalu menanam.
Saat di Kupang, tahun 2013, saya pernah menemaninya ke markas Geng Motor Imut, kumpulan anak muda peduli ternak, untuk mengambil bibit pohon langka. Tak hanya itu, dia juga meminta bibit sorgum kepada Mama Tata, pejuang lingkungan dan pelestari sorgum dari Pulau Adonara.
Kerja-kerjanya perlahan membuahkan hasil. Literasi, alam yang lestari, suasana sejuk, dan suara-suara alam, perlahan menjadi magnet. Perlahan ekosistem mulai kembali sebagaimana sedia kala. Hutan mulai menghijau. Suara-suara burung mulai terdengar di pagi hari.
Denassa mengembalikan segarnya suasana kampung pada orang Makassar yang kian kota. Banyak sekolah membawa siswanya ke Rumah Hijau Denassa demi nostalgia pada alam hijau, serta berbagai keriangan khas kampung.
Denassa mengenalkan kearifan lokal apabila murid-murid perkotaan datang berkunjung. Penguatan itu antara lain bermain ke sawah, memberi makan domba, hingga menangkap itik. Termasuk menyajikan makanan-makanan lokal, seperti umbi-umbian, jagung, ubi kayu, ubi jalar, ataupun makanan-makanan lokal lainnya.
Dia mendorong anak-anak belajar tradisi dan budaya lokal di Sawahku dan Rumah Hijau Denassa. Para pelajar yang berkunjung tidak diperkenankan membawa makanan ataupun minuman berkemasan. Hal itu dinilai bisa merusak alam. Pelajar diwajibkan membawa tumbler untuk menguatkan budaya perang terhadap sampah plastik.
Murid-murid TK ataupun murid SD kelas 1 hingga kelas 3, diwajibkan menggambar pengalamannya jika berkunjung. Sementara murid SD kelas 4-6, SMP, SMA, ataupun mahasiswa diminta menuliskan kisah hidupnya jika berkunjung.
Hal-hal seperti ini sederhana bagi mereka yang besar di kampung, tapi untuk masyarakat kota, hal-hal ini terasa amat mewah dan penuh kesan. Bagi anak-anak yang setiap hari bermain game di HP, petualangan memandikan kerbau adalah pengalaman yang akan selalu dikenang hingga akhir hayat.
Denassa tak sekadar bernostalgia, dia mengembalikan suasana keriangan anak-anak pedesaan pada generasi kota yang terpapar gadget dan internet. Mereka yang berkunjung ke Rumah Hijau Denassa akan merasakan suasana yang sejuk dan adem, serta menjadi semacam oase yang menyehatkan.
Saya terkenang diskusi kami di tahun 2013. Saat itu, kami membahas tema kegiatan Oxfam yakni Ideas + Action = Change. Bahwa perubahan selalu dimulai dari ide-ide sederhana, yang kemudian diterjemahkan menjadi aksi-aksi kecil. Senyawa dari ide dan aksi itulah yang menggerakkan roda perubahan.
suasana di Rumah Hijau Denassa |
Beberapa tahun berlalu, dia telah mewujudkan
semua yang pernah didiskusikan. Dia menjadi figur yang menginspirasi. Dia menjadi
sosok yang melampaui banyak orang. Gagasan kembali ke alam di tengah masyarakat
yang terpapar industri serta gawai adalah gagasan penting untuk tetap merawat
bumi.
Kini, ratusan tanaman endemik dan non-endemik memenuhi lingkungan sekitar rumahnya seluas 3 hektar. Di tengah rumah hijau ini, Denassa membangun taman baca, mengundang banyak orang untuk berkumpul. Di situlah dia menyebarkan ide-ide untuk merawat bumi. Dia menjadi telaga untuk sejenak membasuh hasrat kota dalam diri kita yang terlampau kapitalis.
Kini, Denassa telah menemukan tujuan hidupnya.
Dia membangun telaga agar orang-orang berdatangan, sekadar merasakan sejuk di
tengah panasnya peradaban.
Saya tak terkejut mendengar dirinya terus mendapatkan berbagai penghargaan. Penghargaan itu hanya buah dari kerja-kerja kecil yang dilakukannya. Namun saya yakin, bagi seorang pejuang lingkungan, penghargaan itu tak seberapa penting.
Jauh lebih penting mendengar suara-suara burung berkicau di pagi hari, di tengah hutan yang asri. Jauh lebih penting melihat tetes embun pagi di dedaunan yang terhampar di sekitar rumah. Jauh lebih penting melihat anak-anak yang bermain dan tertawa riang saat menyusuri pematang sawah.
Bagi Denassa, senyum, udara segar, kicau burung, jauh lebih penting dari apa pun. Dan kita warga kota hanya bisa iri melihatnya. Kita mau, tapi kita tak berani. Kita pengecut. Dia pemberani.
BACA:
Inspirasi Kupang untuk Perubahan Iklim
1 komentar:
Luar biasa, Guru..
Banyak yang mau, tak banyak yang berani.
Yang banyak adalah yang penakut. Seperti saya tentunya.
Posting Komentar