Kisah Reinkarnasi di Pulau Buton: Keyakinan yang Menjembatani Kematian dan Kelahiran
Suara azan lirih mengalun di telinga seorang bayi yang baru lahir. Lelaki yang membisikkan kalimat suci itu menahan haru. Tiba-tiba, bayi mungil itu bergumam pelan, seolah mengiyakan, lalu mengompol di pelukan sang ayah.
Dari sisi ranjang, sang istri berujar tenang, “Itu ayahku.”
Prof. J.W. Schoorl, antropolog dan sosiolog dari Leiden University yang dikenal luas karena penelitian tentang perubahan budaya di Indonesia, terpaku menyaksikan pemandangan itu.
Baginya, kejadian ini bukan sekadar anekdot kelahiran, melainkan jendela menuju sebuah keyakinan kuno yang masih hidup di tanah Buton: kepercayaan bahwa roh leluhur dapat kembali melalui kelahiran seorang anak.
Schoorl, yang pernah menulis Kultuur en kultuurveranderingen in het Moejoe-gebied (1957) dan Sociologie der modernisering (1974), meneliti fenomena ini secara mendalam dalam artikelnya tahun 1985 di jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde berjudul Belief in Reincarnation on Buton, S.E. Sulawesi, Indonesia.
Peristiwa itu adalah satu dari puluhan kisah yang Schoorl kumpulkan sejak ia meneliti masyarakat Buton pada 1980-an. Ceritanya bermula pada 1948, ketika lelaki itu berangkat ke Makassar untuk urusan dagang. Ayah mertuanya yang tengah sakit berpesan: ia akan kembali setelah wafat, dan menantunya harus pulang cepat agar sang istri tak “kehabisan waktu” untuk mengandung.
Tiga tahun kemudian, sang istri hamil. Ketika bayi lahir, kejadian yang disaksikan Schoorl itu terjadi, membuat keluarga yakin bahwa roh sang ayah telah kembali.
Cerita seperti ini berulang di banyak rumah. Ada perempuan yang mengaku bisa menunjuk tiga dari empat anaknya sebagai reinkarnasi kerabat tertentu, berdasarkan mimpi, penampakan, atau kemiripan fisik. Bahkan, kisah tentang sultana terakhir yang kembali sebagai cucunya menjadi bagian dari memori kolektif Wolio.
Bagi Schoorl, keyakinan ini adalah hasil pertemuan tiga lapisan sejarah: tradisi pra-Islam Buton, pengaruh Hindu-Jawa dari Majapahit, dan sufisme Islam. Tradisi lisan mencatat hubungan kerajaan Buton awal dengan Majapahit, termasuk pernikahan bangsawan dan adopsi “syara Jawa”, institusi adat bergaya Jawa.
“Bentuk reinkarnasi di Buton punya kemiripan dengan keyakinan di Jawa yang dicatat Clifford Geertz,” jelas Schoorl. “Misalnya, arwah biasanya kembali ke keluarga, kadang berganti jenis kelamin, dan asal-usulnya dirahasiakan dari si anak.”
Namun, di Buton, konsep karma tidak menonjol. Tidak ada gagasan pelepasan akhir dari siklus kelahiran. Fokusnya adalah kecepatan arwah kembali. Semakin baik hidup seseorang, semakin cepat ia lahir kembali.
Yang unik, keyakinan ini tak dianggap bertentangan dengan Islam oleh banyak orang Buton. Mereka membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang “mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup” (QS. Ali Imran: 27) sebagai legitimasi.
Bagi mereka, frasa itu bukan sekadar metafora, melainkan penegasan bahwa kehidupan dan kematian adalah dua pintu yang saling terhubung, yang dapat dilintasi ruh berkali-kali sesuai kehendak Tuhan.
Reinkarnasi ataukah Perpindahan Ruh?
Dalam sejarah pemikiran Islam sendiri, gagasan tentang kemungkinan perpindahan ruh, meskipun tidak selalu identik dengan reinkarnasi dalam arti Hindu, pernah disentuh oleh beberapa tokoh sufi dan filsuf.
Ibnu Arabi, misalnya, menulis tentang tanāsukh al-arwāh sebagai bagian dari perjalanan spiritual ruh yang berpindah dari satu wujud ke wujud lain dalam kerangka kosmis yang dikehendaki Allah.
Hamzah Fansuri, sufi besar dari Aceh abad ke-16, menekankan ajaran man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu —siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya— yang di Buton dibaca sebagai pemahaman tentang asal-usul dan tujuan akhir ruh.
Bahkan al-Ghazali, meski menolak konsep reinkarnasi penuh, mengakui kemungkinan ruh “dititipkan” pada wujud lain dalam alam barzakh sesuai hikmah Tuhan.
