DORAEMON, Imajinasi, dan Rasa Lapar Teknologi



Akhirnya, film Doraemon: Stand by Me 2 tayang di Jepang, pada 20 November 2020. Para penggemar kisah robot kucing itu menyebarkan kabar gembira itu ke seluruh dunia. Lima puluh tahun lalu, komik Doraemon pertama dirilis. Kini, film itu hadir untuk menghangatkan ingatan tentang kisah yang keren dan inspiratif.

Seorang sahabat di Jepang, Yukina Ishikawa, mengontak saya via Twitter. Dia girang sekali mengabarkan pengalamannya menonton film terbaru itu. Dalam film itu, ada tiga kisah terpisah yang dijalin menjadi satu cerita. Yaitu, Nobita yang menemui neneknya, Nobita yang melihat saat dia dilahirkan, dan saat pernikahan Nobita.

Yukina merekomendasikan saya untuk mengunduh soundtrack film ini berjudul “Niji” di Spotify yang dibawakan Masaki Uda. “Lagunya bikin sedih,” katanya. Mendengar kata Niji, kok saya malah mikir Giring Ganesha yaa.

Saya lalu melihat trailer film di Youtube. Dalam trailer tersebut, Nobita terlihat pergi ke masa lalu untuk bertemu dengan neneknya, yang sebenarnya sudah meninggal dunia saat ia masih bayi. Ditemani Doraemon, Nobita mengamati dan mengikuti segala kegiatan neneknya tanpa diketahui.

Pada satu momen, Nobita diam-diam mendengar keinginan terpendam sang nenek, yakni bisa menyaksikan cucunya menikah di masa depan. Nobita pun pergi ke masa depan untuk menyaksikan hari pernikahannya dengan Shizuka. Namun, pada hari pernikahan itu, Nobita dewasa tiba-tiba kabur.

Bagi penggemar Doraemon, jangan berharap film ini akan serupa kartun yang tayang di RCTI. Kisah Stand by Me 2 melanjutkan film sebelumnya yang ditujukan untuk para penggemar Doraemon yang telah beranjak dewasa. Film ini menampilkan sisi emosional yang kuat untuk para penonton yang sudah mengenal baik semua karakter dalam kisah itu.

BACA: Lembar Terakhir Komik Doraemon


Banyak di antara kita yang mengenal Doraemon hanya sebagai robot kucing yang punya banyak alat canggih dari perutnya. Dia berteman dengan Nobita, seorang anak pemalas, yang selalu meminta banyak alat. Nobita bersahabat dengan Suneo, Jaian, dan Shizuka. Mereka kerap melakukan banyak petualangan berkat alat-alat ajaib Doraemon.

Jika membaca tulisan sosiolog Ng Wai Ming berjudul The Impact of Japanese Comics and Animation in Asia, kita akan mendapatkan nuansa lain. Karakter Doraemon dan karakter lain dari komik Jepang telah sukses menggantikan Amerika Serikat (AS) sebagai eksportir komik dan animasi. Saat ini, hampir semua negara-negara Asia memiliki terjemahan komik Jepang. Mereka juga menayangkan serial ini di televisi negara masing-masing.

Sebagaimana dicatat Ng Wai Ming, yang merupakan professor Kajian Jepang di China University at Hongkong, karakter Doraemon sukses mengubah persepsi banyak orang tentang bangsa Jepang. Remaja Asia tergila-gila pada segala hal tentang Jepang. 

Berbeda dengan orang tua dan kakeknya, generasi baru menyimpan gambaran positif tentang Jepang. Bagi mereka, Jepang adalah negeri tempat Hello Kitty, Pikachu, Doraemon, Ultraman, dan Final Fantasy.

Kisah ini sukses menjadi public relation yang mengubah image tentang bangsa Jepang. Sebelumnya, citra Jepang adalah citra pada perang dunia kedua yakni citra tentang peperangan. Tapi melalui Doraemon, citra itu tergantikan menjadi senyum bahagia serta romansa tentang persahabatan seekor kucing ajaib dan teman-temannya yang kadang nakal, namun sama-sama mencintai persahabatan. 

Serial ini sukses menjadi mesin pengubah citra yang amat efektif sekaligus memperlebar daya jelajah kapital bangsa Jepang ke seluruh Asia dan dunia.

Saya pun teringat pada tulisan akademisi Saya Sashaki Shiraishi dalam buku Network Power: Japan and Asia yang diedit oleh Peter J Katzenstein dan Takashi Shiraishi, dan diterbitkan Cornell University tahun 1997. 

Dalam tulisan berjudul Japan’s Soft Power: Doraemon Goes Overseas, Siraishi memaparkan analisis menarik tentang Doraemon sebagai bagian dari soft power Jepang. ia mengutip istilah soft power yang dipopulerkan akademisi asal Harvard, Joseph Nye, untuk menggambarkan bagaimana pengaruh budaya dalam dinamika politik.

BACA: Drama Korea, Soft Power, dan Imajinasi Masa Depan


Shiraishi menggambarkan persaingan antar negara di era pasca Perang Dunia kedua yang lebih mengarah pada persaingan ekonomi dan bisnis. Doraemon dan juga beberapa tokoh dalam komik seperti Astro Boy dan Dragon Ball telah menjadi bagian dari ikon Jepang saat melakukan penetrasi ke banyak negara. 

Melalui strategi budaya, yang diwakili sosok Doraemon, Jepang lalu membanjiri pasar dunia dengan berbagai produk Jepang. Inilah strategi budaya yang ampuh, efektif, dan terasa menyenangkan, namun secara perlahan diikuti oleh penetrasi ekonomi.

poster Stand by Me 2

Tak heran kalau saat Majalah Time menobatkan Doraemon sebagai Asian Heroes pada tahun 2002, penulis Pico Iyer menyebut karakter ini sebagai ‘the cutest hero in Asia’. Setiap orang bakal terpesona saat menyaksikan kisah hebat ini. 

Saat hal yang luput dari pandangan Pico Iyer bahwa kisah Doraemon ini lebih dari sekadar kisah. Kisah ini telah lama tumbuh dan mewarnai masa kanak-kanak yang penuh imajinasi. Kisah ini telah menguatkan karakter Jepang untuk menjadi penguasa di ranah sains dan teknologi. 

Sebagaimana dicatat Shiraishi, perilaku Nobita yang selalu membutuhkan alat itu adalah gambaran dari perilaku sebagai “konsumen kreatif” yang selalu haus dengan inovasi dalam teknologi. Seakan jadi formula baku, Nobita selalu menggunakan alat pemberian Doraemon di luar niatan awalnya.

Percobaan Nobita memang kerap berujung petaka. Tapi, keingintahuan dan rasa optimismenya yang meluap-luap tak akan pernah hilang. Shiraishi menyimpulkan, “Keingintahuan anak-anak, rasa bebas, dan pikiran jernih pada akhirnya akan menghasilkan beragam produk teknologi, sebagaimana alat yang dibawa Doraemon dari masa depan.” 

Inilah kunci serial Doraemon. Inilah kunci dari segala inovasi dan daya cipta serta kreasi anak-anak yang ketika tumbuh besar selalu ingin menggapai hal baru. Kisah Doraemon mengingatkan saya pada kalimat fisikawan besar Albert Einstein bahwa “Imagination is more important than science.”  Bahwa imajinasi jauh lebih penting daripada ilmu pengetahuan. 

Pantas saja, sekolah-sekolah dasar di luar negeri lebih menekankan pada kegembiraan, mengasah daya cipta lewat permainan, menciptakan kondisi yang memungkinkan lahirnya kebebasan dan sikap tanggung jawab. 

Sebab hanya dengan kebebasan, kegembiraan, dan kebahagiaan, imajinasi bisa melesat jauh ke langit tinggi, dan kelak akan memungkinkan lahirnya penemuan hebat dalam sejarah manusia.

Saat mengingat Doraemon, ada banyak tanya yang menghujam dalam benak saya.  Mengapa industri kreatif bangsa kita tak kunjung bisa menghasilkan satu ikon dan karakter yang menggambarkan karakter kita sebagai bangsa yang perkasa dan punya solidaritas tinggi? 

Saya dan Yukina, sesama penggemar Doraemon


Saya pikir, inovasi dan kreativitas hebat hanya lahir dari satu masyarakat yang saling toleran dan menghargai semua kultur. Inovasi dan daya imajinasi hebat, serta kreativitas tidak akan lahir pada kultur yang merasa hanya dirinya yang benar. Inovasi hanyalah tunas dari benih pikiran terbuka untuk menyerap banyak hal, dan menemukan terobosan baru.

Saat memikirkannya, saya menyaksikan televisi. Ada seseorang penceramah yang sibuk meneriakkan kafir. Ada ancaman-ancaman, dan berbagai kalimat negatif. Ada sikap nyinyir yang masuk ke ruang publik kita sehingga perlahan menjadi karakter. 

Pantasan kita amat jauh dari peradaban Doraemon!


2 komentar:

rahe mengatakan...

Instrumen utama teknologi yang menjadikannya menarik sy rasa memang adalah permainan dan dunia anak anak, keren banget kak

Bunda Muslimah Indonesia mengatakan...

Yup...mantaab..semoga kita menjadi bngsa kreative next

Posting Komentar