“Mereka yang percaya biasanya juga menjalani hidup yang saleh: menepati janji, menghindari kemewahan, dan rendah hati,” kata Schoorl.
Walau tanpa konsep karma Hindu, ada keyakinan bahwa kehidupan yang baik mempercepat kembalinya roh dalam wujud lebih terhormat, sementara kehidupan yang buruk menundanya atau menurunkan martabatnya.
Bahkan dalam konstitusi Kesultanan Buton, Murtabat Tujuh, dokumen yang memadukan hukum Islam, adat lokal, dan filsafat sufistik, tercantum pandangan bahwa roh adalah “sesuatu yang terus pergi” (lipa dalam bahasa Wolio).
Dalam tafsir lokal, roh adalah entitas yang senantiasa berpindah, mencari wadah baru. Konsep ini memberi ruang teologis bagi gagasan migrasi arwah dalam bingkai Islam lokal.
Di kalangan ulama Buton tempo dulu, pemahaman ini justru ditempatkan dalam kerangka tasawuf. Semakin dekat seseorang kepada Tuhan (opoopoti oputa), semakin ia memahami rahasia perjalanan ruh. Para ahli tarekat menempatkan pengetahuan tentang “asal-usul ruh” (ilmu kejadian) sebagai kunci mengenal diri dan mengenal Tuhan, sejalan dengan tradisi sufistik yang mereka warisi.
Schoorl mencatat, perdebatan pernah terjadi pada 1939. Seorang kepala kampung di Bau-Bau yang menjadi anggota Muhammadiyah menegaskan kematian adalah akhir.
Kepala kampung Nganganaumala menantangnya: di mana ayat yang melarang reinkarnasi? Perdebatan memuncak ketika seorang haji, Abdullah, mengutip ayat tentang “perpindahan hidup dari mati dan mati dari hidup” dan menegaskan bahwa ayat itu berbicara tentang “masuknya” hidup ke dalam mati, bukan “penggantian” hidup oleh mati. Si penentang terdiam.
Bagi masyarakat Buton, perdebatan teologis seperti itu tidak pernah benar-benar memutus keyakinan. Mereka tidak merasa perlu memamerkan kepercayaan ini, tetapi juga tidak merasa wajib menutupinya.
Selama ayat-ayat suci masih bisa dibaca sebagai jembatan, reinkarnasi akan terus hidup di sela-sela zikir, doa, dan kelahiran baru di tanah Buton.
Dampak Modernisasi
Meski masih lestari, Schoorl melihat keyakinan ini mulai terdesak. Sejak 1960-an, penyebaran Islam ortodoks melalui sekolah, literatur resmi, dan aparat Kementerian Agama mulai merapikan batas-batas ajaran.
“Di masa depan, bisa jadi ia hanya bertahan dalam bentuk cerita atau ritual keluarga, bukan lagi keyakinan yang hidup,” ujarnya.
Namun, selama masih ada anak yang lahir dengan tatapan yang “terlalu dewasa untuk usianya,” cerita-cerita ini akan terus dibisikkan dari generasi ke generasi.
Tatapan seperti itu, bagi orang Buton, bukan sekadar keindahan mata bayi, melainkan tanda bahwa ada sesuatu yang lebih tua bersemayam di baliknya, sebuah jiwa yang pernah berjalan di bumi ini, mengenal suka dan duka, lalu memilih jalan pulang melalui tubuh mungil yang baru memulai hidup.
Di ruang-ruang tamu dan beranda rumah panggung, para orang tua akan membicarakannya dengan nada setengah berbisik, seolah takut mengusir roh yang singgah.
Mereka akan mengaitkan senyum tertentu dengan kebiasaan seorang leluhur, atau melihat gerakan tangan sebagai pengulangan masa lalu. Di setiap kelahiran yang dianggap “kepulangan,” masa lalu dan masa kini bersentuhan tanpa batas, dan garis waktu menjadi lingkaran.
Bagi masyarakat Buton, kematian bukanlah ujung, melainkan pintu berputar yang membawa roh kembali ke halaman rumahnya sendiri. Dalam keyakinan ini, setiap kelahiran adalah sambungan cerita yang belum tuntas, dan setiap tatapan bayi yang terlalu matang untuk usianya adalah undangan untuk mengingat bahwa hidup dan mati hanyalah dua sisi dari perjalanan yang sama.
Seperti kata Jalaluddin Rumi, penyair sufi dari abad ke-13: "What is lost is, in truth, never gone. It only changes form, waiting to be recognized again." Apa yang tampak hilang, sesungguhnya tidak pernah pergi. Ia hanya berganti bentuk, menunggu untuk dikenali kembali.
Bagi orang Buton, setiap bayi yang lahir dengan mata yang menyimpan cahaya masa lalu adalah bukti bahwa yang hilang memang tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya pulang dengan cara yang berbeda.(*)